Mohon tunggu...
Anisa Qotrunnada
Anisa Qotrunnada Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Airlangga 2021

Kecintaannya terhadap literasi mendorongnya untuk menuangkan isi pikirannya dalam berbagai artikel. Dengan berbagai perspektif yang ia miliki, penulis berusaha memberikan pemahaman yang lebih luas tentang kehidupan sosial, serta bagaimana hal tersebut mempengaruhi keseharian kita.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

The Missing Pieces of Love: Ketika Rumah Tidak Memberi Pelukan

27 Juli 2025   20:05 Diperbarui: 27 Juli 2025   20:05 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang anak yang tumbuh tanpa afeksi kasih sayang yang utuh dari orangtua atau keluarganya di rumah akan mengalami kekosongan emosional yang sulit dijelaskan. Kasih sayang dalam keluarga bukan sekadar pelukan atau perhatian sesekali, melainkan fondasi emosional yang memberi rasa aman, diterima, dan dicintai tanpa syarat. Ketika hal itu tidak terpenuhi, anak cenderung mencari pengganti di luar rumah---baik dari teman, pasangan, atau lingkungan lain yang dianggap bisa mengisi kekosongan tersebut.

Namun, afeksi yang diperoleh dari luar tidak akan pernah bisa menggantikan secara utuh kekosongan yang berasal dari hubungan primer dengan keluarga. Bukan karena kasih sayang dari orang lain tidak tulus, tetapi karena luka yang tertanam sejak awal terlalu dalam dan membentuk pola keterikatan emosional yang tidak sehat. Anak tersebut bisa tumbuh menjadi seseorang yang selalu merasa "haus cinta" mudah bergantung secara emosional, atau justru membentengi diri dari kedekatan karena takut kembali kecewa. Pemenuhan afeksi dari keluarga adalah fondasi yang menentukan bagaimana seseorang mengenal dan membangun relasi dengan orang lain. Tanpa itu, ia seperti membangun rumah di atas tanah yang retak---meskipun dari luar tampak berdiri, dalamnya tetap rapuh.

Tanpa pemahaman akan pola ini, anak tersebut tidak akan sadar bahwa apa yang ia cari sesungguhnya bukan sekadar perhatian, melainkan rasa aman dan penerimaan mendalam yang seharusnya hadir sejak awal kehidupan. Maka, ia pun terus mencari bentuk kasih sayang yang "dirasa" sesuai, berharap suatu saat ada seseorang yang mampu menambal kekosongan tersebut. Sayangnya, karena tidak tahu apa yang ia cari, pencarian itu menjadi tak berujung. Ia mudah kecewa, mudah merasa tidak cukup, dan terus-menerus menggantungkan nilai dirinya pada seberapa besar orang lain bisa menyayanginya.

Karena ketidaktahuannya, anak mulai menarik kesimpulan yang menyakitkan: "Mungkin aku memang tidak pantas disayangi" Inilah titik paling rentan, ketika ia tidak hanya merasa kurang dicintai, tetapi juga mulai mempertanyakan nilai dirinya sendiri. Dari sini terbentuklah keraguan terhadap harga diri, ketidakpercayaan terhadap kasih yang tulus, dan kecemasan dalam membangun hubungan emosional. Tanpa disadari, luka masa kecil ini membentuk pola pikir dan perilaku yang berakar pada rasa tidak layak, dan bisa menjadi bayangan panjang dalam hidup seseorang jika tidak dikenali dan disembuhkan.

Penting bagi orangtua untuk tidak membiarkan anak merasa bahwa mereka harus membuktikan diri agar layak untuk disayangi. Kasih sayang seharusnya tidak bersyarat. Ketika seorang anak tumbuh dalam pola asuh yang membuatnya berpikir bahwa cinta hanya datang jika ia sempurna, patuh, atau selalu berhasil, maka ia akan membentuk kepercayaan keliru tentang dirinya: bahwa ia tidak cukup baik apa adanya. Anak yang tumbuh dalam tekanan semacam ini akan sulit merasa bangga atas dirinya sendiri dan selalu merasa harus "lebih" untuk dicintai.

Dalam banyak kasus, cinta dan perhatian hanya diberikan ketika anak berhasil, berperilaku baik, atau memenuhi ekspektasi tertentu. Sementara saat ia gagal, marah, menangis, atau menunjukkan kelemahan, respons yang ia terima bisa berupa penolakan, kritik, atau jarak emosional. Pengalaman seperti ini membuat anak belajar bahwa kasih sayang bukanlah sesuatu yang hadir secara utuh dan konstan, melainkan sesuatu yang harus diperoleh dengan menjadi versi terbaik dari dirinya. Ia mulai menyembunyikan kerentanannya dan menjadikan keberhasilan sebagai cara bertahan.  

Dampaknya sangat besar bagi kehidupan mereka di kemudian hari. Mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang sangat bergantung pada validasi, takut gagal, atau justru menghindari kedekatan emosional karena menganggap diri mereka tidak layak dicintai. Maka dari itu, orangtua perlu menciptakan ruang aman: tempat di mana anak bisa merasa diterima dalam kegagalannya, dipeluk dalam kekacauannya, dan tetap disayangi meski tidak sempurna. Kasih sayang tanpa syarat adalah hadiah terbesar dalam proses pembentukan jati diri dan relasi anak.

Tanpa kesadaran akan pola ini, seseorang bisa terus hidup dalam kecemasan tak terlihat---selalu merasa tak cukup, dan selalu berusaha lebih keras hanya agar layak untuk dicintai. Namun, bagi yang menyadari pola ini dalam dirinya, proses penyembuhan bisa dimulai dari keberanian untuk mengenali luka tersebut. Membangun relasi yang aman, belajar memvalidasi diri, dan memahami bahwa kasih sayang bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, tetapi sesuatu yang pantas diterima---adalah langkah penting dalam perjalanan itu. Tidak mudah memang, tetapi setiap usaha untuk memahami dan menyayangi diri sendiri adalah bentuk pembebasan dari luka yang diwariskan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun