Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Ranjaban Abimanyu (Tamat)

17 Maret 2018   19:37 Diperbarui: 17 Maret 2018   19:47 1851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: wayang.files.wordpress.com

***

Bendera dan panji-panji dari pasukan Korawa semakin tinggi berkibar di Kurusetra, manakala gelar perang Cakrabyuha yang diterapkan Dorna berhasil memporakporandakan pasukan Pandawa. Arjuna dan Bima yang semula bertanding dengan Garbapati dan Wresaya tak tampak lagi batang hidungnya di medan laga. Prabu Drupada gugur di tangan Drona. Wratsangka dan Utara -- putera Matsyapati -- gugur di tangan Karna.

Dada Abimanyu, Sumitra, dan Prabakusuma serasa terbakar saat menyaksikan pasukan Korawa berada di atas angin. Jantung mereka semakin berdegup kencang, saat menyaksikan ribuan prajurit rucah Pandawa berkaparan di tanah sebagai tumbal perang. Karenanya tanpa perpikir tiga kali, ketiga putera Arjuna yang gagah berani itu sontak melecut kudanya dengan tali kendali menuju medan laga.

Krida Abimanyu, Sumitra, dan Prabakusuma serupa banteng terluka. Dengan sebilah pedang, mereka menebas kepala-kepala prajurit rucah pasukan Korawa. Serupa kelapa-kelapa yang berjatuhan dari pohonnya, kepala demi kepala dari para prajurit rucah Korawa bergelundungan di tanah.

Dari atas kereta, Karna yang tak menginginkan Abimanyu sebagai tumbal Bharatayuda sontak berkehendak membinasakan Sumitra, dan Prabakusuma -- putera menantunya sendiri. Dengan membinasakan keduanya, nyali Abimanyu untuk berperang di medan laga diharapkan akan mereda. Karenanya tanpa lagi berpikir, Karna melepaskan panah Kyai Konta Wijayandanu dari busurnya. Dalam sekali jebretan, panah itu berubah menjadi dua batang. Melesat, dan menembus dada Sumitra dan Prabakusuma. Keduanya terjungkal dari gigir kuda. Gugur sebagai kusuma bangsa.

Melihat kedua adik tirinya gugur, nyali Abimanyu untuk bertempur melawan pasukan Korawa di Kurukaserta tak padam sebagaimana yang diharapkan Karna, melainkan semakin berkobar. Maka dibuanglah pedang di tangan. Dihunuslah kemudian keris Kyai Pulanggeni dari warangka. Dengan pusaka yang menyala berkobar-kobar kebiruan pada ujungnya, Abimanyu membunuh ribuan prajurit Korawa. Gelar perang Cakrabyuha perlahan-lahan mulai goyah. Hingga perhatian Resi Dorna tak lagi pada penangkapan Yudistira, melainkan membunuh Abimanyu yang terus mengamuk dengan membabi buta.

Sebagai senapati perang yang tanggap akan bahaya bagi pasukannya, Resi Dorna memerintahkan pada seluruh pasukan Korawa untuk menghujani panah ke arah Abimanyu. Pada hitungan ke tiga, seluruh pasukan Korawa melaksanakan perintah Dorna. Meranjabkan ribuan panah pada Abimanyu, hingga tubuh sang kesatria serupa seokor landak. Sekalipun darah telah membasahi sekujur tubuh hingga bertetesan di tanah, Abimanyu masih sanggup berjalan tertatih-tatih sembari berteriak: "Amuk Korawa! Amuk Korawa! Amuk Korawa...!"

Dari kejauhan, Sarjakusuma -- putera mahkota Doryudana -- berlari ke arah Abimanyu yang tampak sudah tak berdaya. Lantaran dendamnya pada Abimanyu yang berhasil dalam perebutan wahyu keprabon di hutan Ringin Putih pada tiga tahun silam, hasrat Sarjakusuma untuk membunuh putera Arjuna itu tak dapat terbendung lagi. Namun sebelum menebaskan pedang ke leher Abimanyu, keris Kyai Pulanggeni terlebih dahulu menikam dada Sarjakusuma. Sarjakusuma tersungkur di tanah bersimbahkan darah. Tewas akibat dendamnya sendiri.

Tewasnya Sarjakusuma membuat Jayadrata berang bukan kepalang. Dengan memacu kudanya sekencang angin, Jayadrata menuju ke arah Abimanyu yang masih berdiri mematung dengan ribuan panah menancap di sekujur tubuhnya. Seusai menghunus pedang Kyai Glingang, Jayadrata turun dari gigir kuda. Menebas kepala Abimanyu. Pres! Kepala yang terlepas dari gembungnya itu menggelinding ke tanah. Gembung terjatuh ke tanah bersama melesatnya sukma ke nirwana. Gugur sebagai pahlawan, sesudah mampu memporakporandakan gelar perang Cakrabyuha.

Jayadrata menggeram sebelum menyarangkan pedang Kyai Glinggang di dalam warangka. Sebagaimana Bathara Guru yang menyaksikan kematian Abimanyu dari ara-ara mega, Jayadrata merasa lega karena dapat memupus impian Pandawa untuk mentakhtakannya sebagai raja Hastinapura. Namun di sisi lain, Jayadrata merasa sangat berduka. Karena impian Korawa yang ingin menjadikan Sarjakusuma sebagai raja Hastinapura pun harus kandas. Tanpa memperhatikan mayat Abimanyu; Jayadrata yang disertai Dorna dan pasukan Korawa membawa mayat Sarjakusuma ke perkemahan Bulu Pitu. Tempat dimana Prabu Doryudana, Patih Sengkuni, dan Prabu Salya tengah berkumpul.  

Sepeninggal pasukan Hastinapura, padang Kuruserta menyerupai kuburan massal pada ambang sore itu. Hanya mayat-mayat prajurit rucah, bangkai gajah dan kuda yang tampak berserakan di mata Karna. Dengan keretanya, Karna bergerak ke arah mayat Abimanyu yang tewas dengan kepala dan gembung terpisah. Setiba di tujuan, Karna turun dari kereta. Melangkah ke mayat Abimanyu. Seusai mengangkat mayat itu ke keretanya, Karna meninggalkan Kurusetra. Melajukan keretanya menembus senja yang mulai turun. Menuju perkemahan Randu Watangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun