"Kita jalan-jalan, ya? Aku ambil payung dulu!"
Kau ajukan gelas berkopi ke bibirku. Memintaku menandaskan isinya hingga bersisa ampas.
Bagiku, payung itu menjadi bukti kekhawatiran. Sebagai kebutuhan untuk menghindari hujan. Dan, aku tak lagi leluasa menggenggam tanganmu ketika harmoni alam menyajikan tarian hujan.
"Kau lebih menyukai payung daripada hujan, kan?"
Satu pernyataan tak penting kuajukan, saat kakiku dan kakimu meninggalkan halaman. Kali ini, kubiarkan jemarimu menggenggam gagang payung.
"Hujan membebaskan payung yang lelah tergantung. Mas tak pernah tahu, lelahnya perasaan yang digantung!"
Tak hanya peribahasa, selalu ada caramu menemukan rangkaian kata. Menarik rasaku mengingat perjalanan waktu yang berlalu. Tentang dulu. Kau dan aku.
"Payung tak mungkin menghentikan hujan. Namun, mampu menyediakan ruang, agar kita leluasa merenangi lalu waktu di bawah hujan!"
Memilih diam dan mengambil alih gagang payung dari genggamanmu adalah cara terbaik. Agar jemariku leluasa menggenggam jemarimu.
"Kau ingin aku seperti payung?"
Kau tertawa. Melepas paksa genggamanmu. Berpindah ke pinggangku.