Remba mendeham tidak peduli. "Kata sudah bisa diimbuhi partikel -lah atau -kah, sedangkan telah tidak bisa. 'Sudahlah, tidak usah memikirkan nasibku', contohnya. 'Telahlah, tidak usah mengkawatirkan perasaanku', janggal sekali."
Tami membelalak. "Kamu sudah selesai?"
Tawa Remba seketika meledak. "Sudah!"
"Gue telah mempelajari hal itu, Remba!"
"Nah, itu penggunaan telah yang tepat!"
Tami menepak meja dan meninggalkan Remba yang ternganga.
Rindu dan cemburu itu sama-sama cinta. Tidak perlu cemas karena rindu, tidak perlu gelisah karena cemburu. Cemas dan gelisahlah apabila takar keduanya berlebihan, karena keduanya sama-sama pemicu marah.
Sejak pertemuan ketiga, Tami tidak ingin bertemu Remba lagi. Bahkan ia bertekad akan menghindar dari lelaki menyebalkan itu, sungguhpun mereka bertemu tanpa sengaja. Ia tidak betah menyimak ceramah tentang bahasa Indonesia. Menjemukan!
Bulan pertama sejak pertemuan ketiga berlalu dengan aman. Bulan kedua juga begitu. Pada awal bulan ketiga, Tami tidak bisa menghindar. Sebuah tugas menulis makalah memaksanya harus menemui Remba.
Tibalah Tami di kafe tempat ia menemukan punggung Remba. Masih dengan kaus hitam, rambut berumbai-rumbai, dan novel di depannya. Ia tidak menunggu hingga Remba menutup buku dan menatapnya. Ia langsung meminta Remba supaya mengoreksi makalahnya.
Remba tidak banyak bicara. Ia langsung menulis analisis di atas kata analisa, hipotesis di atas hipotesa, diagnosis di atas diagnosa, serta kedaluwarsa di atas kadaluwarsa. Ia belum juga berkata apa-apa saat membubuhkan kata metode di atas metoda, komersial di atas komersil, serta eksem di atas eksim.Â