Jadi jelas, jenis kelamin tidak bisa dipertukarkan. Dari sononya laki-laki, dapatnya penis. Dari sononya perempuan, ya, dapatnya vagina. Tidak bisa pula diganti, kecuali kepepet. Ketika dilahirkan, kita tidak bisa memprotes jenis kelamin yang kita terima. Apalagi meminta ganti. Orangtua juga tidak punya daya mengganti jenis kelamin anaknya.
Pendek kata, jenis kelamin itu kodrat. Nah, Si Kodrat ini bersaudara dengan Si Takdir.
Adapun gender adalah seperangkat peran atau perilaku atau atribut yang dianggap layak bagi perempuan dan laki-laki. Anggapan itu dibangun oleh masyarakat. Lelaki, misalnya, identik dengan perilaku pemberani. Padahal ada juga perempuan yang pemberani. Perempuan, misalnya, identik dengan sikap lembut. Padahal ada juga yang lembut.
Peran lelaki sebagai kepala rumah tangga bisa digantikan oleh perempuan. Profesi perempuan selaku juru masak bisa digantikan oleh laki-laki. Begitu pula dengan dokter, pilot, guru, supir, atau satpam. Bahkan polisi dan tentara. Lelaki bisa jadi juru rias, perempuan bisa jadi tukang las.Â
Atribut juga sama, bisa dipertukarkan. Perempuan bisa memakai celana panjang, laki-laki juga boleh pakai daster. Tunggu saja saat peringatan 17-an, ada bapak-bapak yang main sepak bola memakai daster atau rok. Kalung, gelang, cincin, atau arloji juga bisa dipakai oleh lelaki atau perempuan. Bahkan ada lelaki yang bergiwang dan perempuan yang bertato.
Dalam tubuh perempuan selalu ada unsur laki-laki. Sebaliknya juga begitu. Pendek kata, tidak seperti jenis kelamin, gender memungkinkan terjadinya pertukaran peran.Â
Apakah kita sudah bisa membedakan antara gender dan jenis kelamin? Jika belum, berarti kita masih buta gender. Kalau sudah, kita bisa membuka pintu sadar gender.Â
Kesadaran atas gender akan muncul apabila kita sudah khatam dalam pembedaan dan perbedaan antara gender dan jenis kelamin. Masih kabur? Saya ringkas saja: jenis kelamin menyangkut organ biologis dan reproduksi, gender berkaitan dengan perilaku, atribut, dan peran.Â
Berikutnya, peka gender. Ini tahapan ketiga. Setelah sukses melewati pintu buta gender dan sadar gender, kita akan menyadari adanya ketimpangan gender. Ketimpangan gender itu menghasilkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender.Â
Ketimpangan itu sederhana. Bisa terjadi di mana-mana, termasuk di rumah. Contoh paling sederhana urusan dapur. Selama suami keukeuh menganggap perkara cuci piring atau memasak atau mengasuh anak total kewajiban perempuan, sudah terjadi ketimpangan itu. Nikah bersama, tanggung jawab bersama. Kalau boleh agak vulgar akan saya tambahkan satu contoh: bareng bikin anak, pengasuhannya urusan bersama. Terkait mengandung, melahirkan, dan menyusui, itu perkara jenis kelamin.