Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lidah Bermahkota, Ketika Raja Kata Tergelincir Berulang Kali

9 Mei 2025   04:40 Diperbarui: 9 Mei 2025   04:40 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ahmad Dhani. Siapa yang tak kenal? Dulu dia raja panggung. Gitar di tangan, nada menggema, dan lirik yang tajam bak pedang menebas hati. Dari konser besar hingga panggung kecil, Dhani selalu punya pesona. Bukan cuma karena musiknya, tapi juga kata-katanya yang tanpa tedeng aling-aling.

Namun, waktu bergulir. Sang raja panggung itu kini menyandang mahkota baru sebagai anggota DPR. Dari panggung musik, ia melompat ke panggung politik. Bukan lagi soal nada dan melodi, tapi soal kata dan tanggung jawab. Mahkota itu bukan sekadar simbol kebesaran, tapi amanah yang berat. Sayangnya, ada satu hal yang masih belum sepenuhnya ia kuasai: menjaga lidah.

Kalau dulu mulutnya mengeluarkan nada yang indah dari mikrofon, sekarang kadang mengeluarkan nada sumbang di ruang sidang. Dari musisi jadi politisi, perubahan jalur ini mungkin membuat lidahnya agak bingung menyesuaikan diri. Di konser, kata boleh lantang, bebas, asal crowd senang. Tapi di ruang dewan? Beda cerita. Kata harus ditimbang, bukan sembarang keluar.

Cak Nun: Raja Kata yang Tak Pernah Tergelincir

Baca juga: Lidah "Sang Kyai"

Kalau Dhani adalah raja panggung yang sering terpeleset lidah, maka Cak Nun adalah raja kata sejati yang lidahnya selalu terjaga. Dalam setiap pertemuan Maiyah, ribuan kata meluncur dari mulut Cak Nun. Tak ada satu pun yang menyakiti. Kata-katanya mungkin keras, tapi tetap santun, tetap membawa rasa hormat.

Cak Nun tidak sekadar berbicara, tapi menjaga agar kata-kata tidak melukai. Ia tahu bahwa satu kata yang salah bisa meninggalkan luka mendalam. Cak Nun tidak asal bicara, karena baginya kata adalah doa. Jangan sampai ucapan justru merusak hubungan, apalagi menghancurkan kehormatan.

Dhani pernah mengatakan bahwa sejak Gus Dur wafat, sudah sepatutnya Nahdliyin "berimam" pada Cak Nun. Sosok Cak Nun memang menginspirasi, tapi ironisnya, Dhani sendiri tak mampu meneladani sang guru. Jika Cak Nun ibarat seorang maestro yang memetik gitar dengan penuh perasaan, Dhani justru seperti gitaris yang nadanya selalu sumbang.

Kebiasaan atau Khilaf?

Sekali dua kali orang masih bisa memaklumi, tapi kalau berulang kali, apakah benar ini hanya slip of the tongue? Lidah yang terus tergelincir bukan lagi soal teknik bicara, tapi soal kebiasaan yang belum berubah. Kalau sudah ada vonis berkali-kali, bukan lagi soal kelalaian, tapi cerminan dari pola pikir yang belum matang.

Cak Nun mengajarkan bahwa berbicara itu bukan soal menang atau kalah, tapi soal menjaga marwah. Kata-kata yang tajam bisa menusuk hati, dan lidah yang tidak terjaga bisa menjatuhkan mahkota yang seharusnya dijaga.

Berbicara dengan Hati, Bukan Sekadar Berapi-api

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun