Seperti perkiraan, pekerjaan itu selesai dalam waktu lima hari, tanpa selingan apa-apa. Aku mendisiplinkan diriku sendiri dengan keras. Datang pagi buta, pulang ketika senja. Hasilnya; air sumur mengalir, pagar mengkilat, sekitar rumah bersih lega. Masalahnya justru timbul dari inisiatifku yang terlalu bersemangat itu.
"Kamu kan kerja lima hari, yang seharusnya tujuh hari, benarkah?"
"Betul."
"Artinya anda menyingkat jam kerja. Yang seharusnya tujuh hari, kau singkat jadi lima. Jelas ada pemotongan jam kerja di sini. Anda menganggur selama dua hari, benar tidak?"
"Saya tidak mempermasalahkan soal potongan jam kerja. Juragan memotong upah saya, itulah inti masalahnya!"
"Wah, wah wah, belum paham juga rupanya. Coba aku tanya, berapa hari anda bekerja?"
"Lima."
"Yang dua hari?"
"Juragan terlalu berbelit. Berikan upah saya, selesai urusan kita!"
"Dengar baik-baik anak manis. Di sini kita umpakan ada pekerjaan cukup banyak. Nah, untuk ukuran orang normal pekerjaan itu diperkirakan selesai dalam waktu seminggu. Itulah jatah waktunya. Itulah kenyataannya. Itulah kesepakatannya. Kuulangi lagi ya; kesepakatannya. Faktanya, pekerjaan itu selesai dalam tempo lima hari. Siapa yang bisa disalahkan? Aku berpendapat tak ada yang bisa disalahkan..."
"Tentu saja..."