Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Kau Ingin Aku seperti Payung?

14 Oktober 2021   13:51 Diperbarui: 14 Oktober 2021   14:13 718 50
"Payung?"
"Kan, gak hujan?"

Usaha sia-sia. Tatapanmu mengunci mulutku. Tanpa suara, aku berbalik badan, kembali membuka pintu rumah. Samar, telingaku mendengar nada tawamu yang tertahan di balik punggungku.

Entah apa yang dipikirkan oleh orang-orang, sehingga menciptakan mahakarya bernama payung. Benda itu tidak tiba-tiba menjadi kebutuhan di musim hujan. Termasuk dirimu.

Bagiku, keberadaan payung adalah pengganggu.

"Mas lupa? Sedia payung sebelum..."

***

"Semakin deras, Mas!"

Langkah kakimu menari lincah menghindari genangan air di sepanjang trotoar. Tangan kananmu mencengkram lengan kiriku. Dan, tangan kiriku menggenggam gagang payung, agar tubuhmu terlindung.

"Aku menyukai hujan!"
"Kenapa masih butuh payung?"

Kurasakan perih di lengan kiriku. Cubitanmu memberi tahu, percuma untuk bertanya tentang caramu menyukai hujan.

"Begini caraku, jika menyukai!"

Langkah kakimu terhenti. Kedua tanganmu bergerak menyibak rambutmu yang basah. Matamu menatap payung pelindung yang terlipat di balik punggungku.

"Maaas..."

Teriakanmu hilang di antara serbuan butiran hujan. Lagi, kurasakan cubitanmu. Kali ini di pinggangku.

"Jangan pernah biarkan payung membuatmu menjauh dariku. Kau mengerti?"

Kau tersenyum saat menatapku. Jemarimu kembali meraih lenganku, mengajak kakiku menyamai langkahmu. Meneduhkan hati di bawah terpaan butir-butir hujan yang terus berjatuhan.

"Kenapa diam? Tak ada jawaban, kah?"
"Mas belum pernah dengar ungkapan: 'Malu menjawab, jangan menjawab', ya?"
"Aih. Peribahasa lagi?"

***

"Mendung, Mas!"

Tapi kau tersenyum. Tak ada tanda-tanda kau khawatir akan turunnya hujan.

Bagimu, mendung adalah alasan terbaik untuk memulai percakapan. Kau menyukai hujan, bukan untuk menari di bawah butirannya. Namun, menikmati keteduhan yang diberikan payung di genggaman.

"Kita jalan-jalan, ya? Aku ambil payung dulu!"

Kau ajukan gelas berkopi ke bibirku. Memintaku menandaskan isinya hingga bersisa ampas.

Bagiku, payung itu menjadi bukti kekhawatiran. Sebagai kebutuhan untuk menghindari hujan. Dan, aku tak lagi leluasa menggenggam tanganmu ketika harmoni alam menyajikan tarian hujan.

"Kau lebih menyukai payung daripada hujan, kan?"

Satu pernyataan tak penting kuajukan, saat kakiku dan kakimu meninggalkan halaman. Kali ini, kubiarkan jemarimu menggenggam gagang payung.

"Hujan membebaskan payung yang lelah tergantung. Mas tak pernah tahu, lelahnya perasaan yang digantung!"

Tak hanya peribahasa, selalu ada caramu menemukan rangkaian kata. Menarik rasaku mengingat perjalanan waktu yang berlalu. Tentang dulu. Kau dan aku.

"Payung tak mungkin menghentikan hujan. Namun, mampu menyediakan ruang, agar kita leluasa merenangi lalu waktu di bawah hujan!"

Memilih diam dan mengambil alih gagang payung dari genggamanmu adalah cara terbaik. Agar jemariku leluasa menggenggam jemarimu.

"Kau ingin aku seperti payung?"

Kau tertawa. Melepas paksa genggamanmu. Berpindah ke pinggangku.

"Mas lebih dari itu!"

Bisikmu pelan. Menerobos gendang telinga, menjalar liar mengisi ruang-ruang kosong di sekujur tubuhku, perlahan mengalir tenang dalam kehangatan. Tiba-tiba aku ingin menyalahkan orang-orang yang meyakini hujan sebagai pintu masuk kehadiran ruang dan waktu yang membeku.

"Kalimat barusan, peribahasa juga?"

Pinggangku kembali perih. Sepertinya, kau pun menyukai cubitan. Selain hujan, payung dan peribahasa.

"Kenapa kalimatmu bisa bagus?"
"Mas buka Google, ketik 'Quote Payung'. Cari dan bacalah!"

***

Sejak pagi, hujan tak henti bertamu. Namun, di ruang tamu suasana bisu yang bertemu.

"Ayah..."
"Berdoalah! Doa akan menjadi payungmu dari butir-butir rindu!"

Mata bening itu menatapku. Dalam bisu. Mataku menatap potretmu. Dalam genggaman jemari mungil anakmu.

Curup, 14.10.2021
Zaldy Chan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun