Oleh: H. Abdul Wahid Azar, S.H., M.H.Pengurus Pusat IPHI / Ketua IPHI Peduli Stunting
Setiap musim haji, jamaah Indonesia yang menunaikan haji tamattu atau qiran diwajibkan menyembelih hewan sebagai bentuk dam. Ratusan ribu ekor kambing disembelih di Tanah Haram --- wilayah sekitar Makkah --- sebagaimana diatur dalam Fatwa MUI Nomor 41 Tahun 2011. Fatwa tersebut menegaskan bahwa penyembelihan dam di luar Tanah Haram tidak sah.
Namun dalam keheningan ibadah, ada pertanyaan yang terus mengetuk hati:
"Mengapa daging yang berasal dari biaya umat ini, tak pernah kembali ke kampung-kampung umat itu sendiri?"
Sementara itu di Tanah Air, lebih dari 20% anak Indonesia masih mengalami stunting, dan puluhan juta lainnya hidup dalam ancaman kurang gizi.
Ketika Fatwa Bertemu Realitas Sosial
Kita tidak sedang mempertentangkan hukum dan niat baik. Kita justru sedang mencari ruang tafsir yang lebih menyentuh --- karena Islam tidak hanya membimbing hati ke langit, tetapi juga menggerakkan tangan untuk menyentuh bumi.
Fatwa, sejatinya, adalah hasil ijtihad. Dan ijtihad selalu membuka ruang tafsir baru saat konteks berubah. Maka, dengan penuh hormat, Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) mencoba membuka wacana:
Apakah penyembelihan dam dimungkinkan dilakukan di Indonesia, jika hal itu memberi dampak nyata bagi ketahanan gizi nasional?
Gizi Sebagai Bagian dari Ibadah
Jika domba-domba yang dibayar oleh jamaah Indonesia bisa disembelih di Tanah Air, lalu dagingnya disalurkan ke pesantren, panti asuhan, atau wilayah miskin yang terdampak stunting --- bukankah itu bentuk pengabdian yang syar'i dan maslahat?
Syariat dan maslahat tidak harus berseberangan. Keduanya bisa berjalan beriringan, selama niat, rukun, dan distribusinya tetap dalam koridor syariat Islam.
Maka IPHI menyelenggarakan:
Seminar Nasional IPHI
"Bisakah Dam Dipotong di Indonesia"
dialksanakan pada tanggal, 29 Juli 2025
di-Oasis Amir Hotel, Jakarta Pusat
Dibuka oleh Menteri Agama Republik Indonesia
Seminar ini bukan forum untuk menggugat, tapi ruang untuk merenung bersama. Menyatukan ulama, akademisi, dan pemangku kepentingan untuk membaca ulang makna ibadah dalam konteks bangsa yang masih lapar dan tertinggal.
Bayangkan jika 200.000 ekor domba dam bisa memberi makan kepada 1 juta anak Indonesia setiap tahun.
Bayangkan jika syariat tak hanya tertulis, tapi terasa --- di perut anak-anak yatim dan santri yang menanti.
Bukan hanya menyembelih hewan, tapi juga menyambung kehidupan.
Kami tidak sedang mengajukan fatwa tandingan. Kami hanya mengetuk ruang tafsir, agar hikmah dan maslahat bisa kembali menjadi jiwa dari ibadah.
Tafsir, Maslahat, dan Masa Depan Anak Bangsa
Ulama terdahulu mewariskan kebesaran jiwa dalam memaknai ibadah. Kita masih ingat bagaimana para pendiri bangsa rela melepas Piagam Jakarta demi persatuan. Karena mereka tahu, agama yang benar tidak memaksa, tetapi mengayomi.
Hari ini, mungkin sudah saatnya kita membuka tafsir baru:
bahwa menyembelih hewan dam bukan hanya soal tempat,
tapi soal siapa yang merasakan manfaatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI