Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan, apakah benar atau tidak aku tidak pernah tahu. Yang jelas aku masih melihatnya. Melihatnya asyik menikmati harinya bersama kawan-kawannya yang tak lain juga kawan-kawanku. Aku ikut membenci mereka hanya karena kebencianku terhadap Ivan. Apapun yang berhubungan dengannya, apapun itu aku takkan suka.
Aku melihat sebuah foto terupload dari akun facebooknya. Mereka masih sama seperti dulu. Berkumpul dan berfoto bersama. Bedanya hanya tanpa aku. Aku bukan lagi bagian dari mereka. Lantas Ivan, benarkah dia memang melanjutkan study-nya lagi? Jika ia, apa salah jika ia menikah sekaligus melanjutkan study-nya? Kenapa dia harus  memilih mempermalukanku dan keluargaku tepat sehari menjelang hari pernikahan kita?
Aku menatap potret itu lekat-lekat. Tak ada aku di antara mereka. Air mataku jatuh. Aku luka. Luka yang teramat dalam. Cinta itu anugerah. Tapi kenapa di saat aku berani mengenal cinta justru membuatku teramat luka?
"Bayangan tentangmu harus musnah dari dalam ingatanku," ucapku lirih. Lantas aku memblokir akun sosmed-nya dan menghapus semua kontaknya.
"Kita berakhir."
 ***
Hujan turun, setelah lama langit dihias mendung. Aku masih berkutat di balik selimut tebalku. Aku masih tak mempercayai siapa yang kutemu kemarin sore.
"Lisa?" serunya saat aku tengah sibuk mencari handphone-ku yang berdering.
"Ivan?" Aku berlari pergi. Tak menghiraukan teriakkannya yang terus memanggil namaku.
"Lisa, maafkan aku. Aku menyesal, aku telah banyak berbohong padamu...."
Suara itu menghilang dari pendengaranku karena aku terus berlari pergi. Luka itu tak boleh kembali membayangi langkahku. Tak boleh. Tak pernah boleh.