Mohon tunggu...
Adam Perdana
Adam Perdana Mohon Tunggu... lainnya -

Saya menulis, maka saya Eksis. www.facebook.com/AdamPerdana007

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ojek Liar - Ikut Memburu Berita

17 Februari 2017   22:27 Diperbarui: 17 Februari 2017   22:44 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suzuki Address Elegant © Suzuki

Melihat perempuan yang mondar-mandir di pinggir jalan sambil bertelepon itu membuatku ragu, apakah akan berhenti dan menawarkan jasa ojek padanya? Kalau pepatah mengatakan: 'Malu bertanya sesat di jalan', sebagai tukang ojek Aku punya pepatah: 'Malu bertanya sesal kemudian'. Siapapun yang berdiri di pinggir jalan, Aku harus pastikan, apakah dia butuh ojek atau tidak.

 Perempuan itu masih saja bertelepon, ketika Aku berhenti di dekatnya, seakan tak menyadari keberadaanku.

 "Ojek mbak?" tanyaku.

Perempuan itu melirikku dan tanpa ba-bi-bu langsung naik di boncengan. Dia masih saja berbicara lewat HP-nya, dan Aku takkan menjalankan motor ini kalau belum tahu tujuannya. Sejenak dia berhenti bicara, lalu mengatakan tujuannya:

"Komplek Cendrawasih Mas, Blok D" katanya singkat.

"Oke" balasku singkat juga, lalu menjalankan motor. Dia pun melanjutkan pembicaraannya lewat telepon.


Sepertinya perempuan ini sedang dikejar waktu. Tapi penampilannya tak macam karyawan kantoran. Dia memakai celana jins dan kemeja lengan panjang kotak-kotak. Apa dia seorang mahasiswa yang sedang buru-buru membuat tugas? Rasanya tidak, umurnya kuperkirakan sudah jelang kepala tiga.

Sepertinya Aku tak perlu bertanya lagi apa pekerjaan perempuan ini, karena dari pembicaraannya barusan bisa kusimpulkan dia adalah seorang wartawan. Ada kata-kata deadline, interview, dan narasumber disebutnya barusan.

Setelah cukup lama bertelepon, akhirnya dia membuka percakapan denganku:
"Maaf mas tadi lagi ngomong sama bos..."

"Ga apa mbak, biasa aja"

 ***

"Mas tunggu sebentar di sini ya!" kata wartawan itu waktu kami sampai di tujuan.

Dia akan mewawancarai seorang narasumber yang tinggal di rumah itu. Aku merasa ada yang aneh dengan rumah itu. Para tetangga yang melihat kedatangan kami pun memandangi curiga.  

"Mas Ojek! Sini bawa aja motornya ke dalam!" Wartawan itu bersorak sambil melambai padaku.

Ahh, sepertinya Aku harus menunggu, semoga tak lama. Motor pun kugiring masuk ke teras, di depan garasi yang terbuka.

"Mas Aku mau minta tolong. Sebenarnya motorku lagi diservis. Jadi bisa ga kalau hari ini mas antarin Aku nyari berita? Paling lama sampe sore nanti."

Aku berpikir sejenak, ada tiga pelanggan lagi yang harus kuantar...

"Seratus aja ya? Cukup ga? Cuman sampe sore, sekitar jam 5 lah..." tanya perempuan itu.

"Bukan soal uang Mbak, saya ada pelanggan..."

"Aku tambahin jadi 150 ribu. Mau kan?"

"Oke" jawabku agak ragu.

"Deal ya mas!" kata perempuan itu sambil mengulurkan tangan.

Aku menjabat tangannya, menerima tawarannya. Dan perempuan itu kembali masuk dalam rumah.

Setelah berpikir sejenak, Aku putuskan pelangganku hari ini akan kuserahkan pada Tarmizi, itu pun kalau dia mau menolongku. Semoga tak mengecewakan pelangganku. Segera kuhubungi dia lewat HP.

"Halo mas Aad, apa kabar?" terdengar suara Tarmizi lewat HP-ku

"Tar, lagi di jalan ya?"

"Lagi nge-bid di tempat biasa mas"

"Tar mau duit ga?"

"Haha... Duit masa ditolak bos!"

 "Jadi gini Tar, hari ini Aku dicater sama orang. Bisa ga kamu antarin pelangganku yang lain?"

 "Oke bos. Siapa aja yang musti kuantar?"

 "Ada tiga orang Tar. Nah yang pertama Pak Soni, di kantor PU di Kota Baru, jam 4 sore. Habis itu Bu Rosidah di Handil, jam 5 sore. Habis antar Bu Rosidah kamu langsung ke Jamtos, jemput Puput. Cuman itu. Bisa kan?"

 "Insya Allah bisa mas."

 "Sip, nanti ku-SMS lagi biar ingat. Tolong ya Tar..."

 "Oke..."

 "Oh iya, kalau bawa pak Soni pelan-pelan ya Tar..."

 "Sip"

 "Makasi banyak Tar. Udah dulu ya..."

 "Yoi"

 Syukurlah Tarmizi bersedia. Dan sekarang Aku harus menunggu di beranda rumah yang rasanya angker ini...

 ***

 Sudah 30 menit Aku menunggu, bosan juga tak bisa apa-apa selain main HP. Aku berdiri dari kursi dan meregangkan badan. Kupandangi sekeliling taman di hadapanku. Cukup luas tamannya, tapi sayang tak terurus. Mungkin karena itu terlihat angker. Pagar terali yang dilapisi fiber glass membuat rumah ini tertutup dari pandangan luar, semakin menambah angker. Aku merasa sendiri di beranda rumah ini dengan tamannya yang luas. Dan Aku terkejut ketika melihat sesuatu di pojok taman. Di tempat sampah itu terlihat gulungan plastik bekas garis polisi! Pasti rumah ini pernah jadi TKP! Tindak kriminal apa yang pernah terjadi di rumah ini?

 Aku makin penasaran, kemudian berjalan ke garasi dan melihat ke arah pintu samping, tempat sang wartawan memasuki rumah. Kulihat lebih dekat, wartawan itu tampak bicara dengan seorang ibu-ibu. Bagiku mereka tampak seperti sedang curhat, bukan wawancara. Mata ibu itu berair, sementara si wartawan berusaha menenangkannya. Aku semakin ngeri waktu ibu itu menatapku, matanya seakan menyembunyikan sesuatu yang menakutkan.

 "Sebentar lagi ya mas, tunggu aja di depan!" kata wartawan itu sambil memberi isyarat dengan tangan, agar Aku menjauh dan tak mengganggu tugasnya.

 Baiklah, mungkin Aku jalan keluar lewat pagar saja, mungkin ada warung dekat sini. Rasanya perut ini perlu diganjal dulu...

 ***

 Tadinya Aku mau menanyakan pada si wartawan, ada kejadian apa di rumah ini? Tapi sekarang Aku lebih memilih diam. Dari keterangan tetangga sekitar, Aku cukup tahu apa yang sudah terjadi di rumah ini. Mengerikan kalau dibicarakan. Aku diam saja waktu dia menghampiriku di beranda.

 "Yok kita lanjut mas!"

 "Sekarang kemana mbak?"

 "Laparrr, kita makan dulu yuk! Biasa makan dimana mas?"

 "Saya bawa bekal mbak...biar hemat"

 "Yakin ga mau ditraktir?"

 "Ga usah mbak, saya nanti juga mau sholat dulu. Ga papa kan?"

 "Oke deh mas. Sekarang anterin Aku ke Ampera Subarang ya. Nanti kalo mas udah selesai solat sama makan, langsung jemput Aku di sana ya?!"

 "Oke mbak"

 "Oh iya, nomornya berapa mas?"

 Aku mengambil selembar kartu nama di laci dekat stang dan memberikan padanya.

 "Ini beneran mas?" tanya perempuan itu sedikit heran.

 "Emang ga boleh mbak, tukang ojek punya kartu nama?"

 "Keren mas. Baru kali ini Aku ketemu tukang ojek yang pakai kartu nama.

 "Biasa aja mbak."

 Kemudian kami melaju ke Ampera Subarang...

 ***

 Setelah sholat dan makan siang, Aku kembali menuju Ampera Subarang. Setibanya di sana, perempuan itu melambai dari dalam, memintaku masuk dengan isyarat tangannya.

 "Bentar ya mas, Aku lagi bikin berita." kata perempuan itu begitu Aku sampai di meja makannya. Meja di hadapannya sudah bersih dari piring-piring, hanya ada segelas jus jeruk sekarang.

 "Duduk di sini aja mas, sambil nunggu. Mau minum apa mas? Aku traktir" katanya lagi, tanpa mengalihkan pandangan dari BB yang dipencet-pencet dengan dua jempolnya.

 "Kopi hitam bang, satu!" sorakku pada seorang pelayan.

 "Mas... Adi Pratama, kenapa sih jadi tukang ojek?" katanya tersenyum dan sejenak menatapku. Dia pasti tahu namaku dari kartu nama tadi.

 "Oh ya, namaku Ira Kusuma" katanya sambil mengulurkan tangan. Kami bersalaman, akhirnya Aku tahu nama perempuan ini.

 Aku menyeruput kopi yang baru dihidangkan sambil tersenyum dan berpikir. Apa yang harus kukatakan pada wartawan ini? Kenapa Aku jadi tukang ojek? Aku bertanya-tanya dalam hati.

 "Mbak sendiri kenapa jadi wartawan?"

 "Yee, ditanya malah balik nanya..."

 Kami sejenak terdiam, mungkin bingung mau mengatakan apa. Aku menyeruput lagi kopiku. Ira pun menghisap jusnya dengan sedotan, jempol tangannya sejenak berhenti mengetik.

 "Mungkin karena jalan hidup, makanya Aku jadi tukang ojek" Aku membuka percakapan.

 "Udah berapa lama ngojek mas?" tanya Ira yang kembali sibuk mengetik BB-nya.

 "Udah setahun lebih"

 "Kok ga gabung sama ojek online mas?"

 "Aku lebih suka kayak gini, ga terikat. Lagian Aku juga ada sampingan, jadi marketing freelance G.Vision. Kadang Aku juga antar jemput barang pake motor"

 "Biasa mangkal dimana mas?"

 "Di mana aja, yang penting rame"

 "Berarti mas ga ada pangkalan ya?"

 "Ga ada. Aku bukan ojek pangkalan, bukan juga ojek online"

 "Ojek liar?"

 Ira berhenti mengetik lalu menatapku, seakan menunggu jawaban.

 Aku hanya tersenyum dan kembali menyeruput kopiku....

 ***

 "Oke, emailnya terkirim" kata Ira lalu memasukkan BB-nya dalam tas.

 "Kita berangkat sekarang?" tanyaku.

 "Bentar mas!"

 Ira mengeluarkan bedak dari dalam tasnya dan berdandan di dalam ampera. Aku hanya bisa mengeluh dalam hati, berapa lama lagi Aku harus menunggu?

 "Habis ini kita kemana mbak?"

 "Ada pertemuan di Hotel Abadi..."

 "Acaranya apa mbak?"

 "Konferensi pers"

 "Berarti banyak wartawan ya?"

 "Yup"

 Ternyata Ira cukup cepat berdandan, tak seperti dugaanku. Penampilannya memang terlihat simple. Kami pun beranjak keluar ampera....

 ***

 Setelah solat zuhur, makan siang, plus ditraktir kopi barusan, rasanya Aku lebih semangat menunggangi motorku. Jalanan siang hari tak sepadat pagi atau sore, Aku jadi lebih mudah memacu motor. Namun ketika mau melewati daerah Broni, Aku harus melambatkan laju motor. Di depan tampak kerumunan orang di pinggir jalan. Sepertinya ada kecelakaan, jalanan pun jadi sedikit macet.

 Bukannya Aku tak peduli. Ketika ada kecelakaan di jalan, kalau sudah ramai dengan orang-orang, berarti sudah ada yang mengambil tindakan pertolongan. Berhenti di lokasi kejadian bisa jadi malah menambah kemacetan. Aku pun berusaha melewati kerumunan di jalan itu dengan pelan. Tapi begitu Aku mau memacu lagi motorku, Ira malah menepuk-nepuk pundakku dan minta berhenti. Dia segera turun waktu Aku memberhentikan motor, lalu berlari menuju lokasi kecelakaan. Sepertinya dia akan menjadikannya berita. Aku segera menyusul Ira setelah memarkir motor.

 Di lokasi kejadian terlihat seorang ibu menahan sakit di kakinya, yang lecet dan berdarah. Dia terduduk di trotoar. Anak ibu itu juga lecet-lecet dan menangis. Motor yang dikendarai Ibu itu terlihat hancur lampu depannya. Tapi nampaknya masih bisa dikendarai. Tidak terlalu parah sebenarnya, tapi si pelaku yang mengendarai sebuah mobil sudah lari entah kemana. Ibu itu ingat bagaimana ciri-ciri mobil yang menabraknya, tapi tak sempat melihat plat nomornya.

 "Kita ikut Ibu itu ke rumah sakit!" Kata Ira padaku.

 "Ga jadi ke Hotel Abadi?"

 "Kita liput yang ini dulu, baru nanti ke Abadi"

 Kami pun menuju Rumah Sakit mengikuti ambulan yang membawa Ibu itu dan anaknya.

 ***

 Sudah hampir jam 5 sore waktu Ira keluar dari ruang rawat IGD. Aku dari tadi duduk menunggunya di kursi depan resepsionis.

 "Ibu itu tak punya keluarga di sini, suaminya juga sedang keluar kota... Makanya Aku lama tadi di dalam." kata Ira, lalu menghempaskan tubuhnya di kursi di sampingku. Dia nampak lelah.

 "Harus dirawat ya?" Tanyaku.

 "Ga, bentar lagi mungkin boleh pulang. Tadi luka di kakinya dijahit, terus di-rontgen. Anaknya juga ga papa, cuman lecet."

 "Terus, kita jadi ke Abadi?"

 "Ga usah mas, habis ini kita berangkat ke kantorku. Acara di Abadi pasti udah selesai dari tadi."

 Beberapa saat kami hanya duduk diam memandangi TV yang sedang menayangkan sinetron. Aku merasa dalam hati, cukup melelahkan juga jadi wartawan. Bukan hanya berpacu dengan waktu, tapi kadang para wartawan terlibat secara emosional dengan narasumbernya. Dan pastinya juga sering bertemu kejadian-kejadian diluar dugaan.

 "Yok mas, berangkat sekarang!" Ira bangkit dari kursi, berusaha tegar melawan kelelahannya.

 ***

 Alhamdulillah hari ini Aku dapat omset yang cukup memuaskan, bahkan melebihi target harianku. Aku jadi bisa pulang lebih awal hari ini. Tadi juga sempat main dulu ke rumah Puput dan membelikannya gorengan. Tapi nampaknya Puput tak begitu senang, malah mencurigaiku. Tak masalah, perempuan memang biasa seperti itu. Mana ada wartawan yang mau pacaran sama tukang ojek, kataku meyakinkan Puput tadi.

 Dan malam ini sepertinya Aku bisa tidur nyenyak dan mimpi indah....

 ***

 "PARAM-PAM-PAM...PARAM-PAM-PAM...PARAM-PAM-PAM-PAM"

 Ya ampun! Aku tak salah dengar, HP-ku berdering. Siapa yang berani malam-malam begini membangunkanku? Segera kuraih HP-ku di meja dekat dipan, rupanya Ira si wartawan!

 "Sori Mas, lagi tidur ya? Antarin Aku sekarang ke rumah sakit bisa ga? Ada berita penting!"

 Aku masih setengah sadar ketika mendengar suara Ira tengah malam begini.

 "Ibu yang kecelakaan tadi?" Tanyaku

 "Bukan, nanti liat aja sendiri! Cepet ya, Aku tunggu sekarang...!"

 "Oke!"

 ***

 Lima belas menit kemudian, setelah memacu motor di malam yang dingin dan sedikit kesal, Aku memarkir motor di halaman depan Rumah Sakit Raden Mattaher. Setelah memberikan helmnya, Ira segera berlari ke dalam rumah sakit. Spontan Aku ikut berlari menyusulnya ke dalam. Berlarian di dalam rumah sakit, berbelok-belok melewati gang dan selasar, kami akhirnya tiba di sebuah ruang. Ira nampaknya sudah hapal seluk-beluk rumah sakit ini. Sepertinya dia sering ke sini mencari berita.

 Ketika kami masuk, ramai orang di depan meja resepsionis, lalu terdengar suara orang marah:

 "KELUAR! KELUAR! Kerja apa kalian kayak begini???"

 KRAKKKK!!!

 Aku terkejut, tong sampah di samping meja itu ditendang...

 "Berdiri di sini! DISINI!"

 Ya ampun! Aku tak salah lihat kan? Itu bapak Gubernur Jambi! Aku mengusap mataku, Aku tidak bermimpi! Apa ini syuting sinetron? Tidak!

 Terlihat ada tiga orang, dua perempuan, satu laki-laki, berdiri di belakang meja resepsionis. Dari warna pakaiannya, yang berwarna biru sepertinya dokter, yang berwarna hijau muda sepertinya perawat. Gubernur berdiri di depan mereka, di depan meja resepsionis.

 "Kalian tugasnya apa di sini?" Tanya Gubernur.

 Seorang lelaki menjawab terpatah-patah dan ketakutan.

 "Yang jaga mana di sini? Saya tidak lihat di sini, ada tidak? Bisa dijawab? Ada yang jaga ga? Mana?"

 Si lelaki menjawab pelan dan tak jelas.

 Tampak kemudian seorang lelaki datang, berjaket biru putih, mengacungkan tangannya. Dia juga berkata pelan dan tak jelas.

 "Saya sudah banyak mendengar keluhan, bahwa yang jaga itu jam 12, atau sebelum jam 12 itu sudah tidur"

 "Bisa dilihat tidak itu, masyarakat ... Lihat itu!" kata Gubernur menunjuk sekelilingnya yang ramai."

 "Saya tidak bisa membiarkan seperti itu... " Sejenak Gubernur diam.

 "Saya sudah berkali-kali.... Kemaren kita sudah lepas dua puluh lima orang, lebih lima puluh, lebih" Gubernur berusaha mengingat.

 "Saya ingin ada kinerjanya meningkat..."

 "Dewan pengawas sudah menilai, tidak ada yang meningkat..."

 "Dokter Iwan menilai, tidak ada yang meningkat..."

 "Lama seperti itu..."

 "... Per-tanggungjawab-an kita ke masyarakat itu bagaimana?"

 "Kalau ini terlalu berat buat kalian tidak apa-apa. Ga usah kerja di sini!"

 "Pak dokter tolong nanti, ditindak tegas ini! Yang statusnya PNS jangan kerja di sini lagi, berarti tidak mampu. Pindahkan saja! Yang honor silahkan, dipindah tugas..."

 "Saya tidak .. tidak suka melakukan ini, tapi saya harusss melakukannya. Karena masyarakat sudah terlalu banyak mengeluh..."

 "... karena rumah sakit ini sangat jelek, sangat jelek! Padahal ini adalah panduan dari semua rumah sakit pemerintah yang ada di Jambi. Kita harus lebih baik dari semua ini. Kalau seperti ini apa yang lebih baik? MALU!!!"

 "Dokter jaga tu di depan, di sini..."

 "Kalau masyarakat ada yang butuh datang ke sini... Kan datang ke sini ndak ada tadi. Satu pun ndak ada di sini!"

 "Kalian digaji untuk apa???"

 "Pak dokter silahkan." Gubernur memberi isyarat pada seseorang dengan tangannya. Lalu beranjak pergi dari meja resepsionis.

 Empat orang itu masih tegak diam, tak sanggup berkata-kata.

 ***

 Waktu kami di motor menuju kantor Ira, udara malam semakin dingin kurasakan.

 "Mas kok diam aja?" Tanya Ira.

 "Sori ya mas ... ngerepotin malam-malam"

 "Ga papa mbak, saya jadi ketemu pak Gubernur malam ini" jawabku tersenyum.

 Malam ini, Aku melihat langsung Pak Gubernur. Jujur, dulunya Aku lebih memilih gubernur yang lama untuk melanjutkan kepemimpinannya. Banyak yang menganggap Pak Gubernur sekarang cuman bermodalkan kepopulerannya sebagai mantan artis. Ada juga yang menganggap Pak Gubernur meraih posisinya karena pengaruh kuat ayahnya. Tapi yang jelas sekarang, setelah melihat langsung dan merasakan auranya, Aku percaya padanya. Percaya bahwa dia bisa membuat Jambi lebih baik !

 (End of episode)

CATATAN PENULIS:
Kisah ini adalah fiksi yang terinspirasi kejadian sehari-hari/nyata. Beberapa nama produk/merek, karakter, lokasi, sengaja disamarkan terkait hak cipta dan privasi.
Komentar dan kritik terhadap serial/cerbung ini dapat juga disampaikan melalui Facebook: @KaryaAdamPerdana atau Twitter : @AdamPerdana007.

Daftar episode Ojek Liar yang sudah dipublikasikan:

1. Star Your Engine ! (Kompasiana)

2. Brmm Brmm Brmm (Kompasiana)

3. Jualan G.Vision (Kompasiana)

4. Profesionalisme (Facebook)

5. Ikut Memburu Berita (Kompasiana)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun