Benar saja, Aditya memang mengembalikan buku itu tepat waktu. Tampak senyumnya semringah saat memberikan catatan itu padaku. Ingin segera kubuka lembaran-lembaran buku itu karena penasaran, barangkali ada tulisan berupa sajak, puisi atau surat darinya. Namun, niat itu kutarik kuat.
"Nis, terima kasih, ya. Duh, catatanmu rapi sekali, tulisanmu kecil-kecil, tetapi jelas. Â Lain dengan tulisanku yang gak karuan," katanya sambil menyerahkan buku itu padaku. Tawanya berderai memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi.
Aku tersipu mendengar pengakuannya yang terasa jujur  saat mengembalikan buku itu. Tidak pernah sekali pun mendapat pujian sesederhana itu, tetapi membuat hatiku berwarna beda, melambung dan melampaui khayalku. Ada segaris  senyum mekar di bibirku.
Duh, tersanjung sekali, bisik hatiku.
"Ah, ada-ada saja. Tulisanku juga jelek kok. Cukup aku doang yang bisa membaca," ucapku membela diri menutupi rasa malu dan rasa yang aneh.
"Benarlah, Nis. Besok langganan pinjam buku catatan ya? Boleh kan?" bujuk Aditya sambil mengerlingkan mata.
Entah mengapa aku yang begitu cuek dengan laki-laki, tiba-tiba merasa mendapat perhatian lebih. Apalagi saudara laki-lakiku tidak pernah memberikan pujian atau semacamnya yang membuatku lebih  semangat dalam menapaki hidup ini.
Sebenarnya sadar atau tidak sadar dalam hatiku pun telah tumbuh sekuntum bunga indah yang entah  sejak kapan munculnya.  Ada taman hati yang ditumbuhi bunga penuh warna indah.Â
Suasana taman pun semakin berseri saat Aditya hadir menemani. Meski rasa itu muncul tiba-tiba, tetapi kusimpan rapat. Biarlah hanya diriku  dan Tuhan yang tahu tentang rasa ini.
Tidak pantas dirimu mengenal laki-laki, Nis, tahu dirilah, tampikku dalam hati.
Sore setelah latihan karawitan, kondisi sekolah juga sudah sepi, tiba-tiba mendung begitu kelam. Rinai hujan membasahi halaman sekolah yang banyak ditumbuhi rumput jepang.