Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Joget Dulu, Bukti Menyusul ?

20 Agustus 2025   05:56 Diperbarui: 20 Agustus 2025   06:02 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joged Anggota DPR ( Foto : Tangkapan layar diunggah dari : Suara.com)

Di panggung dangdut, penonton diajak nyanyi, tepuk, joget. Di booth DJ, musik diatur supaya lantai dansa hidup. Kaidahnya sederhana: kalau penonton tidak bergerak, pemain ganti strategi. Nah, di panggung politik, musiknya sering kencang---tapi penonton (rakyat) masih banyak yang duduk diam karena dompet lagi seret. Masalahnya: honor panggung tetap jalan, entah penonton ikut joget atau tidak.

Etika Panggung: Ada Respons, Ada Bayaran

Penyanyi yang sepi respons akan menurunkan tempo, mengganti lagu, atau melempar interaksi. DJ membaca mood ruangan dan menggeser transisi. Intinya: bayaran mengikuti bukti---penonton puas, panggung sukses, honor pantas.
Di politik, kita mudah mengganti istilah---tunjangan, kompensasi, fasilitas---tetapi syarat cairnya jarang dibahas. Seolah-olah tepuk tangan rakyat tidak relevan dengan tebal-tipisnya amplop. Padahal, panggung politik pun butuh aturan main yang menghormati audiensnya: publik.

Pelawak Tahu Malu, Politisi Tahu Apa?

Pelawak yang tidak lucu biasanya mengakui, "aduh, malu juga." Lalu ia memperbaiki materi. Penyanyi fals? Turun nada, beres. Profesional panggung menghormati audiens karena audiens adalah cermin kualitas. DPR mestinya membaca cermin yang sama. Bila kehadiran tinggi itu mitos, target legislasi molor, rekomendasi audit jalan di tempat, dan layanan konstituen adem, maka bagian bonus jangan otomatis. Rumusnya sederhana tapi tegas: gaji pokok dibayar untuk tugas & risiko, bonus "at-risk" baru cair jika target publik benar-benar tercapai, dan gagal target berarti nol rupiah. Pengaman wajib menempel: audit independen, laporan triwulanan yang terbuka, dan clawback kalau belakangan terbukti "capaian semu".

"Ini Politik, Bukan Panggung." Justru Karena Itu

Risikonya lebih besar: kepercayaan publik. Sekali pecah, susah menambal. Maka desainnya jangan rumit, tetapi tegas dan kebayang. Pakai indikator yang rakyat bisa rasa: kemiskinan turun, pengangguran turun, pendapatan median naik, layanan dasar (kesehatan, pendidikan, administrasi) makin cepat dan layak, kualitas belanja benar-benar menghasilkan output---bukan sekadar "serap". Khusus DPR, indikatornya jelas: APBN tepat waktu tanpa sprint menit terakhir, hadir dan melayani konstituen, tindak lanjut BPK nyata. Di bawah ambang skor, bonus padam. Yang sederhana lebih dulu; biarkan kebiasaan baik tumbuh dari arsitektur insentif yang waras.

Joget Karena Gaji Naik? Penontonnya Ikut atau Cuma Menonton?

Kita paham biaya politik itu mahal. Namun negara bukan EO yang tugasnya mengembalikan modal pribadi. Negara adalah "venue" untuk layanan publik. Karena itu, wajar bila kompensasi diikat pada kinerja. Jika rumah dinas diganti dengan uang rumah atau ada penyesuaian fasilitas lain, jelaskan syaratnya (indikator yang memicu pencairan), jelaskan angkanya dan dampaknya (bagi anggaran dan prioritas layanan), serta jelaskan cara publik memeriksanya (kapan evaluasi, di mana datanya). Dengan begitu, kompensasi terasa konsekuensi kerja, bukan hadiah jabatan.

Dari Panggung Hiburan ke Panggung Anggaran

Ada tiga hukum panggung yang gampang dicerna dan layak kita pindahkan utuh ke anggaran. (1) Tempo: musik butuh tempo pas; anggaran butuh ritme tepat waktu. APBN molor, bonus ritme mati. (2) Setlist: DJ menyesuaikan setlist; parlemen dan pemerintah menyesuaikan prioritas legislasi dengan kebutuhan dapur rakyat. Setlist ngaco, tak ada encore. (3) Crowd control: konser yang rapi membuat penonton tenang; negara yang tertib itu SLA layanan berjalan, data bantuan rapi, rekomendasi audit ditindak. Jika kacau, lampu bonus padam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun