Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bias Gender Bermula di Rumah dan Lingkungan

14 Juni 2018   10:55 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:44 5710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kamu cewek," seru Ibu sengit, "ngapain maen bola."

"Cakep-cakep kok maen masak-masakan," kata Ayah sambil berdecak-decak. Begitulah. Budaya kelelakian dan keperempuanan bermula dari kecil. Bermula di rumah.

Cuplikan dialog di atas sekadar ilustrasi belaka. Anggap saja prakata bagi tulisan ini.

Ilustrasi itu menegaskan bahwa, tanpa sengaja, anak-anak telah kita bekali kurikulum seks sederhana. Dalam hal ini seks berarti kelamin. Nama pelajarannya keren. Pendidikan Jenis Kelamin. Hanya saja, materinya sangat sederhana. Masih seputar (1) apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, (2) apa yang harus dan tidak harus dikerjakan, serta (3) apa yang pantas dan tidak pantas dipakai.

Ketiga materi tersebut merujuk pada jenis kelamin, yakni lelaki dan perempuan. Itu sebabnya saya namai Pendidikan Jenis Kelamin. Ibarat tangga, baru anak tangga terbawah. Kita belum belum beranjak ke tingkat Pendidikan Gender. Padahal, anak-anak mesti kita bekali pengetahuan tentang gender yang tepat dan memadai. 

Ketiga materi itu, sekali lagi, baru tingkat dasar. Padahal yang dialami semasa kecil di rumah sering terbawa hingga dewasa. Yang teringat hanya larangan: laki-laki harus begitu, perempuan harus begini. Celakanya, materi pelajarannya cuma menyentuh lapisan paling luar. 

Antara Jenis Kelamin dan Gender 

Banyak yang menyangka gender adalah perempuan. Gender dikira tertuju bagi perempuan saja. Alhasil, pikiran yang melintas begitu mendengar memperjuangkan kesetaraan gender berarti berjuang agar perempuan setara dengan laki-laki. 

Di situ letak kekeliruan pandangan kita terhadap gender.

Sederhananya begini. Jenis kelamin mengacu pada organ biologis laki-laki dan organ reproduksi perempuan. Laki-laki dan perempuan itu jenis kelamin. Laki-laki punya sperma, perempuan punya sel telur. Laki-laki membuahi, perempuan mengandung dan melahirkan. 

Jadi jelas, jenis kelamin tidak bisa dipertukarkan. Dari sononya laki-laki, dapatnya penis. Dari sononya perempuan, ya, dapatnya vagina. Tidak bisa pula diganti, kecuali kepepet. Ketika dilahirkan, kita tidak bisa memprotes jenis kelamin yang kita terima. Apalagi meminta ganti. Orangtua juga tidak punya daya mengganti jenis kelamin anaknya.

Pendek kata, jenis kelamin itu kodrat. Nah, Si Kodrat ini bersaudara dengan Si Takdir.

psmag.com
psmag.com

Adapun gender adalah seperangkat peran atau perilaku atau atribut yang dianggap layak bagi perempuan dan laki-laki. Anggapan itu dibangun oleh masyarakat. Lelaki, misalnya, identik dengan perilaku pemberani. Padahal ada juga perempuan yang pemberani. Perempuan, misalnya, identik dengan sikap lembut. Padahal ada juga yang lembut.

Peran lelaki sebagai kepala rumah tangga bisa digantikan oleh perempuan. Profesi perempuan selaku juru masak bisa digantikan oleh laki-laki. Begitu pula dengan dokter, pilot, guru, supir, atau satpam. Bahkan polisi dan tentara. Lelaki bisa jadi juru rias, perempuan bisa jadi tukang las. 

Atribut juga sama, bisa dipertukarkan. Perempuan bisa memakai celana panjang, laki-laki juga boleh pakai daster. Tunggu saja saat peringatan 17-an, ada bapak-bapak yang main sepak bola memakai daster atau rok. Kalung, gelang, cincin, atau arloji juga bisa dipakai oleh lelaki atau perempuan. Bahkan ada lelaki yang bergiwang dan perempuan yang bertato.

Dalam tubuh perempuan selalu ada unsur laki-laki. Sebaliknya juga begitu. Pendek kata, tidak seperti jenis kelamin, gender memungkinkan terjadinya pertukaran peran. 

Chief Arnold. Sumber: Tribunnews.com
Chief Arnold. Sumber: Tribunnews.com
Beranjak dari Buta Gender 

Apakah kita sudah bisa membedakan antara gender dan jenis kelamin? Jika belum, berarti kita masih buta gender. Kalau sudah, kita bisa membuka pintu sadar gender. 

Kesadaran atas gender akan muncul apabila kita sudah khatam dalam pembedaan dan perbedaan antara gender dan jenis kelamin. Masih kabur? Saya ringkas saja: jenis kelamin menyangkut organ biologis dan reproduksi, gender berkaitan dengan perilaku, atribut, dan peran. 

Berikutnya, peka gender. Ini tahapan ketiga. Setelah sukses melewati pintu buta gender dan sadar gender, kita akan menyadari adanya ketimpangan gender. Ketimpangan gender itu menghasilkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. 

Ketimpangan itu sederhana. Bisa terjadi di mana-mana, termasuk di rumah. Contoh paling sederhana urusan dapur. Selama suami keukeuh menganggap perkara cuci piring atau memasak atau mengasuh anak total kewajiban perempuan, sudah terjadi ketimpangan itu. Nikah bersama, tanggung jawab bersama. Kalau boleh agak vulgar akan saya tambahkan satu contoh: bareng bikin anak, pengasuhannya urusan bersama. Terkait mengandung, melahirkan, dan menyusui, itu perkara jenis kelamin.

Laki-laki yang ingin menikah supaya ada yang memasak untuknya perlu keluar dari penjara sesat pikir. Menikah itu membangun rumah tangga. Kalau hanya butuh makan, bikin atau cari saja rumah makan. Perempuan yang ingin menikah supaya ada yang disuruh-suruh beli ini beli itu, mesti bangkit dari sesat pikir. Kalau cuma disuruh-suruh, unduh saja aplikasi Jedar alias Ojek Daring alias Ojek Online.

Terakhir, peduli gender. Inilah pintu utama. Kepedulian gender mencakup masalah gender apa yang terjadi di sekitar kita, mengapa masalah itu terjadi, apakah kita dapat membantu, serta solusi seperti apa yang dapat kita lakukan. 

Kasus kekerasan dalam rumah tangga, sekadar menyebut contoh, bisa menimpa perempuan dan laki-laki. Kendatipun perempuanlah yang paling sering mengalaminya. Kalau tetangga cekcok, suami-istri, sampai terjadi pemukulan yang mengancam keselamatan jiwa-raga, kita bisa lerai. Bahkan bisa kita adukan kepada pihak yang berwenang.

Bias Gender di Rumah dan Lingkungan

Berikut beberapa contoh bias gender yang kerap terjadi di sekitar kita.

Laki-laki tidak boleh main masak-masakan atau boneka. Perempuan tidak boleh main mobil-mobilan atau sepak bola. Lieke Martins namanya. Dia perempuan pesepak bola ternama dari Belanda. Sekarang bermain di FC Barcelona Femeni--tim sepak bola perempuan milik Barcelona. Arnold Poernomo namanya. Lebih kental disapa Chef Arnold. Ia koki tenar yang menjadi juri pada tahun 2013. 

Lieke Martins. Pemain Timnas Belanda dan FCB Femeni. (Sumber: FCB Femeni)
Lieke Martins. Pemain Timnas Belanda dan FCB Femeni. (Sumber: FCB Femeni)
Lelaki tidak merokok dituding banci, perempuan merokok dianggap binal. Kalau ada remaja atau pemuda yang tidak merokok, pada beberapa kasus, sering dianggap banci. Uniknya, perlakuan kita timpang kalau melihat gadis atau perempuan yang merokok. Biasanya mereka disangka binal atau perempuan tidak baik-baik. Loh, mestinya dianggap tomboi saja atau agak kelaki-lakian. Di situ saya sering merasa heran.

Lelaki yang banyak bicara atau cerewet sering dituding "seperti perempuan". Ajaib. Cowok yang bawel, cewek yang disalahkan. Sebagian di antara kita sering tanpa sadar mengucapkan "kayak cewek lu". Beberapa orang di antara kita ada yang tanpa sadar menulis "mulutnya seperti mulut ibu-ibu". Aduh, mengapa lari pula kita pada ibu-ibu. Alangkah! 

Masih gadis dan segar bugar tapi menyuruh lelaki berdiri agar ia bisa duduk. Beberapa teman saya pernah mengalami hal seperti itu di KRL. Padahal bukan penumpang prioritas dan si lelaki juga tidak duduk di kursi prioritas. Cowok yang penurut dipuji sebagai lelaki baik hati, sedangkan cowok yang memperkeras dengkurnya disangka lelaki tidak berperasaan. Ada juga lelaki yang lekas berdiri dan mempersilakan si gadis duduk, namun cuek saja kalau ibu-ibu yang berdiri di depannya. Hmmm.... 

Lelaki tidak boleh menangis, itu pekerjaan perempuan. Bias gender ini sungguh-sungguh menggugat Tuhan. Jelas-jelas Tuhan menciptakan air mata bagi semua manusia, ujuk-ujuk yang boleh menangis hanya perempuan. Kasihan kalau si lelaki nanti jadi aktor. Bakal kepayahan jikalau doi dapat peran menangis. Nanti dia tentang sutradara: saya dilarang menangis oleh Ayah dan Ibu sejak kecil.

Saya sekadar menyajikan contoh kasus bias gender di sekitar kita. Mungkin kalian pernah mengalami, pernah melihat, atau malah pernah melakukannya. Ujung-ujungnya, bias gender akan mengakibatkan diskriminasi. Adapun diskriminasi bakal menghasilkan ketimpangan gender.

Pada tataran tertentu, di beberapa daerah berlaku peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan. Permberlakuan jam malam di antaranya. Dampaknya, perempuan yang bekerja hingga pukul sepuluh malam akan kehilangan mata pencaharian. Kecuali pemerintah setempat menyediakan lapangan pekerjaan untuk menampung perempuan pekerja. 

Keterwakilan suara perempuan, di antaranya lagi. Dominasi laki-laki di dunia politik sering menjadi bahan kampanye yang bias gender. Nanti kalau terpilih akan sering masuk salon atau mal. Padahal, tidak sedikit juga lelaki yang masuk salon dan mal. Nanti kalau terpilih bakal beli tas mahal. Padahal, tidak sedikit juga lelaki yang punya jam tangan atau ikat pinggang atau tas mahal. 

Begitulah. Pada akhirnya, kita bisa mengupayakan kesetaraan dan keadilan gender bermula dari unit negara terkecil: di rumah. 

Sekali lagi, perkara gender bukan wilayah kekuasaan perempuan saja, melainkan kewajiban bersama.

Kota Hujan, 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun