Mohon tunggu...
Zauti Maula
Zauti Maula Mohon Tunggu... Pelajar/ Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa jurusan Bahasa Inggris yang tengah mengeksplorasi dunia menulis, khususnya puisi. Selain menulis, saya juga gemar membaca, fotografi, dan berbagi pengalaman melalui tulisan. Menulis telah menjadi cara saya untuk mengekspresikan perasaan, terutama melalui puisi yang sering kali saya buat dalam momen-momen emosional. Saya suka mengikuti lomba-lomba puisi, baik secara online maupun offline, sebagai cara untuk mengasah kemampuan dan mendapatkan feedback. Konten yang saya sukai biasanya berkisar pada tema ekspresi diri, pengalaman pribadi, dan seni menulis. Saya berharap bisa terus berbagi karya dan inspirasi dengan banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi itu nggak Alay, Aku Buktinya!

14 Mei 2025   02:00 Diperbarui: 14 Mei 2025   02:08 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah kamu menemukan sesuatu yang membuatmu merasa pulang, bahkan saat dunia terasa asing? Sesuatu yang tak bisa dipeluk, tapi mampu menghangatkan. Bagiku itu menulis. Menurutku, menulis adalah terapi paling menenangkan, yang bisa kapan saja kita keluhkan tanpa memihak, yang bisa mendengar semua cerita kita tanpa memotong. Ya, adalah tulisan kita sendiri. Kesimpulannya, teman sejati adalah diri sendiri. Eitss.. ini bukan akhir ceritanya!

Aku suka menulis. Apa pun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun. Dari catatan kecil yang tak pernah dipublikasikan, sampai tulisan panjang yang sempat kubagikan di perlombaan. Tapi dari semua bentuk tulisan yang pernah kucoba, puisilah yang paling mampu mewakiliku. Padahal, puisi itu bukan orang. Bukan tempat. Bukan juga bahu untuk bersandar saat lelah. Tapi entah kenapa, puisi selalu membuatku merasa pulang. Lho tapi kok bisa membuatku merasa pulang? Itulah the power of menulis. Ia tak butuh bentuk, tapi bisa memberi rasa.

Aku mulai suka nulis puisi sekitar tahun 2019. Waktu itu, aku nggak terlalu mikirin  aturan penulisan, majas, atau bahasa-bahasa yang biasa dipakai untuk puisi. Pokoknya nulis aja. Kadang cuma beberapa baris, kadang panjang. Bahkan aku nggak bisa menyimpulkan tulisanku itu sudah termasuk puisi atau belum. Tapi dari situlah aku mulai sadar akan adanya proses. Dari yang awalnya cuma nulis curhatan ala-ala, aku mulai terbiasa nulis dengan bahasa yang lebih puitis. Nggak sadar, gaya menulisku berubah. Pelan-pelan aku makin nyaman menuangkan perasaan lewat puisi.

Salah satu hal yang bikin aku jatuh cinta sama puisi adalah… karena puisi itu misterius. Maksudnya, meskipun aku lagi sedih, lagi galau, atau bahkan jatuh cinta, nggak semua orang bisa langsung ngerti isi puisiku. Karena bahasanya terlalu puitis, banyak yang cuma baca di permukaan aja. Jadi, hanya aku yang bener-bener tahu perasaan apa yang lagi aku sembunyiin di balik bait-bait itu. Itu sih yang bikin aku merasa aman. Rasanya kayak, aku bisa nulis sejujur-jujurnya, tapi tetap punya ruang privasi. Aku bisa sedih banget, tapi nggak harus kelihatan rapuh. Aku bisa jatuh cinta, tapi nggak harus terang-terangan bilang “aku lagi suka seseorang.” Semua aku bungkus dalam kata-kata puitis yang mungkin cuma aku sendiri yang paham.

Semua berawal dari kebiasaan dan hobi aja. Nulis buat senang-senang, buat nyimpen perasaan, atau sekadar ngisi waktu luang. Tapi lama-lama, aku sadar, ini bisa jadi hal positif yang bisa aku kembangin lebih jauh lewat lomba. Aku berpikir, daripada tulisanku cuma numpuk di catatan atau galeri HP, kenapa nggak coba buka peluang baru? Dari situ aku mulai ikut lomba, dan ternyata… seru juga. Rasanya beda aja ketika tulisan kita dinilai, dikritik, atau bahkan diapresiasi. Dari lomba, aku jadi makin semangat belajar, mengasah kemampuan, dan mulai ngerti pentingnya evaluasi dalam proses menulis.
 

Pertama kali aku ikut lomba itu pas pandemi, sekitar tahun 2020. Lomba cipta puisi tingkat nasional, dan… aku menang. Itu pertama kalinya aku dapet juara dari puisi yang aku tulis sendiri. Rasanya campur aduk banget—antara gak nyangka, senang, dan makin percaya diri. Sejak saat itu, aku jadi makin yakin kalau puisi memang cara terbaikku buat mengekspresikan diri.

Waktu lulus SMA, aku juga pernah diminta buat baca puisi di acara perpisahan sekolah. Awalnya ragu, karena ini bukan sekadar nulis, tapi juga harus tampil di depan orang banyak. Tapi setelah dijalanin, ternyata ada rasa lega dan bangga karena bisa menyampaikan sesuatu lewat kata-kata yang aku tulis sendiri.

kompasiana-smk7-puisi-68238c0c34777c59450eba3f.jpg
kompasiana-smk7-puisi-68238c0c34777c59450eba3f.jpg

Lomba terakhir yang aku ikuti itu tahun 2023, Oktober kemarin. Kali ini, lombanya dilaksanakan secara offline di kampusku sendiri. Aku lomba baca puisi dan cipta puisi, dan semuanya dalam bahasa Inggris. Lagi-lagi, aku bersyukur bisa dapet juara. Tapi buatku, bukan soal menangnya aja, tapi soal bagaimana puisi bikin aku terus berkembang. Puisi ngasih ruang buat aku belajar, mencoba hal baru, dan melihat cara baru dalam menyampaikan perasaan.

Foto Lomba di UIN SMH Banten (Sumber: Instagram Uttizm)
Foto Lomba di UIN SMH Banten (Sumber: Instagram Uttizm)

Sejak saat itu, aku jadi makin yakin kalau puisi memang cara terbaikku buat mengekspresikan diri. Aku bisa nulis kapan aja, tentang apa aja, bahkan hal-hal kecil yang mungkin nggak terlalu penting buat orang lain, tapi punya makna buatku. Lewat puisi, aku bisa lebih jujur sama diri sendiri. 

Biasanya, aku mulai nulis puisi dari satu kata atau satu kalimat yang tiba-tiba aja muncul di kepala. Bisa karena lagi denger lagu, lihat sesuatu yang nyentuh, atau pas lagi bengong di kamar. Dari situ, aku kembangin pelan-pelan. Kadang langsung dapet alurnya, kadang juga stuck. Tapi justru itu serunya, proses mikir, ngulik diksi, mainin ritme, dan milih mana yang paling kena di hati. Aku juga suka main metafora, karena menurutku itu bikin puisi lebih hidup dan nggak terlalu gamblang.

Fun fact-nya, aku tuh paling sering nulis puisi pas lagi sedih atau galau. Entah kenapa, justru di momen-momen kayak gitu, ide malah ngalir terus. Apalagi kalau soal cinta, wah, langsung deh muncul genre asmara. Soalnya menurutku, lebih gampang menuangkan perasaan saat kita punya objek yang jelas. Nggak harus pacar sih, tapi ketika ada "seseorang" yang jadi inspirasi, entah itu orangnya sadar atau nggak, rasanya puisi tuh lebih hidup. Jadi nggak cuma ngasal nulis, tapi ada rasa yang ikut nempel di setiap katanya.


Buatku, puisi bukan sekadar kumpulan kata indah. Ia adalah tempat paling jujur untuk bercerita, tanpa harus benar-benar dimengerti semua orang. Dari dulu sampai sekarang, puisi udah jadi bagian dari caraku tumbuh dan berdamai sama banyak hal, entah itu sedih, cinta, kecewa, atau harapan. Dan aku rasa, selama masih bisa merasa, aku akan tetap menulis. Karena menulis, khususnya puisi, adalah caraku pulang ke diri sendiri.

Tapi mungkin, kita semua punya caranya masing-masing untuk cerita ke dunia. Bisa lewat tulisan, gambar, suara, atau hal-hal sederhana yang bikin hati lega. Jadi, kalau suatu hari kamu lagi ngerasa sesak tapi bingung mau cerita ke siapa, coba aja tuangkan ke sesuatu yang kamu suka. Siapa tahu, dari situ kamu juga bisa nemuin "pulang"-mu sendiri.

Jadi gimana, Puisi itu nggak Alay kan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun