Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pawang Hujan

10 Agustus 2017   16:49 Diperbarui: 12 Agustus 2017   23:15 1653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilmu pawang diperoleh dari Eyang buyutnya. Ilmu itu turun temurun. Dari sekian banyak kerabat seusianya, waktu itu, dialah yang terpilih mewarisi. Dan di kampung  di mana ia tinggal, hanya dirinya-lah satu-satunya orang yang dianggap sakti. Yang bisa menyingkirkan hujan agar tidak turun di tempat orang yang sedang punya hajat.

Sejak berpuluh tahun Mbah Satemin mengais rezeki dari kepandaiannya itu.

Tapi akhir-akhir ini lelaki yang usianya mulai uzur itu merasakan ilmu yang dikuasainya agak meluntur. Ia tidak tahu apa sebabnya. Beberapa kali ia nyaris gagal menyingkirkan hujan.

Seperti Minggu kemarin. Ia harus menerima komplain dari salah satu pemilik hajat yang jauh-jauh hari sudah menyewa jasanya. Hujan ternyata masih juga turun deras meski ia sudah berjuang mati-matian menyingkirkannya. Bahkan Painem istrinya sampai harus merelakan pakaian dalam miliknya yang sudah terpakai, dilemparkan ke atas genting sebagai alternatif lain menolak hujan. Hujan tetap tidak mau berhenti. Malah semakin deras disertai petir menggelegar.

Tentu saja orang yang punya gawe melabraknya habis-habisan.

Sejak saat itu orang-orang kampung mulai meragukan kemampuannya. Meski masih ada satu dua orang yang tetap percaya akan kemampuannya.

"Semoga kejadian seperti Minggu lalu tidak terulang lagi, Nem. Sudah bagus penyewa jasa itu tidak meminta uangnya kembali. Tapi aku merasa harga diriku sebagai pawang hujan mulai jatuh."

"Simbah yang sabar, ya. Bisa jadi mantra yang simbah baca ada yang terselip," istrinya berusaha menenangkan.

"Terselip bagaimana, Nem? Lebih dari setengah abad aku menekuni pekerjaanku ini. Bukankah selama ini semua berjalan baik-baik saja?"

"Zaman sudah berubah, Mbah. Sepertinya yang mbaureksamendung mulai bosan dengan ritual yang itu-itu juga."

"Maksudmu kita harus mengganti ubarampe sesajen? Tidak, Nem. Itu sudah pakem."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun