Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Akhir dari Cinta

6 Mei 2019   13:31 Diperbarui: 6 Mei 2019   20:20 116 8

Langit mendung tertutup awan hitam. Aku meringkik di balik selimut tebalku. Mencoba menghangatkan tubuh yang mulai menggigil akibat hawa dingin. Tak henti aku memejam-mejamkan mataku yang rasanya susah sekali terpejam. Kenangan dan luka lalu mendadak berkelebat di otakku.

Sepuluh tahun yang lalu, aku adalah seorang gadis polos yang tak mengerti tentang hubungan cinta dengan lawan jenis. Aku cuek, dingin dengan makhluk bernama laki-laki. Aku hanya fokus dan terus fokus pada pendidikanku. Hidupku tak banyak warna. Di saat teman-temanku menikmati masa mudanya dengan menjalin hubungan asmara bersama kaum laki-laki, aku malah sibuk berkutat dengan buku-buku pelajaran yang memang sudah menjadi teman setiaku sejak lama.

"Lisa, selamat, Nduk."

Aku memeluk Ibu dan ayahku. Mereka cinta sejatiku. Berkat didikan merekalah aku berhasil meraih yang terbaik. Aku berhasil meraih predikat cumlaude dan IPK tertinggi se-UNISBA. Lihatlah! Bahkan mentari seakan turut merayakan hari kemenanganku. Ia bertengger gagah menampakkan sinarnya yang cerah.

"Apa enggak sebaiknya kamu tetap di Bandung saja, Nduk. Di Bekasi kan kamu tidak ada siapa-siapa?" ucap Ibu.

Beliau selalu saja khawatir denganku. Lupakah Ibu bahwa sekarang aku sudah dewasa? Aku seorang lulusan sarjana, bukan lagi anak SMA.

"Bu, kesempatan tidak datang dua kali. Lagi pula, untuk menambah-nambah pengalaman Lisa. Lisa kan juga pengen bisa berkeliling kota. Masa Lisa tahunya Brebes sama Bandung doang," ucapku merayu, memonyongkan sedikit bibirku.

"Ya, sudahlah Nduk. Kalau memang itu sudah menjadi keputusanmu, Ibu terima saja. Ibu hanya bisa mendoakanmu dari jauh." Ibu mencium dan membelai rambutku yang memang sedari tadi berbaring di pangkuannya. Ibu, beliau adalah surgaku.

***

Cinta? Aku tak paham apa itu cinta, lantas kenapa di saat aku baru saja mengenal apa itu cinta seakan membuatku tersiksa? Apa memang beginilah yang disebut cinta?

"Ibu tidak suka dengan orang Medan. Carilah yang dekat-dekat saja," ujar suara di seberang sana.

Aku selalu melibatkan segala urusan dengan ibuku. Tentu saja, apa lagi urusan cinta yang belum paham benar aku tentangnya. Dan aku harus kecewa karena ibu melarangku memilih laki-laki medan itu.

Sejak bekerja aku sedikit berubah. Aku berani memandang makhluk bernama laki-laki. Aku berbaur dengan mereka. Aku bukan lagi Lisa yang dulu. Aku bukan lagi Lisa yang hanya berteman dengan buku-buku. Aku telah berbaur dengan dunia baru. Dunia yang kini mampu  membukakan segala belenggu hidupku selama ini.

"Aku janji, Lis. Aku juga sudah dewasa, aku tidak mungkin mengambil keputusan ini hanya untuk bersenang-senang saja. Aku ingin menikah denganmu."

Aku serasa terbang melayang di angkasa. Aku tak berhenti menyunggingkan senyumku. Laki-laki di hadapanku telah menghipnotis penuh pikiranku. Dia laki-laki kenalanku. Kami tidak bekerja dalam satu perusahaan. Dia orang Bandung. Dia tinggal di Cikarang. Tapi duniaku yang berubah drastis mampu mengenalkanku padanya. Sederhananya, aku mengenalnya dari teman kerjaku.

"Terima kasih, Van," ucapku.
Dan laki-laki itu meraih tanganku. Kemudian dengan sedikit ragu-ragu menarik tubuhku ke pelukannya. Hangat. Tak pernah aku merasakan hangat dekapan lembut seorang lelaki.
Ini cinta. Cinta yang membuat hidupku 180 derajat berubah. Aku mulai memperhatikan penampilanku yang awalnya selalu tampil apa adanya. Ada laki-laki yang siap menatapku setiap hari. Tentu aku harus cantik, demikian pikirku.


***

"Aku jadi pindah, Van," ucapku.

"Benarkah?" tanya Ivan tak percaya. Dari raut wajahnya terlihat ia bahagia dengan kepindahanku ke Cikarang.

"Nanti aku carikan kosan yang dekat dengan tempat kosku," lanjutnya kemudian.

Hariku semakin berwarna meski hanya dalam satu cerita. Bersama laki-laki bernama Ivan yang sudah membuat hatiku selalu melambung setiap hari. Oleh kata-kata cintanya, perhatiannya, hangat peluknya.

Waktu terus bergulir, cintaku masih tetap mengalir. Meski bumbu-bumbu pertengkaran selalu ada, tapi aku dan dia selalu bisa melewatinya dengan baik. Dan di tahun ke empat, Ivan memutuskan untuk datang melamarku. Dia datang ke Jawa dengan bekal keberanian dan keyakinan menghadap kedua orang tuaku.

"Kalau Bapak sih terserah Lisanya saja, Nak."
Aku menunduk malu saat ayah mengucapkan kata-kata itu sebagai jawaban atas pertanyaan Ivan. Dan seminggu setelah itu, aku resmi menjadi tunangannya. Untuk pernikahan masih direncanakan. Berdasarkan kesepakatan dua keluarga, masih sekitar 3-4 bulan setelah hari pertunangan.

***

Badai datang mendera. Persis di saat hari bahagia ada di depan mata. Ivan pindah ke Bandung dua bulan sebelumnya. Dia berhenti dari tempat kerjanya di Cikarang. Dan sejak itu pula dia berubah. Entah karena apa, aku tidak pernah mengetahuinya.

"Van, hari ini aku mau pulang ke Jawa. Kamu bisa datang ke sini sebentar?" tanyaku via telepon.

"Lis, aku sibuk. Sebaiknya kamu urus kepulanganmu sendiri saja," balasnya datar.

"Kamu benar-benar tidak mau menemuiku walaupun sebentar? Kita sudah sebulan lebih enggak ketemu, Van," protesku.

"Kamu jangan manja deh. Urus sendiri semuanya kan bisa," balasnya.

"Bukan masalah urus sendirinya, Van. Kita lama gak ketemu," balasku.

"Nanti juga ketemu. Sudahlah, aku capek banyak urusan," ucapnya kemudian langsung memutuskan sambungan telepon.

Dia berubah. 180 derajat berubah. Entah karena apa aku tidak mengerti. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Tapi pikiran buruk harus kubuang jauh-jauh. Jauh-jauh.

Panas mentari tak mencegah langkahku. Aku bergegas menyiapkan segalanya untuk kepulanganku ke Jawa. Libur 4 hari kumanfaatkan untuk melepas rindu kepada ayah dan ibu.

***

Segalanya sudah dipersiapkan. Undangan, sewa gedung, dekorasi dan lainnya. Hari bahagia itu akan segera tiba. Tapi aku merasa limbung. Hubunganku dengannya sudah tak sama. Hampir tak ada kata. Badai itu masih belum reda. Meski tak datang memporakporanda secara nyata.

"Lisa, kamu bahagia?" tanya Ibu sembari memeluk pundakku.
"Ia, Bu. Lisa bahagia," balasku dengan suara sedikit tertahan.

"Kamu nanti jadi istri harus nurut sama suami ya, Nduk? Kamu harus membuat suamimu selalu merasa nyaman di dekatmu," nasehatnya.

"Insya Allah, Bu. Doakan Lisa ya, Bu?"

Ada yang mengusik di relung hatiku. Entah apa? Kosong. Semua seakan tak bermakna apa pun. Seharusnya aku bahagia karena hari pernikahanku segera tiba. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Kediaman Ivan. Bisa jadi. Dua bulan lalu entah kenapa Ivan berubah. Dia berbeda. Sangat berbeda. Dingin, angkuh, seperti tak menginginkanku sama sekali.

"Di mana Lisa?"
Aku terperanjat dari lamunanku. Itu suara Ivan. Tentu saja aku mengenal suara itu. Tapi untuk apa dia ke sini? Ini bukan saatnya dia datang. Segala keperluan pernikahan sudah diatur oleh kedua pihak keluarga. Tidak ada yang perlu diurusi lagi. Tinggal menunggu waktu tiba saja.

"Lisa, aku mau bicara," ucap Ivan kemudian menyeret lenganku.

"Kenapa, Van?" tanyaku penasaran. Kenapa juga ia  membawaku ke luar rumah.

"Aku ingin pernikahan kita batal," ucapnya spontan.

"Apa? Batal? Maksudmu apa bicara seperti itu, Van?"

"Aku masih ingin melanjutkan pendidikanku lagi. Sebaiknya kita tidak jadi menikah saja."

"Kamu gila!" bentakku.

"Terserah kamu mau bilang aku gila atau bagaimana. Aku sudah membicarakan ini dengan keluargaku. Pernikahan kita batal!" balas Ivan membentak.

Langit seakan runtuh di hadapanku. Ternyata benar, badai itu ada. Dan kini ia benar-benar datang menghujam. Impianku mendadak sirna. Sirna.

Plak!!!
Aku melampiaskan amarahku. Kulihat Ivan memegang perih pipinya. Aku berhak melakukan semua ini. Berhak!

"Terima kasih untuk tamparanmu," ucapnya kemudian pergi meninggalkanku.

"Terima kasih sudah mempermalukanku dan keluargaku," teriakku yang pecah bersama tangisan.

"Apa yang terjadi, Nduk?" tanya Ibu. Ayah dan ibu tampak sekali khawatir melihat keadaanku.

"Lupakan tentang pernikahan!" balasku terisak dan berlari masuk ke dalam.

 ***

Melupakan yang indah itu tidak mudah. Sungguh betapa pun aku membencinya tapi bayang wajahnya selalu berkelebat hebat di pikiranku. Senyumnya, janjinya, pertunangan, rencana pernikahan. Siapa yang tak luka.

Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan, apakah benar atau tidak aku tidak pernah tahu. Yang jelas aku masih melihatnya. Melihatnya asyik menikmati harinya bersama kawan-kawannya yang tak lain juga kawan-kawanku. Aku ikut membenci mereka hanya karena kebencianku terhadap Ivan. Apapun yang berhubungan dengannya, apapun itu aku takkan suka.

Aku melihat sebuah foto terupload dari akun facebooknya. Mereka masih sama seperti dulu. Berkumpul dan berfoto bersama. Bedanya hanya tanpa aku. Aku bukan lagi bagian dari mereka. Lantas Ivan, benarkah dia memang melanjutkan study-nya lagi? Jika ia, apa salah jika ia menikah sekaligus melanjutkan study-nya? Kenapa dia harus  memilih mempermalukanku dan keluargaku tepat sehari menjelang hari pernikahan kita?

Aku menatap potret itu lekat-lekat. Tak ada aku di antara mereka. Air mataku jatuh. Aku luka. Luka yang teramat dalam. Cinta itu anugerah. Tapi kenapa di saat aku berani mengenal cinta justru membuatku teramat luka?

"Bayangan tentangmu harus musnah dari dalam ingatanku," ucapku lirih. Lantas aku memblokir akun sosmed-nya dan menghapus semua kontaknya.

"Kita berakhir."

 ***

Hujan turun, setelah lama langit dihias mendung. Aku masih berkutat di balik selimut tebalku. Aku masih tak mempercayai siapa yang kutemu kemarin sore.

"Lisa?" serunya saat aku tengah sibuk mencari handphone-ku yang berdering.

"Ivan?" Aku berlari pergi. Tak menghiraukan teriakkannya yang terus memanggil namaku.

"Lisa, maafkan aku. Aku menyesal, aku telah banyak berbohong padamu...."

Suara itu menghilang dari pendengaranku karena aku terus berlari pergi. Luka itu tak boleh kembali membayangi langkahku. Tak boleh. Tak pernah boleh.

"Sayang, kamu masih demam?"

"Tidak apa-apa, Mas. Sebentar juga pasti sembuh," balasku.

Lelaki di hadapanku mendekapku erat. Membelai rambutku lembut. Dia lelaki terhebat yang mampu membuat lukaku minggat.

"Mama, mama kapan sembuhnya?" ucap Shiren manja.

"Sebentar lagi, sayang. Sebentar lagi mama pasti sembuh," balas lelakiku.

"Shiren kangen pengen main sama Mama."

"Ia sayang, sini mama peluk," senyumku merekah.

Ada keindahan setelah penghinaan. Sehebat apa pun luka yang pernah kudapatkan pasti pada saatnya akan datang kebahagiaan yang menggantikan. Mereka, suami dan anakku adalah pelengkap hidupku, kebahagiaanku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun