Saya jadi teringat dan tertarik kembali untuk membaca cerpen karya ulama kharismatik KH. Mustofa Bisri, yang mengisahkan tentang Gus Jakfar. Cerita tentang beliau sudah menjadi legenda di masyarakat. Namanya disebut dengan penuh rasa takjub, menggema di ruang-ruang percakapan tentang karisma, kasyaf, dan ucapannya yang tajam namun penuh hikmah.
"Kalian ingat Sumini, si penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua?" tanya Mas Bambang, seorang pegawai Pemda. "Sebelum dilamar orang seberang, dia ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?' Eh, nggak lama kemudian, orang seberang itu datang melamarnya!"
Kisah itu mengalir dengan magis, seolah lidah Gus Jakfar adalah jembatan antara yang nyata dan yang tak kasat mata. Tak hanya soal pernikahan, ada pula cerita Kang Kandar, tukang kebun SD IV. "Waktu itu Gus Jakfar bilang begini, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Besoknya, Kang Kandar meninggal," ujar Ustadz Kamil.
Bagi masyarakat, Gus Jakfar bukan sekadar manusia biasa. Kata-katanya, meski kadang terdengar ringan, membawa makna mendalam. Di tangan beliau, ucapan berubah menjadi doa, petunjuk, bahkan pertanda. Lidahnya tidak pernah tergelincir menyakiti, melainkan menenangkan hati, seolah-olah setiap kata yang keluar adalah untaian hikmah.
Namun, bagaimana jika cerita seperti ini hadir di era modern? Masuklah kita ke dunia Gus Miftah, pendakwah kondang yang juga menjabat sebagai Utusan Presiden Bidang Kerukunan Umat Beragama. Jika Gus Jakfar dikenal dengan kehalusan kasyafnya, Gus Miftah memiliki gaya yang berbeda---humoris, spontan, dan terkadang kontroversial.
Semua bermula dari sebuah pengajian di Magelang. Gus Miftah sedang berbicara di depan jamaah ketika seorang penjual es teh, Sunhaji, melintas dengan dagangannya di atas kepala, berkeliling di antara para jamaah. Dalam suasana penuh canda, Gus Miftah memanggilnya dan bertanya, "Masih banyak es tehnya?"
Sunhaji menjawab, "Masih banyak, Gus."
Dengan nada bercanda, Gus Miftah berkata, "Ya sudah, nanti diborong, sana keliling dulu, goblok." Ucapannya disambut tawa riuh jamaah, dan Sunhaji hanya tersenyum kecut sambil melangkah pergi.
Namun, suasana berubah ketika video ucapan itu menyebar di media sosial. Reaksi netizen langsung membara. Ada yang membela, menganggap itu sekadar candaan khas Gus Miftah. Tetapi tidak sedikit yang menganggap kata "goblok" tidak pantas keluar dari mulut seorang kyai, apalagi pejabat negara. Meme dan komentar bermunculan, mulai dari yang lucu hingga tajam menyindir.
Namun, yang terjadi setelahnya benar-benar di luar dugaan. Gus Miftah, sadar bahwa ucapannya telah memicu kontroversi, segera bertindak. Beliau memborong seluruh dagangan es teh Sunhaji, memberikan hadiah umrah, dan bahkan beasiswa untuk anak-anaknya. Tapi cerita itu tidak berhenti di situ.
Viralnya video tersebut menarik perhatian banyak dermawan lain. Tawaran bantuan datang bertubi-tubi. Ada yang menawarkan modal usaha, bahkan renovasi rumah. Dalam waktu singkat, nasib Sunhaji berubah total. Ia tidak lagi sekadar penjual es teh keliling, tetapi menjadi ikon lokal yang dihujani bantuan.
Apakah ini karena "manjurnya" ucapan Gus Miftah? Atau karena lidah api media sosial yang mengubah narasi? Tak ada yang tahu pasti. Tetapi yang jelas, satu kata sederhana itu membawa perubahan besar---seperti ucapan Gus Jakfar di masa lalu, meski dengan jalan yang berbeda.
Kisah ini tentu mengundang perbandingan. Gus Jakfar, dengan kebijaksanaannya, menggunakan lidahnya untuk menyampaikan hikmah tanpa menyinggung. Di sisi lain, Gus Miftah dengan gaya spontan dan bercandanya, harus menghadapi tantangan zaman di mana setiap kata bisa menjadi bahan bakar di dunia maya. Di tangan Gus Jakfar, lidah adalah penyejuk hati. Sedangkan di era Gus Miftah, lidah bisa menjadi senjata tajam, apalagi di era digital yang memperbesar segala sesuatu.