"Aku masih ingin melanjutkan pendidikanku lagi. Sebaiknya kita tidak jadi menikah saja."
"Kamu gila!" bentakku.
"Terserah kamu mau bilang aku gila atau bagaimana. Aku sudah membicarakan ini dengan keluargaku. Pernikahan kita batal!" balas Ivan membentak.
Langit seakan runtuh di hadapanku. Ternyata benar, badai itu ada. Dan kini ia benar-benar datang menghujam. Impianku mendadak sirna. Sirna.
Plak!!!
Aku melampiaskan amarahku. Kulihat Ivan memegang perih pipinya. Aku berhak melakukan semua ini. Berhak!
"Terima kasih untuk tamparanmu," ucapnya kemudian pergi meninggalkanku.
"Terima kasih sudah mempermalukanku dan keluargaku," teriakku yang pecah bersama tangisan.
"Apa yang terjadi, Nduk?" tanya Ibu. Ayah dan ibu tampak sekali khawatir melihat keadaanku.
"Lupakan tentang pernikahan!" balasku terisak dan berlari masuk ke dalam.
 ***
Melupakan yang indah itu tidak mudah. Sungguh betapa pun aku membencinya tapi bayang wajahnya selalu berkelebat hebat di pikiranku. Senyumnya, janjinya, pertunangan, rencana pernikahan. Siapa yang tak luka.