Sosok laki-laki itu tampaknya juga menunggu hujan reda. Kami berdua di depan aula tempat latihan karawitan sambil menunggu angkutan umum. Hatiku bergetar hebat saat  tidak sengaja mata kami beradu.
Duh, kenapa aku jadi salah tingkah di dekatnya.
Untunglah Aditya memulai duluan membuka percakapan.
"Menunggu angkutan umum ya? Kutunggu ya, kasihan kamu sendirian."
"Nggak apa-apa, Dit, sudah biasa. Silakan jika kamu pulang duluan. Kamu kan bawa sepeda motor?" tampikku untuk menghindari tatapan matanya.
"Santai saja, paling dua puluh menit sampai rumah, kok. Kamu yang harus muter-muter dulu baru sampai rumah. Sekalian aku pelajari lagi tembang yang baru tadi diberikan."
Begitulah hampir setiap Kamis sore, setelah latihan karawitan, laki-laki itu menungguku sampai mendapat angkutan.
Hingga suatu hari, saat aku menunggu angkutan untuk pulang, Aditya pun minta izin padaku.
"Nis, Sabtu siang setelah pulang sekolah, boleh aku main ke rumahmu? Ya, sekedar kenalan dengan keluargamu."
Kaget sebenarnya saat mendengar  permintaan Adit  yang tiba-tiba ingin dolan ke rumah. Banyak hal yang menjadi beban pikiranku. Malu, resah dan insecure dengan kondisi keluarga yang broken home.
"Nggak salah dengar, nih, Dit? Masa dolan ke rumahku, tetapi jangan kaget ya? Nanti kamu akan tahu sendiri."