Masa bersamamu
Terindah, terindah
Meski hanya sekejap oh juwita
Namun begitu dalamnya cinta
Kurasa, kurasa
Kau istimewa
Buatku merasa tak cukup sanggup lagi aku berkata
Sungguh kaulah seorang bidadari yang kan selalu kukenang
Hingga waktunya
Tiba waktunya
Kurasa kurasa kau istimewa
Buatku merasa tak cukup sanggup lagi aku berkata
Sungguh kaulah seorang bidadari yang kan selalu kukenang
Hingga waktunya
Tiba waktunya
Sekali pun tak bersama
Rasa ini kan tetap selalu ada
Hingga waktunya
Tiba waktunya
Hingga tiba, hingga tiba
Saat terindah bersamamu
Saat terindah bersamamu
Saat terindah bersamamu
Saat terindah bersamamu
Sungguh kaulah seorang bidadari yang kan selalu kukenang
Hingga waktunya
Tiba waktunya
Sekali pun tak bersama
Rasa ini kan tetap selalu ada
Hingga waktunya
Tiba waktunya
Hingga tiba, hingga tiba
Terindah, terindah (Calvin Jeremy-Terindah).
** Â Â
Detik demi detik terakhir sungguh-sungguh dinikmati Nyonya Calisa. Pagi ini, ia duduk di samping Tuan Calvin. Sementara pria itu berkonsentrasi mengemudikan mobil. Nyonya Calisa leluasa memandangi wajah Tuan Calvin lama-lama. Mematri seraut wajah rupawan itu di dalam hati. Memenuhi jumlah kerinduannya hingga ia kembali dari tanah suci nanti. Menikmati ketampanan Tuan Calvin dari dekat. Menyadari betapa beruntung dirinya.
"Hei...kenapa, Calisa? Ada yang salah dengan penampilanku?" tanya Tuan Calvin, sadar jika dirinya diperhatikan sejak tadi.
Nyonya Calisa tersenyum kecil. "Tidak, Calvin. Penampilanmu sempurna seperti biasa."
"Lalu?"
"Aku hanya berpikir...kamu terlalu nekat."
"Nekat? Kenapa?"
"Kamu menyetir mobil beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit. Sebuah kenekatan, tapi itu menunjukkan kalau kamu kuat."
Sebuah pujian diselipkan Nyonya Calisa. Tuan Calvin melirik istrinya sekilas sebelum mengembalikan ke arah ruas jalan yang tengah dilewatinya.
"Aku merasa sehat, Calisa. Lagi pula, kamu akan pergi dalam waktu lama. Mana mungkin aku membiarkanmu ke bandara sendirian? Tentu saja tidak, Sayang." Tuan Calvin menjelaskan dengan lembut.
"Sangat pengertian..." desah Nyonya Calisa.
** Â Â Â
"Oh Calvin, aku pasti akan merindukanmu. Bagaimana kalau kamu ikut umrah saja bersamaku?" Nyonya Calisa spontan menghentikan langkah. Posisi mereka tinggal beberapa meter lagi dari ruang check in.
"Kamu ini..." Tuan Calvin tertawa. Memegang lembut tangan Nyonya Calisa.
"Aku kan sudah bilang. Aku tidak ingin merepotkan di sana. Bagaimana kalau terjadi apa-apa?"
"Biarkan saja. Aku tak merasa direpotkan. Kalau kamu kenapa-napa, aku yang merawatmu." balas Nyonya Calisa. Nampaknya tak rela berpisah dengan pria pendamping hidupnya.
"Calisa..." Tuan Calvin mendekatkan wajah, menatap lembut sepasang mata indah milik wanita jelitanya.
"Jika aku sudah sembuh, aku janji akan pergi umrah bersamamu. Kita ajak Clara juga."
Bukannya mendengarkan, Nyonya Calisa justru terpesona. Tuan Calvin sangat tampan. Kulit putih, paras oriental, dan raut wajah santun menyenangkan itu menghipnotisnya dengan kekaguman. Nyonya Calisa selalu jatuh cinta, lagi dan lagi pada pria baik hati di dekatnya ini.
"Aku percaya kamu akan menepati janji itu, Calvin." ujar Nyonya Calisa.
"Bunda...!"
Derap langkah kaki mengagetkan mereka. Clara berlari kecil menghampiri Nyonya Calisa. Ia merentangkan tangan, memeluk ibu angkatnya itu. Nyonya Calisa menyambut pelukan Clara. Membalasnya dengan hangat dan penuh kasih.
"Jangan pergi, Bunda." Clara merajuk manja.
"Oh lihat, bahkan Clara pun bersedih." timpal sebuah suara tenor di belakang mereka.
Rupanya Clara tak datang sendirian. Ia bersama Wahyu dan Reinhart.
"Wahyu? Reinhart? Thanks ya, kalian mau datang juga. Tadi kukira Clara diantar supir atau Mama Lola." Nyonya Calisa berterima kasih, masih memeluk Clara.
"Kami juga ingin mengantarmu, Calisa. Untung saja aku diingatkan Reinhart setelah shalat Subuh. Kalau tidak..."
Dari dalam tas kecil yang dibawanya, Clara mengeluarkan sesuatu. Bunga-bunga yang dirangkai dari kertas warna. Diulurkannya bunga kertas itu ke tangan Nyonya Calisa.
"Ini buat Bunda."
"Wow...terima kasih, Sayang. Bunda suka banget. Clara yang buat ya?"
"Iya, Bunda."
Nyonya Calisa mencium pipi Clara. Disimpannya bunga kertas itu.
"Clara pintar," puji Tuan Calvin. Membelai rambut putri cantiknya.
"Ayah, pasti rumah kita sepi ya. Abisnya Bunda mau pergi." Clara mencurahkan isi hatinya pada Tuan Calvin.
"Kan ada Ayah. Jangan khawatir, Sayang."
"Nanti Rein ke rumah Clara. Tiap hari, biar Clara nggak kesepian." janji Reinhart.
Mata Clara berbinar bahagia. "Serius? Rein mau ke rumah Clara tiap hari?"
"Mau dong." sahut Reinhart yakin.
Wahyu, Tuan Calvin, dan Nyonya Calisa tersenyum menatapi anak-anak mereka. Tanpa ragu, Tuan Calvin mengusulkan sesuatu.
"Kalau mau, Rein boleh menginap di rumah Om Calvin selama Tante Calisa pergi."
"Ide bagus, Calvin. Rein mau ya?" sambut Nyonya Calisa senang.
"Mau banget. Boleh kan, Pap?"
Sejenak Wahyu memikirkannya. Ia mempercayai Tuan Calvin. Reinhart pasti aman dan bahagia bersamanya. Terlebih ada Clara.
"Boleh. Rein jangan nakal ya? Jangan bikin Om alvin repot."
"Siap, Papi."
Saat perpisahan semakin dekat. Berat bagi Nyonya Calisa untuk meninggalkan orang-orang yang dicintainya.
"I know your feeling, Calisa." kata Tuan Calvin lembut.
"And I will miss you, Calvin." Nyonya Calisa berujar lirih.
Tuan Calvin dan Nyonya Calisa berpelukan. Wangi Hugo Boss dan Gucci Guilty bertemu. Sungguh, mereka kelak akan saling merindukan.
"Doakan aku di sana..." pinta Tuan Calvin.
"Pasti, Calvin. Tujuan utamaku adalah mendoakanmu di sana."
Detik berikutnya, Nyonya Calisa merasakan sesuatu yang hangat menyentuh keningnya. Ia memejamkan mata, Tuan Calvin baru saja melakukan sesuatu yang paling disukainya.
"Calisa, saat bersamamu adalah saat yang terindah."
** Â Â
Saat kita bersama orang yang dicintai, itulah saat terindah. Namun, suka atau tidak, saat indah itu harus berakhir. Sekali pun tak bersama, jangan berhenti mencintainya.
Salam,
Hanya sekedar berbagi
Calvin Wan berbagi
Tuan Calvin selesai menulis artikelnya. Artikel satu ini spesial untuk wanita yang paling dicintainya, Dinda Calisa.
** Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=PN7XAfYm3S8