Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mburu Uceng Kelangan Deleg, KAI Logistik Salah Menaruh Prioritas

20 Agustus 2025   10:40 Diperbarui: 20 Agustus 2025   10:40 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Counter KAI Logistik ( Foto : KAI Logistik- diunggah dari Kompas.com)

Pepatah Jawa "mburu uceng kelangan deleg"---mengejar ikan kecil sampai kehilangan ikan besar---terasa persis menggambarkan prioritas KAI Logistik hari ini.

Di tengah ekonomi serbadigital, pemain logistik besar memenangkan pasar bukan karena punya banyak katalog layanan, melainkan karena kecepatan yang bisa ditebak, jaringan hub-to-hub yang disiplin, dan integrasi mulus dengan marketplace serta kurir digital. Jika aset rel dan jadwal kereta tidak diposisikan sebagai mesin waktu kurir cepat antarkota, KAI Log hanya akan sibuk mengejar hal-hal kecil, tapi kehilangan peluang besar.

Pasar Logistik: Deleg yang Terlupakan

Indonesia ini pasar logistik raksasa. Belanja logistik nasional menyedot sekitar 14--24% dari PDB, angka yang termasuk tertinggi di ASEAN. Nilainya triliunan rupiah. Pemerintah bahkan menargetkan ongkos logistik bisa ditekan ke 8% PDB pada 2045. Artinya, logistik bukan sekadar urusan "paket sampai", melainkan penentu daya saing bangsa.

Dalam peta besar ini, KAI Log seharusnya punya keunggulan emas: jalur rel yang pasti, jadwal yang disiplin. Tapi sayangnya, alih-alih mengunci pasar kurir cepat dan integrasi digital, justru energi banyak terbuang pada layanan yang bukan inti.

Data yang Bicara: Kecil di Tengah Raksasa

Mari kita lihat perbandingannya.

  • Total kontribusi logistik pada PDB 2023: sekitar Rp 1.231 triliun.

  • Pendapatan KAI Logistik 2024: Rp 1,1 triliun, dengan laba Rp 89,6 miliar.

  • Semester I 2025: Rp 538 miliar.

  • Target 2029: Rp 1,8 triliun.

Artinya? Pendapatan setahun KAI Log bahkan tak sampai 0,1% dari total pasar logistik nasional. Padahal volume angkutnya besar (27 juta ton pada 2024), tapi nilai tambah yang dihasilkan tipis. Di sinilah letak masalah: volume besar tanpa model bisnis cepat dan presisi hanya membuat KAI Log jadi "angkut barang banyak tapi cuan tipis".

Salah Menaruh Prioritas

Yang terjadi sekarang ibarat lebih senang mengejar uceng. Layanan yang menambah daftar panjang brosur memang terdengar manis, tapi tidak menyentuh inti masalah logistik nasional: waktu, kepastian, dan kecepatan.

Kurir cepat (same-day/next-day) berbasis rel bisa jadi pembeda. Jadwal kereta yang disiplin seharusnya menjadi nilai jual utama. Bayangkan bila seller di Surabaya bisa menjanjikan barang tiba di Jakarta keesokan pagi, hanya karena KAI Log berani bikin layanan next-day yang konsisten. Itu "deleg"-nya.

Apa yang Mestinya Dikejar?

Sederhana:

  1. Kurir cepat antarkota -- bukan sekadar kirim, tapi pasti waktunya.

  2. Hub-to-hub presisi -- cut-off jelas, jadwal jelas, tiba jelas.

  3. Kolaborasi digital -- integrasi dengan marketplace dan kurir last-mile lewat sistem terbuka, bukan sekadar seremoni.

Kalau tiga hal ini dikerjakan serius, KAI Log bisa jadi pemain mid-mile utama di negeri ini. Kalau tidak, KAI Log hanya akan terus di pojok panggung, jadi BUMN yang sibuk kerja keras tapi tidak relevan di peta besar logistik modern.

Penutup: Jangan Sampai Kehilangan Ikan Besar

KAI Log punya aset langka: rel dan waktu yang disiplin. Tapi aset itu tak akan berarti kalau tidak diposisikan pada tempatnya. Pasar kurir cepat adalah deleg, sedangkan layanan pelengkap hanyalah uceng.

Pilihan KAI Log sederhana: terus mengejar uceng---atau mulai berani mengunci deleg. Pepatah Jawa sudah mengingatkan: jangan sampai mengejar yang kecil, lalu kehilangan yang besar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun