"Tunggu, tunggu dulu kawan. Nah, otomatis si pekerja ini, katakanlah begitu, menganggur selama dua hari. Dalam hal inipun
tak ada yang bisa disalahkan. Hanya saja kita berselisih sedikit soal hitungan...."
"Tapi, kenapa juragan memberi saya tenggat waktu seminggu, bukannya lima hari? Ini kan kelalaian juragan sendiri? Kenapa juga pekerjaan itu diborongkan? Tak dibikin jadi harian? Kenapa pula kita harus terlibat perdebatan tolol ini?"
"Sontoloyo!" Juragan terperanjat, "kau berani bilang aku tolol?"
"Nah juragan sendiri yang mengatakan. Kalau saya lebih suka menyebut juragan landak berkuku tajam. Benar, itulah sebutan yang tepat. Landak penghisap keringat orang miskin!"
Dia kehabisan kata-kata. Tak menyangka aku menyerang balik.
"Hmm, bagus, baguslah itu. Bagaimanapun harus diakui, kau aneh, sungguh aneh bung, seaneh ikan kering jantan. Bah! Kau kira aku tidak tahu? Tapi sudahlah, jelas sudah kau ini tolol, bebal, ambisius. Ya, ya ambisius! Aku tahu rencana-rencana busukmu. Taktik-taktik sayap kiri. Bahh!" Dia meludah sengit.
Tapi aku bertekad mengambil semua hakku. Aku tersenyum, "atau juragan lebih suka disebut dukun beranak? Ya, itu lebih cocok nampaknya. Walau gelar itu harusnya diberikan sepuluh tahun lalu." Aku memandangnya lekat-lekat. Dia pucat pasi. Bangsat kecil. Dia kira aku tidak tahu dosa-dosa masa lalunya. Soal skandal pengguguran kandungan itu.
Perselisihan itu berakhir dengan sedikit kompromi. Aku mundur selangkah. Rela upahku dipotong sehari. Tapi dia harus mundur dua langkah karena perkara dukun beranak itu kembali kusinggung di akhir pembicaraan. Aku mendapatkan enam ribu dari enam hari kerja yang dihitung ditambah dua ribu lagi yang tidak jelas untuk apa. Tapi kami sama-sama maklum. Aku puas. Aku telah menunjukkan kualitasku. Lain kali dia takkan berani macam-macam lagi.
Dua hari itu aku bermalas-malasan. Bergelung seperti seekor trenggiling ditemani si Kuning. Aku memberinya makan puas-puas. Aku sendiri tiap dua jam menyeduh teh hangat atau kopi. Berkali-kali buang air kecil. Dengan perasaan takjub kuperiksa kotak-kotak kesayanganku; tempat beras, botol minyak goreng, kaleng minyak tanah, kotak sabun, toples gula dan garam, bahkan aku punya persediaan rempah-rempah dan bumbu penyedap. Betapa ajaib dunia! Dalam sehari orang bisa jadi pesakitan atau kaya mendadak. Manusia dilambung-lambungkan kian-kemari oleh kehidupan, layaknya tikus dipermainkan kucing. Diberi sedikit kebebasan, lalu diterkam. Dibebaskan lagi, ditangkap kembali. Sampai kita sendiri kelelahan, pasrah menerima keadaan. Tapi aku tak begitu memikirkan soal-soal kehidupan dan permainan para kucing yang melelahkan itu. Aku sedang girang sekarang. Jangan sampai suasana ini dirusakkan oleh renungan-renungan dangkal yang tak berujung pangkal. Hatiku seringan kapas kini.
Yang sungguh melegakan nuraniku adalah fakta bahwa dalam beberapa hari ke depan aku tidak harus berkeliaran malam-malam. Selamat tinggal kegelapan. Selamat tinggal para setan. Tapi sampai kapan ini bisa bertahan? Itulah dia. Kali ini aku tidak boleh lengah. Aku harus mengambil setiap kesempatan. Aku harus sukses. Harus ikut penataran GBHN dan P4...Bahh!