Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... petani.

Pikiran-pikiran radikal hanya mungkin dihasilkan oleh sunyi. Itulah kenapa pecinta literasi cenderung suka menyendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Genosida Kesunyian (Bagian Pertama/Bab 3)

22 Februari 2025   21:00 Diperbarui: 22 Februari 2025   21:00 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Genosida Kesunyian

AR. Zanky

Bab III

Pasar itu terletak persis di simpang empat jalan. Buka sejak subuh sampai jam delapan. Jualan utamanya adalah unggas, segala macam ikan, juga sedikit sayuran. Pakaian sangat jarang diperjual-belikan karena termasuk barang langka. Di Kalahan, rata-rata orang hanya punya tiga lembar pakaian; untuk ke sawah, untuk di rumah, dan untuk menghadiri undangan. Mereka bisa mengenal satu sama lain dari warna pakaiannya, bahkan bila sedang bepergian ke pasar induk di kota kecamatan, di tengah kerumunan orang asing. Memang mereka punya ciri khas yang tiada taranya, yang sangat tidak cocok untuk ditiru, terutama menyangkut paduan warnanya. Tapi sudahlah, buat apa membicarakan model pakaian orang-orang ini. Mencabut selembar bulu ketek jauh lebih berfaedah kurasa.

Unggas-unggasan dijual paling dulu; burung, itik, ayam . Semua dijual sebelum matahari terbit. Kadang penjual dan pembeli yang sama bisa bertransaksi sampai lima atau enam kali untuk barang yang itu-itu juga. Itu tandanya si pembeli memang sayang dengan hewan peliharaannya. Tiap bertemu, mereka mengarang-ngarang cerita baru tentang asal usul unggas yang diperjualbelikan. Hal yang lazim terjadi pada orang yang akan menggelar hajatan.

Di Kalahan, orang yang akan mengawinkan anak, disumbangi dengan beragam unggas. Unggas-unggas ini diserahkan seminggu atau sepuluh hari sebelum acara berlangsung. Alasannya lugas dan sederhana; si penyumbang tak mau repot-repot memberi makan. Kalau sudah diserahkan, maka gugurlah kewajiban sebagai seorang warga yang baik. Tanggungjawab beralih pada si empunya hajatan. Dalam masa-masa tenggat inilah biasanya transaksi-transaksi gelap itu berlangsung berkepanjangan.

Berhubung tuan rumah tak punya cukup kandang, maka hewan-hewan itu dibiarkan berkeliaran di kolong rumah. Diberi kebebasan sejenak sebelum akhirnya masuk kuali dan wajan. Selama waktu itu, tentu saja si empunya hajatan tak bisa begadang terus-terusan. Dan seperti nabi Nuh, orang harus bertindak bijak; tak semua hewan itu bisa diselamatkan. Maka hanya yang besar-besar saja yang boleh dibawa ke rumah. Itulah peraturannya. Di sinilah kebijakan dan kebajikan orang-orang Kalahan diuji. Dengan cara biadab ini, sering si empunya hajatan harus menanggung nafkah beberapa keluarga sekaligus selama berhari-hari menjelang acara yang sebenarnya. hajatan perkawinan. Caranya, ya dengan jalan jual-beli yang berulang-ulang itu. Antara para maling dan empunya hajatan. Tapi tak mengapalah. Sebab semua orang toh akan mendapat giliran. Itulah nasib sial yang biasa disebut dengan lingkaran setan. Bahkan setan itu sendiri. Para maling bebas beraksi sesuka hati, dan si empunya hajat akan tetap menebus unggas yang dicuri itu berulangkali.

Aku duduk saja memperhatikan dari suatu sudut warung. Menyeruput teh seperlahan seekor kukang. Mengutil kue dengan hemat dan hati-hati. Aku tidak boleh boros. Setiap tetes air yang mengandung gula harus diresapkan seresap-resapnya. Setiap penganan yang mengandung tepung harus dicerna dengan penuh penghayatan. Tak setiap minggu aku bisa bermewah-mewah begini. Aku harus menghayati peristiwa ini dalam-dalam, agar di hari-hari mendatang mudah untuk dikenang.

Sementara tukang warung menatap kelakuanku penuh dengki. Ia terus mengincarku dengan berbagai bentuk intimidasi; mengaduk gula dengan suara berisik, membilas lap kotor dekat kakiku, menepuk-nepuk lalat berulangkali, berdehem-dehem sambil menahan dahak untuk kembali ditelan. Ia ingin membuatku jijik. Dia tidak tahu bahwa aku pernah menelan mentah-mentak ekor cicak yang putus dan jatuh ke gelas minumku.

Pada waktu yang sudah kuperhitungkan dengan cermat, kulempar piring kotor langsung ke bak cuci seakan sudah terbiasa melakukannya selama bertahun-tahun. Kujejalkan uang ke tangannya dan berlenggang pergi tanpa menunggu kembalian. Aku merasa sangat puas karena bisa mempermainkan si  Gombal Perca itu. Ya, betul, itulah nama yang pantas untuknya, gombal perca. Tambalan roknya jauh lebih compang-camping dari gambaran layar kapal bajak laut manapun.

Dari sudut mata kulihat si Gombal Perca membersihkan bekas mejaku, menggosoknya kuat-luat seakan sedang mengelupas karat. Lalu orang-orang yang sejak tadi berdiri di kejauhan, langsung berbondong memasuki warung layaknya gerombolan kuli lapar. Itulah dia, orang-orang terhormat Kalahan. Mereka yang dalam kegelapan bersikap gagah berani. Namun berubah jadi sekumpulan banci ketika harta bendanya dicuri terang-terangan.

Lihat saja, setan-setan gentayangan yang dari tadi jongkok diam-diam di keremangan mulai menduduki tempatnya yang khusus di pintu-pintu masuk pasar. Mengeluarkan dagangannya dari balik sarung. Mengelus-elus kepala hewan-hewan jinak itu dengan sikap malu-malu. Si empunya hajat maju paling duluan. Menandai unggas-unggas yang paling disayanginya. Paling besar dan berharga. Setelahnya barulah para pengecut di warung itu berani menongolkan kepala. Berbondong keluar dari warung. Walau pengecut, mereka merasa masih perlu menjaga harga diri. Jangan sampai segala kemungkaran itu terjadi persis di bawah hidung mereka. Ketika di empunya hajatan sampai ke jalan, terjadilah tawar-menawar singkat yang langsung disepakati. Masing-masing orang bergegas pulang, membawa induk hewan-hewan kesayangan yang tadi malam sempat diinapkan di rumah para setan. Aku bertanya-tanya dalam hati, sampai kapan orang-orang ini akan terus membanci?

Perhatianku teralih pada dua orang yang sedang bersitegang.

"Beli tidak? Kalau tidak, pergilah ke tempat orang yang sama bodohnya. Jangan membunng-buang waktuku!"

"Bodoh katamu?" Si bawel mengangkat telur yang dipegangnya ke depan hidung si penjual, "kau yang punya otak, kenapa menjual telur pecah, anak kuyang?"

"Pergi kau ke tempat ibumu anak sandah!"

Si bawel berdiri dan tersenyum, "lagi pula, siapa tahu telur-telur ini dibawa dalam lipatan sarung tadi malam, haa!"

"Telur busuk pelir lakimu itu!"

Orang-orang tertawa. Si bawel mengangkat bakulnya, "sinting!"

Kabut perlahan menghilang. Sinar matahari melimpahi lapangan luas itu. Hilanglah aura mistis yang menyelimuti tempat itu dua jam lalu. Pasar itu adalah pasar manusia biasa. Hanya memang tidak seperti pasar pada umumnya. Tak ada kios, lapak, ataupun patok-patok tertentu yang menandai suatu kawasan niaga. Seorang pemalas meletakkan sejumlah kursi dan meja, maka jadilah warung. Beberapa orang menghamparkan tikar lalu menawarkan sejumlah barang. Yang lainnya meletakkan ikan dan timbangan rombeng. Maka jadilah kios ikan. Selewat jam delapan semua itu menghilang. Kembali jadi lapangan tak terurus yang dipenuhi sampah dan semak ilalang.

Aku berdiri, menggeliat nyaman sambil membunyikan buku-buku jari, melenggang santai menuju jalan setapak di pinggir sawah. Melewati sekolah yang dindingnya terbuka separoh. Mendengar pak guru mengeja beberapa huruf, lalu terdengar teriakan ribut anak-anak menirukan. Di kelas itulah aku dulu pernah belajar beberapa bulan. Sehari-hari hanya mengeja, mengulang, mengeja, mengulang lagi sampai hafal. Apakah dia pak guru yang sama dengan 10 tahun lalu?

Aku tak punya kesan istimewa tentang sekolahku, begitu juga sebaliknya kukira. Segalanya berjalan mekanis. Tanpa perasaan dan penghayatan. Walau harus kuakui kemudian hari, ada semacam perasaan tertekan ketika mengingat masa-masa yang kabur itu.

Kadang pak guru tertidur sendiri karena lelah. Kamipun pergi ke lapangan untuk main bola, mandi di sungai, atau mengejar burung-burung di waktu hujan. Di waktu hujan pak guru tidur dengan lelap. Tak merasakan tempias air yang menyerbu masuk terbawa tiupan angin.

Aku mendengar orang memaki-maki histeris. Pastilah itu si gendut, istri pak guru. Mereka tinggal pada suatu serambi kecil yang ditambahkan pada ujung bangunan, berdempetan dengan kandang-kandang ayam. Itulah sumber penghasilan mereka. Kadang beberapa anak menangkapi anak-anak ayam. Melambungkannya ke udara secara bergantian. Katanya melatih si unggas supaya bisa cepat terbnag. Agar tak mudah ditangkap maling.

Namun faktanya ayam-ayam kecil itu belum mempunyai bulu yang cukup, hingga menciap-ciap histeris ketika turun dari udara. Anak-anak itu berlomba menyambutnya. Namun karena terlalu bersemangat, ayam-ayam malang itu justru meleset dari tangkapan. Jatuh berdebam ke tanah. Kejadian itulah yang jadi biang maki-makian si gendut. Perempuan itu akan mengejar mereka sekeliling sekolah sambil memengamang-amangkan penggaris kayu milik pak guru. Arak-arakan itu baru akan berhenti bila ketemu pak guru. Pak guru tak pernah marah. Ia akan menenangkan istrinya dengan segelas air putih. Lalu anak-anak kembali disuruh mengeja.

Pagar rumah itu masih tertutup saat aku sampai. Aku ada pekerjaan besar; menggali sumur, membersihkan halaman dan kebun belakang, mengecat seluruh pagar rumah. Juga pagar kambing di samping. Apa gunanya aku tidak tahu. Aku diberi tenggat waktu satu minggu. Tapi aku berencana menyelesaikannya dalam waktu empat hari saja. Aku terbiasa bekerja seperti kuda beban, dari subuh sampai malam. Tak terbayangkan hari-hari setelahnya, pasti sangat menyenangkan.

Aku berencana memanjakan diri, membeli sedikit gula dan teh, agar setiap pagi aku bisa bergaya sebagai seorang hartawan. Menghabiskan seluruh waktu hanya dengan bermalas-malasan. Tak peduli dengan urusan rezeki, sebab semua sudah terpenuhi. Setelah cukup lama celingukan mencari-cari, akhirnya juragan muncul dari kebun belakang. Ia memberi isyarat untuk diikuti.

"Jangan lupa kebunnya ya, ingat-ingat itu sobat? Benar, ya ya begitu. Seharusnya ini sudah selesai minggu lalu. Semua ini, pagar kambing itu maksudku. Tapi anak kampang itu menipuku. Meniupuku mentah-mentah di siang bolong. Uangku dilarikan beserta segerobak penuh kelapa!"

"Dilarikan bersama kelapa" Aku bertanya masygul.

"Tolol! Tentu saja dia tidak mengajak kelapa itu berlari-lari. Kau tahu kan? Misalkan kita terikat suatu perjanjian kerja sama. Nah itulah maksudku. Kita memberikan sejumlah uang panjar dengan janji pihak kedua akan cepat membereskan pekerjaan. Lalu rekan kita itu membawa beberapa teman keesokan harinya agar pekerjaan cepat selesai. Nah, pada titik itulah mereka mendapati bahwa kita lalai memanen kelapa. Kelapa-kelapa itu jatuh bergelimpangan seperti kena angin puyuh, sayang bukan? Kau tentu mengerti soal-soal sepele seperti ini. Sebenarnya aku cuma harus menyuruh mereka memanen kelapa-kelapa itu, mengupasnya, lalu menjualkannya ke pasar kecamatan. Semua itu berlaku atas pertimbangan bahwa aku terlalu sibuk untuk melakukannya sendiri. Nah, kau tentu dapat menebak apa yang aku lakukan; seluruh saran-saran itu aku luluskan. Menurutmu cocok tidak? Cocok tidak?" Jurangan bertanya mendesak.

"Sangat cocok juragan!"

"Setan belang! Tentu saja tidak cocok cicak rawa! Itu adalah awal muslihat mereka mengerjai aku anak bawang!" Juragan tersengal kehabisan nafas dan merah padam. "Nah, coba sekarang perhatikan. Mereka bersedia menjualkan kelapa-kelapa itu dengan sistem bagi hasil. Aku dapat dua bagian. Mereka satu bagian bersama-sama. Sampai di sini, semua terlihat menguntungkan bukan?" Aku diam saja. Takut salah bicara lagi.

"Lalu kita sepakat. Sekarang mereka menambahkan satu soal sepela; tentang sewa gerobak. Tentu saja aku menyanggupi. Aku bersedia membayar ongkos gerobak. Begitulah. Di situlah akhirnya. Aku tamat begitu saja. Anak-anak haram itu kabur dengan segala harta benda itu. Plus ongkos sewa gerobak. Benar-benar tak punya simpati! Hei, kenapa kau diam saja? Mengerti tidak? Pokoknya hal-hal seperti itu jangan lagi terulang. Kau bisa menjaminku bukan? Nah, bagus, bagus. Kucing jinak. Cobalah belajar sedikit mengendalikan hawa nafsu, kau pasti selamat. Dan soal hewan-hewan liar, ular dan tikus, kau jangan segan-segan. Penggal saja. Itu bukan penjelmaan makhluk gaib. Aku tidak mengerjakan hal-hal begitu. Kau jangan percaya kata orang soal tuyul dan setan gundul itu. Semua fitnah semata. Fitnah besar kawan. Janganlah kita berteman setan, bisa celaka dua belas kali. Astaga! Kenapa kau ini bung? Kenapa diam saja anak muda? Apa yang kau pkirkan tentang semua ini, aku, dan dunia? Pokoknya kau jangan banyak curiga. Jangan banyak pikir....Ah sudahlah. Buat apa aku mengajari seekor kingkong? Awas...!"

Juragan lalu pergi dengan menggotong keranjang rumputnya, sambil tak henti berkecap-kecap dan mengutuki segala jenis sifat tercela para penipu. Aku mulai mencangkuli tanah berpasir itu. Membuat lingkaran batas sesuai ukuran yang diminta. Nah, hanya dalam tempo satu jam, aku menemukan rongsokan termos, rangka ranjang, ban sepeda, ratusan baterai everiday, botol-botol 7up, gagang payung, kain-kain busuk dan balok-balok kayu. Jelaslah, lokasi ini adalah tempat penimbunan rongsokan.

Kenapa orang harus membuat sumur di tempat begini? Apa maksud semua ini? Apa yang dia pikirkan tentang sumur, aku, dan dunia? Apa orang ini mau memeras tenagaku? Sebaiknya aku tidak mengeluh dulu. Aku harus menanggungkan segala jerih payah ini. Rencana semula tak bisa diberlakukan. Aku perlu tambahan satu hari lagi untuk menyisihkan benda-benda sialan ini. Tak apalah. Lima hari. Masih dua hari lebih cepat dari tenggat waktu yang diberikan juragan.

Matahari tepat di atas ubun-ubun ketika aku melompat naik. Empat jam, tidak sampai sasu meter aku menggali. Separuh waktu terbuang mengurus rongsok-rongsok sialan itu. Buat apa juragan bikin sumur di sini? Di belakang rumah dia sudah punya sumur besar untuk keperluan sehari-hari. Di kebun dia punya tiga parit untuk menampung ikan bila kemarau. Apa untuk minuman kambing? Atau hanya sekedar iseng seperti kebiasaan orang kikir pada umumnya? Yakni menghabiskan harta untuk hal-hal tidak berguna daripada harus jatuh ke tangan orang lain.

Aku mencoba mencari-cari keberadaan penganan dan cerek minuman. Tapi tak ada tanda-tanda. Aku pergi ke sumur belakang, membasuh tangan, menyeka leher dan muka yang merah padam. Tak ada tanda-tanda pergerakan manusia. Aku mencium bau ikan goreng yang harum, bau sambel pedas yang bikin bersin. Itulah dia yang kuingin: duduk santai di bawah kelapa, angin sepoi-sepoi, di hadapan kita ada nasi putih bersih, sepiring kecil ikan, satu teko penuh teh panas, sambal dan pucuk singkong rebus. Bahkan seorang raja Istambul tak bakal mendapatkan makan siang semewah itu.

Tiba-tiba seseorang menggeram di belakang; "Keparat! Kau ingin mencekik aku cicak rawa!"

Ada yang menabrak aku dari belakang. Juragan terjengkang dengan tali keranjang melilit leher. Karena berjalan menunduk, dia tidak melihat aku yang sedang celingukan. Aku kagum dengan ukuran keranjang yang dipikulnya, hampir dua kali lipat tinggi manusia dewasa. Dengan sigap aku menarik tangannya.

"Lepas! Lepas dulu tali sialan ini anak tolol. Bisa-bisa kau membunuhku." Dia tersengal-sengal kehabisan udara, "hampir saja. Kau dan kambing-kambing itu sama congeknya!. Cuma mau enaknya. Ayo!" Ia berdiri dan memberi isyarat supaya diikuti.

Kami sampai di kebun kelapa. "Pilihlah yang paling besar dua biji."

Aku memanjat cepat. Sepertinya aku pernah tersesat ke kebun ini pada waktu malam. Aku harus mengingat-ingat tempat bagus ini. Aku mendaki ke pucuk, duduk di antara dahan-dahan, mengulurkan kaki pada tandan yang paling lebatd dengan sekali tendang buah-buah ranum itu langsung berserakan.

"Bajing loncat dua belas!" Juragan terperanjat. "Bangkrut aku, bangkrut! Kau ingin aku kering kerontang ya? Kau mau menghisap darah bapakmu sendiri? Dasar kau...", ia menengadah dengan putus asa. Dengan cepat ia mengumpulkan kelapa-kelapa itu. Menaruhnya dalam keranjang bambu. Juragan memberiku sebutir dan mengangkat sisanya ke gudang.

Aku sengaja bersikap liar untuk memberi kesan betapa berbahayanya hewan yang sedang lapar. Sekali papas, bagian atas kelapa itu langsung rata. Dengan satu jari, kucolok batoknya dengan telunjuk. Air memancar seperti kencing kena pencet. Aku tertawa kesetanan dan meminumnya dengan rakus, tanpa menurunkannya sama sekali. Tebasan kedua memisahkan kelapa itu jadi dua. Aku mengeruk-ngeruknya dengan kuku seperti seekor beruang. Melahap isinya hanya dalam dua suapan. Namun aksi barbarku ini sama sekali tak ada yang memperhatikan. Yang ada justru perutku jadi kembung. Mengeluarkan suara-suara aneh. Mirip tabung kosong yang dibenamkan ke dalam air. Penuh gelembung udara.

Aku memandang berkeliling. Seperti anak kecil mencari perhatian. Sepi. Aku bersandar ke batang kelapa sambil mata tak lepas dari dapur rumah juragan. Menunggu panggilan. Bau ikan goreng dan sambal terasi yang tadi sudah menguap hilang. Seseseorang pasti telah selesai memasak. Menatanya pada suatu tempat tertentu, lalu Juragan akan keluar dari dapur, berteriak, "hei kau makhluk fana! Santaplah rezekimu hari ini. Jangan suka bercanda dengan maut anak kukang!" Itulah panggilan paling indah yang kudambakan.

Tapi tak ada yang memanggil. Aku nekat berdiri, berjalan acuh tak acuh kembali ke belakang, menuju dapur. Menyanyikan sebuah lagu yang berhubungan dengan rasa penasaran. Juragan sedang asyik memberi makan kambing-kambingnya. Ia menggeram ke arahku sambil mengacungkan sabit. "Mau apa kau kucing jinak?"

Aku berbalik dengan kesal. Terduduk di bawah pohon mangga. Memejamkan mata kuat-kuat. Aku menangis saking dongkolnya. Bagaimana bisa ada manusia begitu tak berperasaan? Bagaimana bisa di siang bolong, di bawah persaksian matahari, seorang miskin dibiarkan kelaparan sendirian? Terkutuklah semua orang pelit yang tinggal di bawah kolong langit! Semoga mereka didera penyakit sembelit tujuh turunan!

Pengalaman hari pertama membuatku berjaga-jaga. Pagi buta aku menanak nasi dengan air melimpah. Menaburkan sedikit garam dan kapur. Mengaduknya kuat-kuat agar nasinya cepat pecah. Aku sarapan diam-diam, menjumput sedikit bawang goreng sebagai penyedap. Memang tak ada pembicaraan tentang makan siang, teh manis, atau kue tertentu. Itulah keteledoranku. Kurang teliti.Tidak rinci. Seharusnya hal itu dibicarakan blak-blakan dari awal. Orang ini bukanlah dari golongan manusia pada lazimnya. Dia pernah menguliti seekor monyet gara-gara mengambil kulit pisang di bak sampahnya.

Aku merincikan sisa-sisa kekayaan yang ada. Tempat beras sudah terlihat dasarnya, garam tinggal satu genggam, bawang, dan ikan... ya Tuhan! Tentu saja. Sejak tadi aku seperti mencium bau menyengat dari suatu tempat. Aku bergegas ke dapur. Benarlah. Ikan- ikan itu sudah mati semua karena aku lupa membuka tutupnya. Cuaca panas dan hidup berdesakan pada wadah sempit ...inilah akhirnya. Aku membawa ember itu ke pinggir sawah dan menumpahkannya ke batang-batang jerami. Yang dari tanah kembali ke tanah. Jadilah kau sari-sari makanan bagi rumpun-rumpun padi malang ini, hei kerabat alam.

Mengapa aku tidak menjualnya saja tiga hari lalu? Aku lalai. Terlalu bersemangat dengan tawaran pekerjaan itu. Berpuluh hari tidak memegang uang, menyebabkan aku tenggelam dalam kealpaan. Terbius rencana-rencana besar yang ambisius. Angan-angan hidup yang selama ini belum kesampaian: gula, sedikit tepung, teh Goalpara... Ya, ya baiklah, aku harus belajar supaya lebih bijak. Bukan, bukan. Aku harus lebih jeli melihat kenyataan, menyambar setiap peluang begitu kelihatan. Itulah inti falsafah hidup orang sukses. Falsafah yang lebih dari cukup bagi seorang tolol sepertiku. Tentang kebijaksanaan biar kusisakan untuk kaum cerdik pandai. Soalnya kalau tak berpikir mereka tentu akan jadi pengangguran.

Dengan bekal tonikum bubur garam dan satu jerigen air, sumur besar itu bisa selesai dalam waktu kurang dari tiga hari. Aku melompat pada pekerjaan berikutnya. Membabat dan memangkas segenap rumput liar, mengangkutnya ke parit dengan lari-lari anjing hingga juragan tertawa terpingkal-pingkal. Kambing-kambing itu memandangiku keheranan dengan tatapan mata mereka yang dungu, pasrah, tapi penuh persahabtan. Orang bodoh memang mudah mendapatkan kawan, pikirku. Terutama dari kalangan hewan. Apakah orang bodoh bisa disamakan dengan hewan? Wah, jangan sampai...

Aku bekerja tanpa beban. Tanpa mengharap imbalan makanan apapun. Aku tidak akan tertipu lagi oleh harapan-harapan hampa, seperti yang dikatakan penyanyi yang patah hati itu. Ketika bintang pertama muncul di angkasa, barulah aku pulang.

Hari-hari berikutnya memang tidak ada lagi kelapa. Tapi aku selalu pulang dengan riang gembira. Ketika keringatku habis terkuras, ragaku seperti mendapat pencerahan. Semacam penunaian siklus alami yang membuatku jadi segar bugar dan bersemangat.

Beberapa orang menyisih cepat-cepat ketika berselisih jalan, seakan takut terseruduk sapi liar. Aku tidak peduli bagaimana nampaknya penampilanku. Aku tak peduli apa penilaian orang menyangkut diriku. Manusia itu selamanya tidak bahagia, karena terlalu banyak mengurusi kehidupan orang lain. Mereka sok bahagia untuk menutupi penderitaan batinnya. Mereka berlagak punya martabat mulia demi menyembunyikan kekerdilan jiwanya. Mereka bersikap murah hati terhadap segala sesuatunya, agar kemiskinannya tidak disoroti. Mereka memelihara sifat-sifat munafik ini karena menyangka bisa lolos dari rasa asing dan hampa. Di sinilah aku merasa lebih unggul dari mereka.

Kuakui, aku memang sering berdusta dan berpura-pura, tapi itu karena pertimbangan praktis. Tak sampai ke dalam hati. Bukan sifatku yang asli. Aku melakukan semua itu sebatas di permukaan. Sedang untuk hati nuraniku sendiri aku tak pernah melakukannya sama sekali. Itu haram kawan!

Seperti perkiraan, pekerjaan itu selesai dalam waktu lima hari, tanpa selingan apa-apa. Aku mendisiplinkan diriku sendiri dengan keras. Datang pagi buta, pulang ketika senja. Hasilnya; air sumur mengalir, pagar mengkilat, sekitar rumah bersih lega. Masalahnya justru timbul dari inisiatifku yang terlalu bersemangat itu.

"Kamu kan kerja lima hari, yang seharusnya tujuh hari, benarkah?"

"Betul."

"Artinya anda menyingkat jam kerja. Yang seharusnya tujuh hari, kau singkat jadi lima. Jelas ada pemotongan jam kerja di sini. Anda menganggur selama dua hari, benar tidak?"

"Saya tidak mempermasalahkan soal potongan jam kerja. Juragan memotong upah saya, itulah inti masalahnya!"

"Wah, wah wah, belum paham juga rupanya. Coba aku tanya, berapa hari anda bekerja?"

"Lima."

"Yang dua hari?"

"Juragan terlalu berbelit. Berikan upah saya, selesai urusan kita!"

"Dengar baik-baik anak manis. Di sini kita umpakan ada pekerjaan cukup banyak. Nah, untuk ukuran orang normal pekerjaan itu diperkirakan selesai dalam waktu seminggu. Itulah jatah waktunya. Itulah kenyataannya. Itulah kesepakatannya. Kuulangi lagi ya; kesepakatannya. Faktanya, pekerjaan itu selesai dalam tempo lima hari. Siapa yang bisa disalahkan? Aku berpendapat tak ada yang bisa disalahkan..."

"Tentu saja..."

"Tunggu, tunggu dulu kawan. Nah, otomatis si pekerja ini, katakanlah begitu, menganggur selama dua hari. Dalam hal inipun

tak ada yang bisa disalahkan. Hanya saja kita berselisih sedikit soal hitungan...."

"Tapi, kenapa juragan memberi saya tenggat waktu seminggu, bukannya lima hari? Ini kan kelalaian juragan sendiri? Kenapa juga pekerjaan itu diborongkan? Tak dibikin jadi harian? Kenapa pula kita harus terlibat perdebatan tolol ini?"

"Sontoloyo!" Juragan terperanjat, "kau berani bilang aku tolol?"

"Nah juragan sendiri yang mengatakan. Kalau saya lebih suka menyebut juragan landak berkuku tajam. Benar, itulah sebutan yang tepat. Landak penghisap keringat orang miskin!"

Dia kehabisan kata-kata. Tak menyangka aku menyerang balik.

"Hmm, bagus, baguslah itu. Bagaimanapun harus diakui, kau aneh, sungguh aneh bung, seaneh ikan kering jantan. Bah! Kau kira aku tidak tahu? Tapi sudahlah, jelas sudah kau ini tolol, bebal, ambisius. Ya, ya ambisius! Aku tahu rencana-rencana busukmu. Taktik-taktik sayap kiri. Bahh!" Dia meludah sengit.

Tapi aku bertekad mengambil semua hakku. Aku tersenyum, "atau juragan lebih suka disebut dukun beranak? Ya, itu lebih cocok nampaknya. Walau gelar itu harusnya diberikan sepuluh tahun lalu." Aku memandangnya lekat-lekat. Dia pucat pasi. Bangsat kecil. Dia kira aku tidak tahu dosa-dosa masa lalunya. Soal skandal pengguguran kandungan itu.

Perselisihan itu berakhir dengan sedikit kompromi. Aku mundur selangkah. Rela upahku dipotong sehari. Tapi dia harus mundur dua langkah karena perkara dukun beranak itu kembali kusinggung di akhir pembicaraan. Aku mendapatkan enam ribu dari enam hari kerja yang dihitung ditambah dua ribu lagi yang tidak jelas untuk apa. Tapi kami sama-sama maklum. Aku puas. Aku telah menunjukkan kualitasku. Lain kali dia takkan berani macam-macam lagi.

Dua hari itu aku bermalas-malasan. Bergelung seperti seekor trenggiling ditemani si Kuning. Aku memberinya makan puas-puas. Aku sendiri tiap dua jam menyeduh teh hangat atau kopi. Berkali-kali buang air kecil. Dengan perasaan takjub kuperiksa kotak-kotak kesayanganku; tempat beras, botol minyak goreng, kaleng minyak tanah, kotak sabun, toples gula dan garam, bahkan aku punya persediaan rempah-rempah dan bumbu penyedap. Betapa ajaib dunia! Dalam sehari orang bisa jadi pesakitan atau kaya mendadak. Manusia dilambung-lambungkan kian-kemari oleh kehidupan, layaknya tikus dipermainkan kucing. Diberi sedikit kebebasan, lalu diterkam. Dibebaskan lagi, ditangkap kembali. Sampai kita sendiri kelelahan, pasrah menerima keadaan. Tapi aku tak begitu memikirkan soal-soal kehidupan dan permainan para kucing yang melelahkan itu. Aku sedang girang sekarang. Jangan sampai suasana ini dirusakkan oleh renungan-renungan dangkal yang tak berujung pangkal. Hatiku seringan kapas kini.

Yang sungguh melegakan nuraniku adalah fakta bahwa dalam beberapa hari ke depan aku tidak harus berkeliaran malam-malam. Selamat tinggal kegelapan. Selamat tinggal para setan. Tapi sampai kapan ini bisa bertahan? Itulah dia. Kali ini aku tidak boleh lengah. Aku harus mengambil setiap kesempatan. Aku harus sukses. Harus ikut penataran GBHN dan P4...Bahh!

Aku bergegas menanak nasi dan berganti baju. Aku telah menebang bambu pancing yang bagus dan panjang. Aku harus punya pendapatan tiap hari walaupun kecil. Itu akan sangat berguna mengulur sedikit waktu bagi datangnya kemiskinan.

Sembilan hari tidak turun ke sawah, ternyata terjadi cukup banyak perubahan. Tak ada lagi air tergenang di atas dataran. Air menyusut cepat, turun satu jengkal dari tebing sungai. Aku langsung menuju ke arah jejeran kelapa. Benarlah adanya. Ikan-ikan telah terkumpul di sungai. Wilayah-wilayah air yang terbuka dipenuhi kecugap berbagai jenis ikan. Seakan ada kesibukan luar biasa di bawah permukaan sana.

Di Kalahan ada anggapan bahwa sungai, betapapun kecil, adalah wilayah umum. Semua orang boleh mengambil manfaat sesukanya. Bahkan mereka yang sawahnya bersambung ke tepi sungai tidak pernah ambil pusing, walau itu termasuk dalam batas tanahnya. Sungai adalah wilayah peninggalan alam. Dan alam tidak pernah menunjuk siapa ahli warisnya. Lain dengan sumur yang sengaja digali. Itu wilayah pribadi. Tak ada hak bagi orang lain untuk mengambil manfaat. Itu sama dengan menantang berkelahi di depan umum. Semua orang maklum itu. Dan sejauh ini sangat jarang dilanggar. Ya, itulah adatnya. Soal unggas peliharaan, mereka bersikap sopan dan rela, kalau urusan sumur ikan lain lagi perkaranya.

Belum lagi umpan terpasang, aku mendengar suara-suara di air. Perempuan itu! Darahku langsung menjomplak ke kepala. Dia terlalu asyik rupanya hingga tak melihat aku yang terjepit di antara rumpun pisang. Tak mungkin lagi aku bersembunyi. Kami nyaris berhadapan. Hanya dipisahkan jarak beberapa depa.

Dia berada pada air sedalam pinggang. Namun seluruh tubuhnya basah kuyup hingga leher. Rupanya dia tadi tercebur. Seluruh pemandangan itu menunjukkan hal yang sebenarnya. Kain basah yang tipis itu, mengisyaratkan lekuk liku tubuh seorang gadis muda yang sedang berada di puncak pertumbuhannya.

Aku terguncang dan menggigil. Rasanya seperti baru lolos dari sambaran petir. Tiba-tiba dia tengadah mengangkat muka. Kaget sebentar, lalu tersenyum. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan. Namun entah bagaimana, dengan susah payah akhirnya aku berhasil bersuara, "banyak dapat?"

Dia tersenyum saja.

"Ikan di sini besar-besar. Apa bisa ditangkap dengan tangguk?"

Perempuan muda itu kembali tersenyum. Aku menunjuk keranjang kosong di sampingku, lalu memperlihatkan bambu pancing. Dia mengangguk. Tangannya ribut menunjuk-nunjuk dan membuat isyarat-isyarat. Dia bisu. Aku bertepuk-tepuk tangan lalu mengacungkan jempol. Dia menyeberang mendekat. Memeriksa keranjangku. Aku hampir tak dapat bernafas.

Dia tertawa ketika mendapati keranjangku masih kosong. Aku bingung dan sangat gugup. Ternyata tak semudah yang aku bayangkan. Segala khayalan dan rencana-rencana itu jadi berantakan ketika berhadapan langsung dengan kenyataan. Dia menepuk-nepuk keranjangku, menunjuk ke ujung sawah di belakangnya seraya memberi isyarat huruf A sambil menepuk dada. Aku mengerti. Rumahnya ada di sana. Dia begitu dekat. Aku dapat mencium aroma tubuhnya yang khas seorang petani. Aku mengangguk kuat-kuat. Mengacungkan dua jempol.

Dia berbalik menyeberangi air. Menyusuri tepian sungai yang dangkal dan naik ke sawah. Kemudian berjalan tenang ke arah rumah-rumah beratap seng. Tangguk besar itu ditudungkannya ke atas kepala.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun