Mohon tunggu...
Zarna Fitri
Zarna Fitri Mohon Tunggu... Terus bermimpi

Hidup harus bermakna

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membaca Buku Di Kereta, Kenapa Langka?

15 Mei 2025   00:03 Diperbarui: 15 Mei 2025   00:03 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesibukan penumpang kereta dengan gawainya. Dokumentasi pribadi

Katanya jaman sudah semakin canggih. Dulu gawai dianggap barang mewah, yang memilikinya tentu saja orang kaya di kalangannya. Kalaupun ada pelajar atau masyarakat yang memiliki kadang hanya sebagai gaya-gayaan saja. Istilahnya gawai bagus tapi tak ada pulsa.

Sekarang, gawai jadi kebutuhan. Setiap kalangan dari atas sampai bawah semua punya. Anak balita saja kadang sudah dibelikan gawai oleh orang tuanya. Alasannya, selain agar anak anteng, juga katanya biar tidka ketinggalan jaman.

Apakah kecanggihan teknokogi ini yang membuat minat baca menurun? Entahlah. Tali, yang pasti, kegiatan membaca ini mulai ditinggalkan walau komunitas banyak yang menggalakkan. Katanya membaca sekarang beralih dari gawai, buktinya malah scroll sosial media tanpa jeda.

Waktu masih kuliah, setiap pulang kampung selama di kereta (iya, saya kadang dulu pulnag kampung pakai kereta api, karena memang baru buka jalurnya) saya selalu membawa satu atau dua buku untuk dibaca. Entah dibaca sekilas atau  kalau menarik bisa lama dibaca. 

Kalaupun pulang naik bus, buku tetap saya bawa. Kalaupun selama di perjalanan tidak membaca, biasanya saya memperhatikan dan menikmati perjalanan. Setiap papan reklame, plang toko, atau apapun itu, tak terlewati saya baca. Pernah saya berkunjung ke tempat kakak di luar propinsi, hanya berbekal SMS lewat gawai dan bantuan papan reklame. Maksudnya dengan membaca reklame tersebut, kan kita jadi tahu sudah sampai mana. Papan nama toko biasanya di bawahnya menulis alamat, nah dari situlah patokan saya ketika ditanya oleh kakak sudah sampai mana.

Kembali ke kereta. Kereta apalagi jika melihat KRL di Jabodetabek saat sesak memang tak memungkinkan untuk memegang buku. Bisa berdiri saja sudah syukur. Namun, tetap saja masih ada kok satu dua penumpang yang dengan segala daya dan upaya berusaha membaca buku. Langka memang tapi ada.

Jika dibandingkan negara Jepang tentu sangat jauh berbeda. Jepang penduduk ya sangat gila baca sementara kita entahlah, hampir gila yang ada. Hahaha.

Kebiasaan membaca buku ini sebenarnya kembali ke pola asuh. Kenapa saya katakan demikian? Coba lihat anak kecil di sekitar kita, berapa banyak dari mereka yang lebih diutamakan membaca buku dibandingkan dengan gawai. Saya kira banyak yang memberi gawai. Ya itu tadi, dalih agar anak anteng atau memang orang tuanya sendiri yang tidak hobi membaca. 

Saya pernah mendengar seorang ibu yang bilang begini ke anaknya, "buat apa sih beli buku banyak-banyak. Menghabiskan uang saja. Mending uangnya dipakai untuk yang lain", miris bukan?

Budaya membaca buku ini, jangankan di kereta, di tempat umum atau di rumah saja kadang jarang ditemui. Ada tapi belum marak. Semoga kita menjadi salah satu penggerak agar kegiatan membaca buku ini kembali menjadi kegiatan menyenangkan, dirindukan, dan menjadi sesuatu hal yang bukan langka lagi.

Ada banyak pihak yang berperan penting. Negara, orang tua, masyarakat harus bisa saling menggalakkan kegiatan membaca buku ini agar tak hanya menjadi wacana tapi juga jadi kegiatan yang berkelanjutan. Agar orang-orang yang membaca buku di kereta semakin banyak dan semakin banyak ditemukan.

Siapkah kita untuk hal baik ini? Hal mulia lho. Membaca salah satu cara membuka wawasan dan merupakan jendela dunia. Dengan membaca kita bisa tahu dan keliling dunia. Dengan membaca kita bisa mengubah dunia. Yuk, rajin membaca. (Tulisan ini juga tamparan buat saya yang sekarang berkurang membaca buku). 

Terima kasih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun