Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buku Ini Aku Pinjam

2 Oktober 2022   10:58 Diperbarui: 2 Oktober 2022   11:13 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Nisa, ini uang sakumu?" kata Ibu sambil menyerahkan lima lembar uang dua ribuan yang sudah agak kucel. Setelah itu, perempuan itu  pun berlalu dan melanjutkan menyelesaikan pekerjaan rumah.

Kuterima uang itu dengan harapan semoga cukup untuk  biaya transportasi hari itu, dan mampu menahan rasa lapar yang sering mendera saat berada di sekolah. Kuperhatikan, perempuan berkulit coklat yang hampir jarang tertawa itu makin terlihat tua, karena beban hidup yang mengimpitnya.

Sebagai single parent Ibu mencari nafkah sendiri sejak berpisah dengan Bapak. Untunglah perempuan itu sudah terbiasa menderita sejak kecil. Pengalamannya berdagang pun sudah cukup lama.

Aku menerima uang itu dengan ekspresi datar. Ingin sekali suatu saat mendapat uang saku berlebih seperti teman-teman lain agar dapat jalan-jalan setelah sekolah usai. 

Namun, angan dan impianku sampai detik ini pun belum mampu terealisasi. Aku sangat maklum dengan kondisi seperti ini. Seperti maklumku pada sosok perempuan yang tidak pernah mengenal gincu itu. Kondisi yang selalu dipaksa untuk memahami keadaan.

Uang sebesar itu hanya cukup untuk membayar angkutan umum. Uang jajan? Tidak pernah ada uang jajan bagiku. Cukup tidak cukup, uang sepuluh ribu rupiah itu harus kugunakan sebaik mungkin. 

Makanya hampir setiap hari Senin dan Kamis aku selalu mengaku puasa. Malu sebenarnya harus berbohong pada teman-teman. Demi apa? Ya, demi menjaga diri  tetap teguh pada prinsip, dan agar cukup serta tidak  perlu jajan di sekolah.

Aku Nisa, perempuan yang tiga hari lagi berulang tahun ketujuh belas. Namun, setua ini  kue ulang tahun atau nasi kuning pun tidak pernah dapat  kunikmati saat hari istimewa itu tiba. Boro-boro kue ulang tahun, orang serumah ingat hari lahirku saja tidak pernah ada. 

Ucapan? Tidak pernah tebersit selarik kalimat yang dapat membuat mataku berkaca-kaca. Semua kulewati begitu saja. Hari-hari berjalan seakan tidak ada warna dan pelangi. Datar ya semua tampak lurus dan datar-datar saja.

Haruskah aku protes pada keadaan yang seakan tidak adil? Oh, no! Saudaraku empat orang, tiga laki-laki dan satu perempuan. Aku terlahir sebagai anak bungsu.

Aku terlahir dari keluarga broken home harus merasakan pedihnya kehilangan kasih sayang orang tua. Ketidak harmonisan antara Bapak dan Ibu sudah tampak saat aku masih di bangku sekolah dasar. Percekcokan rumah tangga hampir setiap hari terjadi. Kata-kata kasar dan tidak pantas didengar meluncur bagai gemuruh air hujan yang membasahi bumi.

Untung saja, filter hatiku masih berfungsi dengan baik. Aku mampu menyerap hal yang baik dari semua kejadian itu. Biarlah, nasibku begini. Benar, yang bertengkar orang tua, hingga kata perpisahan itu pun tidak dapat dielakkan. 

Namun, justru banyak hikmah yang dapat diambil. Ada sih, sedikit rasa malu pada tetangga yang hampir tiap hari mendengar makian dan kata kasar saat orang tua bercekcok. Namun, semua suara sumbang itu tidak pernah menjadi beban di hati dan pikiran.

Biarlah ini menjadi pelajaran berharga bagiku. Jangan sampai aku meniru kedua orang tuaku yang tidak mampu mempertahankan keutuhan rumah tangga dan akhirnya kata cerai menjadi senjata ampuh.

Kamis siang setelah jam pelajaran usai, aku harus mengikuti  kegiatan ekstra kurikuler. Sadar bahwa diriku tidak pandai berolah raga, atau seni, maka pilihan jatuh pada  kesenian Jawa. Aku hanya berminat pada salah satu kegiatan, yaitu karawitan. Bukan karena pintar, tetapi sekadar mengisi nilai rapor yang harus mencantumkan salah satu kegiatan sekolah sebagai tambahan nilai. 

Malang sekali bagiku, setiap latihan hanya mendapat bagian nggerongi dan tepuk tangan sebagai pengiring saat tembang dinyanyikan.

Sekian bulan mengikuti latihan karawitan, tanpa sepengetahuanku, ada sepasang mata yang diam-diam memperhatikan. Laki-laki teman satu sekolah beda kelas itu ternyata begitu peduli padaku. Saat latihan karawitan di aula sekolah itu, sering Aditya meminjam buku catatanku. Entah sebagai alasan saja atau memang benar-benar tertinggal beberapa catatan  tembang saat latihan.

"Nis, boleh aku pinjam buku catatanmu? Bukuku kebetulan tertinggal di rumah," tanya laki-laki berkulit sawo matang saat latihan karawitan sore itu.

Aku tidak segera menjawab pintanya. Ada rasa ragu saat ingin meluluskan permintaannya. Kucoba menafsirkan kalimatnya.

Hm ... jangan-jangan ada maksud tersembunyi, lirihku.

Tidak sabar, kembali laki-laki itu mengulang permintaannya.

"Boleh, ya? Sehari saja, besok kukembalikan, kok. Tenang, kujamin tetap bersih, deh," guraunya membuatku luluh dan memberikan buku catatan karawitan itu padanya.

Benar saja, Aditya memang mengembalikan buku itu tepat waktu. Tampak senyumnya semringah saat memberikan catatan itu padaku. Ingin segera kubuka lembaran-lembaran buku itu karena penasaran, barangkali ada tulisan berupa sajak, puisi atau surat darinya. Namun, niat itu kutarik kuat.

"Nis, terima kasih, ya. Duh, catatanmu rapi sekali, tulisanmu kecil-kecil, tetapi jelas.  Lain dengan tulisanku yang gak karuan," katanya sambil menyerahkan buku itu padaku. Tawanya berderai memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi.

Aku tersipu mendengar pengakuannya yang terasa jujur  saat mengembalikan buku itu. Tidak pernah sekali pun mendapat pujian sesederhana itu, tetapi membuat hatiku berwarna beda, melambung dan melampaui khayalku. Ada segaris  senyum mekar di bibirku.

Duh, tersanjung sekali, bisik hatiku.

"Ah, ada-ada saja. Tulisanku juga jelek kok. Cukup aku doang yang bisa membaca," ucapku membela diri menutupi rasa malu dan rasa yang aneh.

"Benarlah, Nis. Besok langganan pinjam buku catatan ya? Boleh kan?" bujuk Aditya sambil mengerlingkan mata.

Entah mengapa aku yang begitu cuek dengan laki-laki, tiba-tiba merasa mendapat perhatian lebih. Apalagi saudara laki-lakiku tidak pernah memberikan pujian atau semacamnya yang membuatku lebih  semangat dalam menapaki hidup ini.

Sebenarnya sadar atau tidak sadar dalam hatiku pun telah tumbuh sekuntum bunga indah yang entah  sejak kapan munculnya.  Ada taman hati yang ditumbuhi bunga penuh warna indah. 

Suasana taman pun semakin berseri saat Aditya hadir menemani. Meski rasa itu muncul tiba-tiba, tetapi kusimpan rapat. Biarlah hanya diriku  dan Tuhan yang tahu tentang rasa ini.

Tidak pantas dirimu mengenal laki-laki, Nis, tahu dirilah, tampikku dalam hati.

Sore setelah latihan karawitan, kondisi sekolah juga sudah sepi, tiba-tiba mendung begitu kelam. Rinai hujan membasahi halaman sekolah yang banyak ditumbuhi rumput jepang.

Sosok laki-laki itu tampaknya juga menunggu hujan reda. Kami berdua di depan aula tempat latihan karawitan sambil menunggu angkutan umum. Hatiku bergetar hebat saat  tidak sengaja mata kami beradu.

Duh, kenapa aku jadi salah tingkah di dekatnya.

Untunglah Aditya memulai duluan membuka percakapan.

"Menunggu angkutan umum ya? Kutunggu ya, kasihan kamu sendirian."

"Nggak apa-apa, Dit, sudah biasa. Silakan jika kamu pulang duluan. Kamu kan bawa sepeda motor?" tampikku untuk menghindari tatapan matanya.

"Santai saja, paling dua puluh menit sampai rumah, kok. Kamu yang harus muter-muter dulu baru sampai rumah. Sekalian aku pelajari lagi tembang yang baru tadi diberikan."

Begitulah hampir setiap Kamis sore, setelah latihan karawitan, laki-laki itu menungguku sampai mendapat angkutan.

Hingga suatu hari, saat aku menunggu angkutan untuk pulang, Aditya pun minta izin padaku.

"Nis, Sabtu siang setelah pulang sekolah, boleh aku main ke rumahmu? Ya, sekedar kenalan dengan keluargamu."

Kaget sebenarnya saat mendengar  permintaan Adit  yang tiba-tiba ingin dolan ke rumah. Banyak hal yang menjadi beban pikiranku. Malu, resah dan insecure dengan kondisi keluarga yang broken home.

"Nggak salah dengar, nih, Dit? Masa dolan ke rumahku, tetapi jangan kaget ya? Nanti kamu akan tahu sendiri."

Dalam hati sebenarnya agak kikuk dan galau juga karena kondisi keluargaku yang berantakan. Apa kata Adit jika mengetahui  hal yang sebenarnya. Namun, perasaan itu sengaja kusembunyikan, dan bersikap baik-baik saja.

Seperti yang telah dijanjikannya, Sabtu siang Adit pun ke rumah. Sorot matanya berbinar cerah,  terlihat berbahagia dapat menemui kakak-kakakku,  juga Ibu.  Beberapa kali laki-laki itu  menyampaikan rasa bangganya  dapat berkenalan dengan saudaraku. 

Sampai waktu salat Asar tiba, dia belum ingin pulang. Mungkin betah mengobrol dengan saudara-saudaraku. Saat hujan mulai turun dia malah minta pamit untuk pulang. Jas hujan pun lupa dibawanya. Aku menawarkan sebuah payung untuk dibawanya pulang, sekadar mengurangi basah tubuhnya.

Keesokan hari, saat pulang sekolah, Adit menyampaikan rasa terima kasihnya karena telah dipinjami payung, serta dapat berkenalan dengan saudaraku. Berkali-kali dia mengucap syukur sudah diperkenankan main di rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun