Mohon tunggu...
Adam Perdana
Adam Perdana Mohon Tunggu... lainnya -

Saya menulis, maka saya Eksis. www.facebook.com/AdamPerdana007

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ojek Liar - Start Your Engine !

22 April 2016   19:56 Diperbarui: 22 April 2016   20:00 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="©welovehonda.com"][/caption] 

Aku masih ingat siapa penumpang pertamaku: seorang ibu-ibu PNS yang baru keluar dari kantornya di kawasan Telanai. Dia berdiri di trotoar depan UNJA Telanai, menunggu. Tapi dia belum hendak pulang ke rumah. Katanya mau ambil belanjaan yang tertinggal di sebuah warung. Lokasi tujuannya masih di kawasan Telanai. Dia menunjukkan jalan menuju warung itu. Kami melewati berbagai kantor yang berlokasi di sekitaran Telanai. Jarak yang kami tempuh tidak jauh, mungkin sekitar dua kilometer. 

Setelah sampai di warung yang dimaksud, ibu itu memberiku lima ribu rupiah. Itulah bayaran pertamaku sebagai tukang ojek. Waktu menerima uang itu berbagai perasaan campur aduk di diriku. Senang tentu saja, tambah semangat, dan juga rasa syukur. Tapi Aku juga merasa bayaran itu kemahalan, karena jarak tempuh bisa dibilang dekat. Ketika kutanya pada ibu itu apakah tidak kebanyakan dia membayar segitu, dia tak mempermasalahkan. 

Aku berterimakasih padanya dan menawarkan apakah masih ingin diantar. Aku juga menawarkan untuk menyimpan nomor HP-ku. Namun dia sepertinya masih mau berbelanja dan menunggu jemputan yang akan membawanya pulang. Aku pun melanjutkan perjalanan untuk pulang karena hari sudah menjelang senja.

Itulah cerita mengenai penumpang pertamaku. Kejadian itu sudah lebih setahun berlalu. Waktu itu Aku masih mengenakan sepatu pantofel dan celana dasar, dengan jaket kulit sintetis murahan yang sering membuatku kepanasan. Penampilanku seperti umumnya pekerja kantoran saat berkendara roda dua. Hari itu Aku masih berniat mencari calon klien untuk perusahaan tempatku bekerja. Aku tak dapat satu pun calon klien, yang kudapatkan adalah seorang ibu-ibu yang menjadi penumpang ojek pertamaku.

Hari itu Aku mulai berubah, dari pekerja kantoran menjadi pekerja jalanan.

*

Lebih jauh mundur ke belakang, ketika Aku masih 'berjaya' sebagai pekerja di sebuah perusahaan retail, orang tuaku gencar menyuruhku membeli motor. Alasannya untuk menunjang keberlangsungan karirku. Orang tuaku berprinsip bahwa motor sangat membantu untuk semua pekerjaan. Tapi waktu itu Aku enggan membeli motor. Dalam pekerjaanku itu, Aku tidak dituntut untuk pergi ke sana kemari sebagaimana marketing umumnya. Kalaupun ada urusan pekerjaan yang mengharuskanku bepergian, Aku bisa klaim biaya transportasi ke perusahaan.

Di lain waktu Aku pernah punya pemikiran . . . yang cukup radikal mengenai motor. Bagaimana kalau diadakan pemusnahan massal terhadap motor? Kemudian disediakan sarana transportasi yang layak dan berkualitas untuk masyarakat, tentunya dengan harga yang juga terjangkau. Mimpi? Ya itu cuman mimpi, tapi bukan tak mungkin kan? Tak usah jauh-jauh, tengoklah negara sebelah, Singapura. Pernahkah di jalanan Singapura ada motor bergerombol memadati jalan? Mungkin ada juga pengendara motor di sana, satu dua barangkali, melintas selang sejam. Aku belum pernah ke Singapura. Tapi dari foto atau atau tayangan TV saja, bisa dilihat jalanan di sana teratur dan bersih. Kalau saja Aku adalah orang nomor satu bidang transportasi di negeri ini, akan kujalankan program pemusnahan motor itu. Nantinya sebagai kompensasi, pemilik motor yang menyerahkan motornya akan diberikan voucher yang bisa digunakan untuk bepergian dengan bus, kereta api, atau maskapai tertentu. Kompensasi juga bisa dengan memberi kemudahan pengajuan kredit mobil.

Ahhh, terlalu panjang angan-anganku dulu. Tak perlu se-radikal itu solusinya. Dengan sendirinya nanti, ketika sarana dan prasarana transportasi publik sudah memadai, penggunaan motor akan berkurang. Mungkin masih lama, tapi berbagai kebijakan pihak terkait sudah menampakkan wujudnya. Di Jakarta, pengguna motor sudah dilarang melintas di jalan tertentu. Tak usahlah terlalu kupusingkan bagaimana solusi transportasi di negeri ini. Biarlah bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkompeten di sana yang mengurusnya.

Satu lagi pemikiran yang cukup mengusikku mengenai motor adalah waktu menyaksikan MotoGP, balapan tingkat internasional itu. Marc Marquez dan Valentino Rossi dengan gagahnya memakai baju balap bertuliskan bahasa Indonesia: "Satu HATI" dan "SEMAKIN DI DEPAN". Sementara itu kita hanya bisa menonton. Mungkin slogan berbahasa Indonesia itu bisa sedikit menyenangkan bangsa Indonesia. Bangsa yang berkontribusi besar bagi ajang balap dunia itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun