Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Ranjaban Abimanyu (Tamat)

17 Maret 2018   19:37 Diperbarui: 17 Maret 2018   19:47 1851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: wayang.files.wordpress.com

Di tepian kolam tamansari Tanjunganom, Utari yang tengah hamil 3 bulan itu duduk bersantai dengan kedua baturnya. Nyi Lambangsari yang bertubuh tinggi kerempeng dan Nyi Randanunut yang bertubuh tambun pendek serupa babi. Banyak orang menyebut Nyi Randanunut dengan big woman. Perempuan gembrot yang tak kesampaian cita-citanya untuk menjadi penari keraton.

Sembari menyaksikan ikan-ikan emas yang berenangan di antara bunga-bunga teratai, Utari mendapatkan hiburan dari kedua baturnya itu. Nyi Lambangsari yang suka campursari itu menyanyikan lagu dangdut 'Oplosan'. Nyi Randanunut tak mau kalah. Selagi lagu dilantunkan, perempuan gembrot itu bergoyang seperti mentok mabuk. Menyaksikan goyangan Nyi Randanunut, Utari menahan tawanya.

Selagi Utari tengah bersuka cita dengan kedua baturnya, Abimanyu beserta Semar menghampirinya. Tanpa Semar, Nyi Randanunut, dan Nyi Lambangsari; Abimanyu membawa Utari menuju ruang pribadinya. Sebuah ruangan tidur berdinding bercat kuning gading, berlantai marmar hijau zamrud, dan beranjang dengan seprei coklat muda.

Abimanyu duduk di ranjang samping Utari. Sembari mengelus-elus perut Utari yang mengandung tiga bulan itu, Abimanyu menyampaikan pesan Bisma. "Dinda Utari.... Eyang Buyut Bisma meramalkan kalau putera kita kelak menjadi raja agung Hastinapura. Namun, ramalan Eyang Buyut bakal menjadi kenyataan, bila kau melakukan tapa brata di Lembah Cawan. Bagaimana Dinda? Apakah kau bersedia melakukannya?"

"Hanya seorang ibu pendosa yang tak mau hidup berperihatin demi darah dagingnya sendiri, Kanda."

"Bagus, Dinda."

"Apakah ada pesan lain dari Paman Bisma?"

"Pesan Eyang Buyut selanjutnya, agar kau menggugurkan tapa bratamu ketika merasa akan melahirkan si jabang bayi. Sesudah putera kita terlahir, berikanlah nama Parikesit!"

"Akan aku laksanakan pesan Paman Bisma." Utari terdiam sesaat. "Lantas bagaimana dengan Kanda sendiri? Bukankah Kanda akan mengantarkanku sampai Lembah Cawan?"

"Tidak. Sebagai prajurit Pandawa, aku harus kembali ke perkemahan Glagah Tinulu. Menunaikan kewajiban sebagai prajurit dalam perang Bharatayuda." Wajah Abimanyu sontak serupa bentangan langit berselimutkan awan tipis. "Tapi.... Jangan khawatir! Dalam perjalanan menuju Lembah Cawan dan selama melakukan tapa brata, kau akan mendapatkan perlindungan dari Kakang Semar. Karenanya, segeralah berkemas! Pergilah ke Lembah Cawan! Doaku menjadi sahabat perjalananmu."

Tanpa sepatah kata yang perlu diucapkan lagi, Utari beranjak dari ranjang. Demikian pula dengan Abimanyu. Mereka keluar dari ruangan itu dengan erat bergandengan tangan. Mereka seperti sepasang kekasih yang seolah tak akan bertemu lagi untuk selamanya.

Matahari timur telah melampaui ketinggian pohon kelapa. Seusai melepas Utari dan Semar hingga batas kota Tanjunganom; Abimanyu melecut kuda-kuda yang menarik keretanya. Menuju perkemahan Glagah Tinulu. Setiba di Glagah Tinulu, Abimanyu bergegas bergabung dengan pasukan Pandawa di bawah komando Srikandi. Menuju Kurusetra yang kembali disibukkan dengan perang. Dengan keahliannya dalam olah senjata panah, Abimanyu menghadapi pasukan Korawa di bawah kepemimpinan Prabu Susarma. Raja dari negeri Trigatra yang sakti mandraguna.

Dari atas kereta, Abimanyu melesatkan ribuan anak panah dari busurnya. Selain ingin melindungi Arjuna dari ancaman Susarma, ribuan anak panah itu membinasakan prajurit rucah pasukan dari negeri Trigatra. Negeri kecil yang merupakan bawahan Hastinapurapura.

Sudah tak terbilang berapa jumlah prajurit rucah yang menjadi sasaran panah-panah Abimanyu. Menyaksikan pasukan musuh kian menipis, Abimanyu hendak turun dari kereta untuk menghadapi Susarma yang masih tampak pongah duduk di gigir kuda. Namun hasrat Abimanyu itu dihalangi Trustajumena. "Jangan hadapi Susarma, Ananda Abimanyu! Biarlah Kakanda Arjuna sendiri yang menghadapinya."

"Tidak, Paman. Aku harus menghadapi Susarma. Tak suka aku melihat kepongahannya. Raja Trigatra itu harus dibinasakan."

"Jangan, Ananda!"

Tanpa mengindahkan perintah Trustajumena, Abimanyu melompat dari atas kereta ke gigir kuda yang berlari di depannya tanpa seorang penunggang. Dengan kuda itu, Abimanyu bergerak cepat ke arah Susarma yang lantang menantang Arjuna. Sang ayah yang siang-malam dihormatinya. "Jangan pongah, Susarma! Lebih baik hadapi dulu anaknya sebelum menghadapi ayahnda Arjuna."

"Ha, ha, ha...." Susarma tertawa lepas hingga gemanya memenuhi setiap penjuru padang Kurusetra. "Babuh! Babuh! Lebih baik aku menghadapimu ketimbang menghadapi Arjuna. Bila membunuh Arjuna, belum tentu membunuhmu. Dengan membunuhmu, berarti membunuh harapan Pandawa yang mendamba-dambakanmu sebagai calon raja Hastinapura. Bila kau mati, Arjuna akan bela pati. Aku meyakini hal itu. Ha, ha, ha...."

Darah Abimanyu menggelegak. Dengan sekali hunus, keris Kyai Pulanggeni telah keluar dari warangka. Ujung keris itu berpijar. Menyembur-nyembur seperti lidah api. Dari atas kuda, Abimanyu menandingi krida Susarma yang menggenggam keris Kyai Kalawisa. Keris sakti pemberian Bathari Durga sesudah saat Susarma bertapa di kaki Gunung Somawana.

Sudah sekian lama pertarungan Abimanyu dan Susarma berlangsung, namun belum ada tanda-tanda siapa yang unggul siapa yang kalah. Keduanya sama-sama sakti. Hingga keris Kyai Pulanggeni dan Kyai Kalawisa hanya mengenai ruangan-ruangan hampa. Selang beberapa saat, Abimanyu tak menduga bila ujung keris milik Susarma menyodok sangat dahsyat pada batang kerisnya. Hingga keris itu terpental jauh dari tanggan Abimanyu.

Menyaksikan Abimanyu tak lagi bersenjata, Bathara Guru yang sejak pagi berada di ara-ara mega bersama para dewa dan bidadari bersuka-cita. Karena dengan kematian Abimanyu di tangan Susarma, Arjuna akan bela pati dengan membakar diri di kobaran api pancaka. Namun lain Bathara Guru, lain pula Narada. Dewa kerdil yang tak menghendaki Abimanyu tewas di Kurusetra pada hari ke duabelas dalam Bharatayuda itu memerintahkan pada Srikandi melalui Aji Pameling untuk menyelamatkannya.

Mendengar pesan Narada, Srikandi yang baru saja menghabisi Patih Krendawahana dari Trigatra melecut kudanya dengan tali kekang. Melajukan kudanya sekilat cahaya ke arah tempat pertarungan Abimanyu dan Susarma. Manakala Susarma akan menikamkan keris Kyai Kalawisa ke pinggang Abimanyu, Srikandi melompat dari gigir kuda. Menyambar tubuh Abimanyu dan membawanya mundur dari palagan. Menuju tempat, dimana Arjuna tengah berbincang dengan Kresna.

Di hadapan Arjuna, wajah Srikandi serupa piringan tembaga terbakar. Kepada suaminya, Srikandi meluncurkan amarahnya. Namun seusai Kresna menanyakan penyebab kemarahannya, Srikandi melontarkan jawaban, "Bagaimana aku tak marah, Kanda Prabu? Ada musuh yang menantang lantang di palagan, sementara yang ditantang tak bereaksi. Tak aku duga, kalau Kanda Arjuna tak ubah seorang banci yang takut akan perang dan kematian."

"Sabar! Sabar, Srikandi." Kresna meredam api kemarahan Srikandi yang berkobar-kobar. "Memangnya siapa yang menantang Arjuna?"

"Susarma. Raja Trigatra. Senapati perang Korawa, Kanda Prabu."

Menyimak penuturan Srikandi yang meletup-letup itu, Kresna hanya tersenyum dingin.

"Kenapa Kanda Prabu Kresna hanya tersenyum. Seolah Kanda Prabu meremehkanku?"

"Bukan aku bermaksud meremehkanmu. Aku hanya heran kenapa kau yang sudah sekian lama menjadi panglima perang ternyata belum mengetahui rahasia dalam perang. Kalau kau memahaminya, tentu tak akan marah-marah pada Arjuna. Ketahuilah! Rahasia dalam perang adalah menaklukkan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin aku mengijinkan Arjuna untuk menghadapi Susarma, bila suamimu itu belum mampu menaklukkan nafsunya sendiri. Dengan menaklukkan nafsunya sendiri, Arjuna akan mampu menyempurnakan lawan tanding pada kematiannya. Bukan membunuh musuh yang hanya menambah dosa di dunia. Kau paham itu, Srikandi?"

"Aku paham. Cuma yang tak aku pahami, sampai kapan Kanda Arjuna sanggup menaklukkan nafsunya sendiri?"

"Tanyalah sendiri pada suamimu!"

Sebelum Srikandi melontarkan pertanyaan, Arjuna meninggalkan tempat itu. Seusai mengenakan baju zirah dan topong di kepala, Arjuna melompat ke gigir kuda putih yang dikenal dengan Kyai Tunjungseta. Dengan menghunus keris Kyai Kalanadah, Arjuna melarikencangkan Kyai Tunjungseta ke medan laga. Membelah sisa-sisa pasukan Trigatra yang masih bertarung dengan pasukan Glagah Tinulu. Tak ada arah yang hendak dituju oleh Arjuna, selain tempat dimana Susarma tengah beradu kesaktian dengan Trustajumena.

"Mundur, Trustajumena!" pinta lantang Arjuna pada adik iparnya itu.

Mendengar perkataaan itu, Trustajumena memberikan ruang pada Arjuna untuk bertanding satu lawan satu dengan Susarma. Dari atas kudanya, Trustajumena menyaksikan pertarungan sengit antara Arjuna dan Susarma. Pertarungan hebat seperti pertarungan dua cahaya kilat di udara, sesudah keduanya melenting terbang dari gigir kudanya masing-masing.

Menyaksikan pertarungan antara Arjuna dan Susarma; Bathara Guru yang masih berada di ara-ara mega bersama Narada, para dewa, dan para bidadari itu berharap besar agar Susarma dapat membunuh Arjuna. Namun harapan Bathara Guru itu berakhir pada kekecewaan. Karena selang beberapa saat, Susarma yang sakti mandraguna itu terkapar di tanah sesudah Arjuna berhasil menikamkan ujung Kyai Kalanadah di dadanya. Melihat kejayaan Arjuna atas Susarma, seluruh bidadari menaburkan bunga tiga rupa dari angkasa sambil mengucapkan salam 'muah'. Lantaran dibakar api kecemburuan, Bathara Guru bergegas meninggalkan ara-ara mega saat senja mulai merapat.

***

Perlahan namun pasti, waktu terus merangkak. Selepas senja, malam pun tiba. Obor-obor menyala berpencar di perkemahan Glagah Tinulu. Para senapati perang berkumpul di tenda utama. Namun Abimanyu yang kecewa dengan Srikandi karena dicegah untuk melanjutkan pertarungan hidup-mati dengan Susarma itu duduk menyendiri di alam terbuka di bawah bulan lonjong. Jauh dari tenda utama.

Dalam kesendirian dan kekecewaannya, Abimanyu teringat pada Utari yang barangkali tengah menginap di suatu tempat di tengah perjalanan menuju Lembah Cawan. Teringat pada janin di dalam kandungan Utari. Puteranya yang diramalkan Bisma bakal menjadi raja agung Hastinapura.

Dalam kesendirian dan kekecewaan, Abimanyu pula teringat pada Siti Sendari yang baru disunting sebulan silam. Isterinya yang dibayangkannya malam itu hanya tidur bersama guling dan sekawanan nyamuk. Tidur kedinginan tanpa belaian kasih sayang dan kehangatan cintanya.

Dalam kesendiran dan kekecewaan, Abimanyu ingin membuktikan pada Srikandi kalau dirinya adalah senapati perang yang tak takut mati. Karena hanya dengan kematiannya di medan laga, Abimanyu dapat membuktikan pada Pandawa sebagai kesatria yang berbakti pada tanah tumpah darahnya. Mati sebagai kusuma bangsa yang harum namanya. Seharum bunga wijayakusuma.

Dalam kesendirian dan kekecewaan, Abimanyu ingin kembali ke Tanjunganom malam itu. Namun sebelum beranjak dari duduknya, telinganya menangkap langkah seseorang dari balik rerimbun semak-semak. Baru saja berdiri, Abimanyu melihat Petruk yang melangkah ke arahnya.

"Sudah kemana-mana aku cari, ternyata Gus Abimanyu berada di sini."

"Memangnya ada apa kau mencariku?"

"Gusti Prabu Kresna menghendaki Gus Abimanyu menghadap di perkemahan Randu Watangan malam ini. Ada sesuatu penting yang ingin Gusti Prabu sampaikan pada Gus Abimanyu."

"Baiklah. Aku akan menghadap sekarang."

Diikuti Petruk, Abimanyu melangkahkan kaki ke perkemahan Randu Watangan. Di bawah cahaya bulan lonjong, Abimanyu meniti jalan berbatu yang di kiri-kanannya ditumbuhi semak-semak dan pepohonan liar. Setiba di tujuan, Abimanyu menuju tenda utama. Dimana Prabu Kresna, Prabu Matsyapati, Prabu Drupada, Yudistira, Bima, Arjuna, Sadewa, Nakula, Setyaki, Gatotkaca, Sumitra, dan Prabakusuma tengah berkumpul dan berbincang membahas siasat perang Bharatayuda pada hari ke tigabelas.

"Beribu-ribu ampun, Ayahnda Prabu Kresna." Abimanyu menghaturkan setangkup sembah. "Kiranya apa maksud Ayahnda Prabu memanggil Ananda? Apakah ada tugas yang harus disampirkan di pundak Ananda?"

"Bukan tugas yang akan aku sampirkan ke pundak Ananda, tapi perintah yang harus Ananda laksanakan."

"Perintah apa, Ayahnda Prabu? Ananda siap melaksanakannya."

"Bagus!" Kresna menarik napas dan menghembuskannya. "Hendaklah besok pagi, Ananda kembali ke Tanjunganom. Aku dan seluruh keluarga Pandawa sepakat untuk memingit Ananda sementara waktu. Hal itu diharapkan, agar pasukan Korawa gagal menangkap Ananda. Katahuilah! Target pasukan Korawa esok hari adalah menangkap Ananda. Mereka tahu bahwa dengan menangkap Ananda yang didambakan Pandawa sebagai raja Hastinapura dapat menyebabkan lemahnya pasukan Pandawa. Sehingga dengan mudah, pasukan Korawa akan dapat memenangkan Bharatayuda. Dengan memenangkan Bharatayuda, Doryudana akan tetap sebagai penguasa rakus di Hastinapura. Tetap menguasai Indraprasta yang seharusnya menjadi milik keluarga Pandawa kembali. Sesudah Pandawa lulus menjalani hukuman buang selama duabelas tahun ditambah setahun hukum penyamaran."

Menyimak penuturan Kresna yang panjang-lebar itu tak membuat Abimanyu bahagia, namun semakin membuatnya berduka. Kekecewaan hatinya kini tak hanya pada Srikandi, namun pula pada Kresna. Orang kedua yang tak meyakini tentang kemampuannya berperang di medan laga sekalipun harus dibungkus dengan alasan menyembunyikan dari pasukan Korawa. Karenanya tanpa berpamitan pada Kresna, Abimanyu bergegas meninggalkan tenda utama di perkemahan Randu Watangan.

Selepas Abimanyu, Kresna memerintahkan Sumitra dan Prabakusuma untuk mengawasi saudara tuanya yang tampak memendam kekecewaannya itu. Seusai memohon ijin, kedua putera Arjuna itu keluar dari tenda utama di perkemahan Randu Watangan. Mengikuti langkah Abimanyu yang membelah malam berhiaskan cahaya bulan lonjong.

***

Awan menggantung di langit Tanjunganom. Tak ada angin yang menggetarkan daun-daun pohon sawo kecik yang tumbuh di sekitar istana Tanjunganom. Tak ada burung-burung yang berloncatan di batang-batang pohon sembari mengicaukan suasana pagi itu.  Tak ada kupu-kupu yang berkejaran dan hinggap pada setiap ranting tanaman bunga.

Di dalam balai berwarna kuning yang dikenal dengan Bangsal Jene, Abimanyu duduk tercenung sendirian. Wajahnya menyiratkan kekecewaannya pada Kresna dan Srikandi. Hatinya sangat berduka, karena Abimanyu tak diperkenankan Kresna untuk menyatu dengan pasukan Pandawa dalam menghadapi pasukan Korawa. Sungguh! Hari itu, Abimanyu merasa lebih hina dari daun jati kering. Sekalipun telah kering, namun masih bisa digunakan sebagai pembungkus makanan. Hari itu, Abimanyu merasa mati dalam hidup.

Selagi hanyut dalam kedukaan, Abimanyu menangkap suara langkah kaki dari halaman Bangsal Jene. Abimanyu tersentak saat melihat siapa yang datang. Ternyata bukan yang diperkirakannya -- Siti Sendari dan dayang-dayangnya, melainkan kedua adik tirinya -- Sumitra dan Prabakusuma.

"Kakanda Abimanyu, bolehkah Adinda masuk?" tanya Sumitra, putera Arjuna yang lahir dari Larasati.

"Masuk saja, Sumitra!"

Beserta Prabakusuma, Sumitra memasuki Bangsal Jene. Duduk di kursi kayu jati berukir berprada emas yang masih kosong di hadapan Abimanyu. Sekian lama, Sumitra terdiam. Demikian pula, Prabakusuma. Dalam hati, mereka merasakan kedukaan Abimanyu yang tak diperkenankan Kresna untuk turut menghadapi pasukan Korawa pada hari itu.

"Kenapa kau Sumitra dan Prabakusuma datang ke Tanjunganom? Apakah kalian berdua juga senasib diriku. Tak diperkenankan maju ke medan laga?"

"Aku sendiri kurang tahu, Kanda," jawab Sumitra pelan. "Apakah Wa Prabu Kresna yang memerintahkan kami berdua untuk mengawasi Kanda sesungguhnya melarang kami untuk turut bertempur di Kurusetra hari ini. Aku kurang tahu, Kanda."

 "Hamba tahu, Gus Sumitra." Petruk yang berdiri di depan pintu itu memasuki Bangsal Jene. Menghadap ketiga putera Arjuna itu dengan berjalan jongkok. Mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan sembari menghapus keringatnya yang berleleran di wajah dan leher dengan tapak tangannya. "Maksud Gusti Prabu Kresna menjauhkan Gus Sumitra, Gus Prabakusuma, dan Gus Abimanyu dari Kurusetra; karena Pandawa tidak ingin kehilangan putera-puteranya. Mengingat sewaktu Gus Arjuna berdoa pada Tuhan sebelum Kitab Jitabsara digubah Bathara Guru tak memohonkan keselamatan seluruh putera Pandawa dari perang Bharatayuda."

"Aku tahu hal itu, Truk!" Abimanyu sejenak terdiam. "Tapi..., takdir kematian seseorang itu berada di tangan Tuhan."

"Benar, Gus. Karenanya tak ada salahnya bila Gus Abimanyu, Gus Sumitra, dan Gus Prabakusuma melanggar larangan Gusti Prabu Kresna."

"Apa maksudmu, Truk?"

"Gus Abimanyu harus segera tinggalkan Tanjunganom. Tampil sebagai senapati di Kurusetra. Mengingat hari ini, gelar perang Cakrabyuha yang diterapkan Dorna telah berhasil memporak-porandakan pasukan Pandawa. Tuan Bima dan Tuan Arjuna tak kelihatan lagi di medan laga. Bila tak diselamatkan oleh Gus Abimanyu, Tuan Yudistira dipastikan dapat ditangkap oleh pasukan Korawa."

Mendengar penuturan Petruk, Abimanyu beserta Sumitra dan Prabakusuma yang tak lagi memperdulikan perintah Prabu Kresna itu beranjak dari duduknya. Menuju alun-alunpungkuran Tanjunganom. Melompat ke gigir kuda. Melajukencangkan kuda itu menuju Kurusetra. Sepeninggal ketiga putera Arjuna itu, Petruk meninggalkan Tanjunganom yang sontak menderaskan hujan. Berwarna darah, beraroma kesturi.

***

Bendera dan panji-panji dari pasukan Korawa semakin tinggi berkibar di Kurusetra, manakala gelar perang Cakrabyuha yang diterapkan Dorna berhasil memporakporandakan pasukan Pandawa. Arjuna dan Bima yang semula bertanding dengan Garbapati dan Wresaya tak tampak lagi batang hidungnya di medan laga. Prabu Drupada gugur di tangan Drona. Wratsangka dan Utara -- putera Matsyapati -- gugur di tangan Karna.

Dada Abimanyu, Sumitra, dan Prabakusuma serasa terbakar saat menyaksikan pasukan Korawa berada di atas angin. Jantung mereka semakin berdegup kencang, saat menyaksikan ribuan prajurit rucah Pandawa berkaparan di tanah sebagai tumbal perang. Karenanya tanpa perpikir tiga kali, ketiga putera Arjuna yang gagah berani itu sontak melecut kudanya dengan tali kendali menuju medan laga.

Krida Abimanyu, Sumitra, dan Prabakusuma serupa banteng terluka. Dengan sebilah pedang, mereka menebas kepala-kepala prajurit rucah pasukan Korawa. Serupa kelapa-kelapa yang berjatuhan dari pohonnya, kepala demi kepala dari para prajurit rucah Korawa bergelundungan di tanah.

Dari atas kereta, Karna yang tak menginginkan Abimanyu sebagai tumbal Bharatayuda sontak berkehendak membinasakan Sumitra, dan Prabakusuma -- putera menantunya sendiri. Dengan membinasakan keduanya, nyali Abimanyu untuk berperang di medan laga diharapkan akan mereda. Karenanya tanpa lagi berpikir, Karna melepaskan panah Kyai Konta Wijayandanu dari busurnya. Dalam sekali jebretan, panah itu berubah menjadi dua batang. Melesat, dan menembus dada Sumitra dan Prabakusuma. Keduanya terjungkal dari gigir kuda. Gugur sebagai kusuma bangsa.

Melihat kedua adik tirinya gugur, nyali Abimanyu untuk bertempur melawan pasukan Korawa di Kurukaserta tak padam sebagaimana yang diharapkan Karna, melainkan semakin berkobar. Maka dibuanglah pedang di tangan. Dihunuslah kemudian keris Kyai Pulanggeni dari warangka. Dengan pusaka yang menyala berkobar-kobar kebiruan pada ujungnya, Abimanyu membunuh ribuan prajurit Korawa. Gelar perang Cakrabyuha perlahan-lahan mulai goyah. Hingga perhatian Resi Dorna tak lagi pada penangkapan Yudistira, melainkan membunuh Abimanyu yang terus mengamuk dengan membabi buta.

Sebagai senapati perang yang tanggap akan bahaya bagi pasukannya, Resi Dorna memerintahkan pada seluruh pasukan Korawa untuk menghujani panah ke arah Abimanyu. Pada hitungan ke tiga, seluruh pasukan Korawa melaksanakan perintah Dorna. Meranjabkan ribuan panah pada Abimanyu, hingga tubuh sang kesatria serupa seokor landak. Sekalipun darah telah membasahi sekujur tubuh hingga bertetesan di tanah, Abimanyu masih sanggup berjalan tertatih-tatih sembari berteriak: "Amuk Korawa! Amuk Korawa! Amuk Korawa...!"

Dari kejauhan, Sarjakusuma -- putera mahkota Doryudana -- berlari ke arah Abimanyu yang tampak sudah tak berdaya. Lantaran dendamnya pada Abimanyu yang berhasil dalam perebutan wahyu keprabon di hutan Ringin Putih pada tiga tahun silam, hasrat Sarjakusuma untuk membunuh putera Arjuna itu tak dapat terbendung lagi. Namun sebelum menebaskan pedang ke leher Abimanyu, keris Kyai Pulanggeni terlebih dahulu menikam dada Sarjakusuma. Sarjakusuma tersungkur di tanah bersimbahkan darah. Tewas akibat dendamnya sendiri.

Tewasnya Sarjakusuma membuat Jayadrata berang bukan kepalang. Dengan memacu kudanya sekencang angin, Jayadrata menuju ke arah Abimanyu yang masih berdiri mematung dengan ribuan panah menancap di sekujur tubuhnya. Seusai menghunus pedang Kyai Glingang, Jayadrata turun dari gigir kuda. Menebas kepala Abimanyu. Pres! Kepala yang terlepas dari gembungnya itu menggelinding ke tanah. Gembung terjatuh ke tanah bersama melesatnya sukma ke nirwana. Gugur sebagai pahlawan, sesudah mampu memporakporandakan gelar perang Cakrabyuha.

Jayadrata menggeram sebelum menyarangkan pedang Kyai Glinggang di dalam warangka. Sebagaimana Bathara Guru yang menyaksikan kematian Abimanyu dari ara-ara mega, Jayadrata merasa lega karena dapat memupus impian Pandawa untuk mentakhtakannya sebagai raja Hastinapura. Namun di sisi lain, Jayadrata merasa sangat berduka. Karena impian Korawa yang ingin menjadikan Sarjakusuma sebagai raja Hastinapura pun harus kandas. Tanpa memperhatikan mayat Abimanyu; Jayadrata yang disertai Dorna dan pasukan Korawa membawa mayat Sarjakusuma ke perkemahan Bulu Pitu. Tempat dimana Prabu Doryudana, Patih Sengkuni, dan Prabu Salya tengah berkumpul.  

Sepeninggal pasukan Hastinapura, padang Kuruserta menyerupai kuburan massal pada ambang sore itu. Hanya mayat-mayat prajurit rucah, bangkai gajah dan kuda yang tampak berserakan di mata Karna. Dengan keretanya, Karna bergerak ke arah mayat Abimanyu yang tewas dengan kepala dan gembung terpisah. Setiba di tujuan, Karna turun dari kereta. Melangkah ke mayat Abimanyu. Seusai mengangkat mayat itu ke keretanya, Karna meninggalkan Kurusetra. Melajukan keretanya menembus senja yang mulai turun. Menuju perkemahan Randu Watangan.

Di tengah perjalanan, kereta Karna itu dihadang tiga punakawan -- Petruk, Gareng, dan Bagong. Sudah dapat ditebak apa yang menjadi tujuan Petruk atas penghadangan kereta Karna itu. Tak lain dan tak bukan, karena Petruk ingin meminta pelunasan upah saat melaksanakan tugas menyampaikan pesan Bisma pada Abimanyu pada dua hari silam. Pelunasan upah yang masih ditangguhkan.

"Aku tahu, Truk." Karna membuka pembicaraan tanpa turun dari kereta. "Kalau kamu, Gareng, dan Bagong menghalangi jalan keretaku karena ingin meminta kekurangan upah dariku bukan?"

"Sungguh luar biasa, Kangjeng Adipati Benar-benar Kangjeng Adipati adalah seorang yang ngerti sadurunge winarah. Tahu sebelum terjadi."

"Sudahlah, Truk! Kalau ngomong tak usah dakik-dakik! Suka memuji pada seseorang yang ujung-ujungnya hanya minta uang." Karna sejenak terdiam untuk memalingkan wajahnya ke belakang dimana mayat Abimanyu semakin membiru. "Baiklah, Truk. Kali ini, aku akan melunasi hutangku yang kemarin. Aku juga akan memberikan upah untuk tugas baru yang harus kau laksanakan."

"Wow!" Wajah Petruk berbinar-binar. "Tugas apa Kangjeng Adipati?"

"Sampaikan kabar duka pada Adinda Arjuna! Abimanyu telah gugur di medan laga!"

"Gus Abimanyu gugur, Kangjeng Adipati?"

"Benar."

"Siapa yang membunuhnya?"

"Jayadrata."

"Kangjeng...." Petruk mengusap air mata yang menetes di pipinya atas gugurnya Abimanyu. Salah seorang tuannya yang sangat dicintainya semenjak masih kecil. "Sekarang dimana jasad Gus Abimanyu, Kangjeng Adipati. Biarlah hamba serahkan pada Tuan Yudistira dan Gusti Prabu Kresna."

"Di keretaku, Truk. Tengok di belakangku!"

Menyaksikan jasad Abimanyu yang sangat mengenaskan itu, Petruk sontak menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Demikian pula dengan Gareng dan Bagong yang sontak menangis dengan tak kalah kerasnya. Hingga ketiga punakawan itu seperti para peserta kontes nangis.

"Sudah! Sudah!" perintah Karna pada ketiga punakawan itu. "Meninggalnya Abimanyu tak cukup kalian tangisi. Lebih baik kalian berbagi tugas. Hendaklah Petruk segera memberitahukan kabar duka ini pada Adinda Arjuna dan Adinda Bima. Carilah mereka yang sengaja dijauhkan oleh Gardapati dan Wresaya dari barisan Pandawa di kaki Gunung Setrakuru!"

"Tugas dari Kangjeng Adipati akan hamba laksanakan!"

Sepeninggal Petruk yang kelupaan meminta upah dan pelunasan hutang atas pekerjaannya pada dua hari silam, Karna memerintahkan pada Gareng dan Bagong untuk menghadapkan jasad Abimanyu pada Yudistira dan Kresna di perkemahan Randu Watangan. Karena perasaan yang sangat kalut, kedua punakawan itu melaksanakan perintah Karna tanpa meminta upah sepeser pun.

Bayangan Petruk, Gareng, dan Bagong tak lagi terlihat di mata Karna. Bersama sore yang merangkak ke tepi senja, Karna memutar keretanya. Melajukannya dengan membelah padang Kurusetra yang dipenuhi mayat-mayat prajurit rucah. Menuju perkemahan Bulu Pitu. Tempat dimana Doryudana beserta keluarga besar Korawa tengah berduka atas tewasnya Sarjakusuma.

***

Malam di perkemahan Randu Watangan larut dalam duka; ketika Yudistira, Prabu Matsyapati, Nakula, Sadewa, Setyaki, Srikandi, Trustajumena, Udawa, Gatotkaca, dan Jaya Sangasanga menyaksikan mayat Abimanyu yang sangat mengenaskan. Tubuhnya yang terpisah dari kepala dipenuhi tancapan panah-panah.

"Sudahlah, Adinda Yudistira!" Kresna menghibur dengan kata-kata puitis dan filosofis. "Kematian adalah ambang kehidupan sejati. Dengan kematian, sukma akan terbebas dari penjara ragawi. Wadah yang hanya diliputi nafsu selalu mabuk dengan keindagan pelangi. Karenanya, Adinda. Abimanyu kini telah membebaskan diri dari alam vana. Mencapai alam nirwana."

Mengambil saripati dari penuturan Kresna; Yudistira dan seluruh keluarga Pandawa di perkemahan Randu Watangan yang semula terkungkung dalam kegelapan serasa mendapatkan sepercik cahaya. Kedukaan yang semula menyelimuti hatinya perlahan-lahan memudar menjadi keikhlasan. Mereka pun dapat menerima hingga mampu memahami bahwa kematian Abimanyu adalah bagian dari ambisi mereka yang harus terpangkas. Ambisi untuk menobatkan Abimanyu sebagai raja Hastinapura bila Bharatayuda dimenangkan Pandawa.

"Adinda Yudistira." Kresna melanjutkan penuturannya. "Hendaklah gugurnya Ananda Abimanyu di medan laga bukan menyurutkan semangat pasukan Pandawa untuk melanjutkan Bharatayuda. Mengingat Bharatayuda bukan sekadar memperjuangkan ambisi pribadi dan kelompok, namun untuk memperjuangkan darma sebagai kesatria. Manusia yang tak dapat melepaskan diri dari kodrat. Kehendak mutlak dari Tuhan yang tak dapat diwiradat."

"Terima kasih tak terhingga atas nasihatnya, Kanda Prabu Kresna." Yudistira menghirup napas untuk melongkarkan dadanya yang terasa sesak. "Lantas apa yang harus kita laksanakan sekarang, Kanda Prabu? Semakin tak tega aku memandang jasad Abimanyu yang sangat mengenaskan itu."

"Kita rawat dan semayamkan dulu jasad Ananda Abimanyu, Adinda. Namun sebelum kita sempurnakan jasad Ananda Abimanyu dengan api suci pancaka; terlebih dahulu kita beritahukan kabar duka ini pada Arjuna, Bima, Ninek Utari, dan Ananda Siti Sendari."

"Mohon ampun, Gusti Prabu." Gareng yang semula hanya terdiam sontak bicara. "Kini Kang Petruk tengah dalam perjalanan menuju kaki Gunung Setrakuru untuk memberitahukan kabar duka atas gugurnya Gus Abimanyu pada Tuan Arjuna dan Tuan Bima. Menurut Kangjeng Adipati Karna, Tuan Ajurna dan Tuan Bima yang dijauhkan oleh Gardapati dan Wresaya dari pasukan Pandawa dalam perang Bharatayuda siang tadi sekarang berada di kaki gunung itu."

"Karena Petruk sudah bekerja, sekarang giliranmu dan Bagong. Sebelum pagi menjelang, berangkatlah ke Tanjunganom. Beritahukan kabar duka ini pada Ninek Utari dan Ananda Siti Sendari!"

"Tugas akan kami laksanakan dengan baik, Gusti Prabu Kresna. Tapi harap Gusti Prabu ketahui, kalau Gusti Ayu Utari sekarang sudah tidak tinggal di Tanjunganom. Dengan diantar Rama Semar, Gusti Ayu akan melaksanakan tapa brata di Lembah Cawan."

Mendengar penuturan Gareng tentang kepergian Utari yang disertai Semar dari Tanjunganom, Kresna segera menggunakan Kaca Paesan untuk mengetahui tujuan tapa brata Utari. Sesudah mengetahuinya, legalah hati Kresna.

"Apakah hamba dan Bagong harus pergi ke Lembah Cawan untuk memberitahukan kabar duka tentang wafatnya Gus Abimanyu, Gusti Prabu?"

"Tak perlu. Tapi kau dan Bagong harus tetap pergi ke Tanjunganom menjelang pagi nanti. Kabarkan berita duka ini kepada Ananda Siti Sendari. Ia harus mengetahuinya perihal kematian suaminya itu."

"Perintah Gusti Prabu Kresna akan hamba laksanakan."

Sepeninggal Gareng dan Bagong, Kresna memerintahkan pada dua orang prajurit untuk mencabuti seluruh panah yang menancap di sekujur jasad Abimanyu. Menyatukan antara jasad Abimanyu yang telah bersih dari panah-panah itu dengan kepalanya. Membaringkan jasad Abimanyu di atas papan kayu. 

Menyelimuti jasad itu dengan kain putih. Doapun kemudian dilafalkan khusyuk oleh seluruh penghuni perkemahan Randu Watangan. Doa yang diharapkan menjadi pengantar roh Abimanyu ke alam nirwana. Alam yang keindahannya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata puitis dari seorang pujangga pilihan.

Kisah sebelumnya:

Dongeng | Ranjaban Abimanyu [Bagian 1]

Dongeng | Ranjaban Abimanyu [Bagian 2]

Dongeng | Ranjaban Abimanyu [Bagian 3]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun