"Ayahmu?"
"Petani!"
"Kenapa kau sekolah?"
"Bilang ayah, biar pintar!"
"Kalau besar, mau jadi apa?"
"Guru!"
"Bagus!"
Bocah kecil itu berjalan tegap menuju bangku. Bangga dengan tepukan pelan di bahu. Bekas telapak tangan guru.
[Kututup buku, setelah menulis "Fragmen Kedua"]
***
[Sore. Pukul lima tiga puluh]
Sepasang anak muda menanti senja. Memandang risau pada riak ombak yang menyapu pantai. Tertatih merajut asa yang terpasung bara rasa.
Senja bergulir di pertukaran hari. Membiarkan sunyi menguasai hati. Tentang sebuah janji.
"Kalau tak jadi guru, terus..."
"Entahlah!"
"Ayahmu pernah..."
"Iya. Ayahku petani. Dulu. Sebelum tanah terjual untuk biaya kuliah."
Sepasang anak muda menjauh dari senja. Berharap doa menyelimuti cita. Juga cinta.
[Aku terdiam, usai menulis "Fragmen Ketiga"]
****
[Pukul delapan malam]