Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tanpa Fragmen Keempat

24 September 2021   20:27 Diperbarui: 28 September 2021   21:25 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Petani. (Photo by Pat Whelen from Pexels)

*
[Jelang pukul tiga dini hari]

Lelaki itu tersentak mendengar irama tapak kaki. Dari lubang kamar, beberapa bayangan hitam terlihat bergerak dalam sunyi. Ia segera berlari ke dapur.

Saat membuka pintu rumah. Leher lelaki itu menghadap sangkur, matanya menadah wajah tak ramah.

"Kenapa tidak diam saja di dalam rumah?"
"Ampun tuan! Aku..."
"Kau siapa?"
"Aku Marhaen, rakyat jelata. Tak bisa angkat senjata! Tapi aku..."

Beberapa pasang mata menatap sebuah karung yang baru saja terjatuh, dan seikat singkong yang tergeletak di tanah. Lelaki itu tersenyum, usai wajah-wajah ramah berlalu. Kemudian menutup pintu, berniat menunggu Sang Fajar.

[Sebelum menutup buku, kutulis "Fragmen Kesatu"]

**

[Pukul tujuh pagi]

Seorang bocah kecil berseragam sekolah, berdiri menatap wajah tua yang berdiri di pintu rumah. Segaris senyuman dilemparkan. Sebaris harapan dititipkan. Dalam diam.

Di depan kelas, bocah kecil berdiri di hadapan guru. Tubuhnya gemetar dalam kaku. Menunggu.

"Ayahmu?"
"Petani!"
"Kenapa kau sekolah?"
"Bilang ayah, biar pintar!"
"Kalau besar, mau jadi apa?"
"Guru!"
"Bagus!"

Bocah kecil itu berjalan tegap menuju bangku. Bangga dengan tepukan pelan di bahu. Bekas telapak tangan guru.

[Kututup buku, setelah menulis "Fragmen Kedua"]

***

[Sore. Pukul lima tiga puluh]

Sepasang anak muda menanti senja. Memandang risau pada riak ombak yang menyapu pantai. Tertatih merajut asa yang terpasung bara rasa.

Senja bergulir di pertukaran hari. Membiarkan sunyi menguasai hati. Tentang sebuah janji.

"Kalau tak jadi guru, terus..."
"Entahlah!"
"Ayahmu pernah..."
"Iya. Ayahku petani. Dulu. Sebelum tanah terjual untuk biaya kuliah."

Sepasang anak muda menjauh dari senja. Berharap doa menyelimuti cita. Juga cinta.

[Aku terdiam, usai menulis "Fragmen Ketiga"]

****
[Pukul delapan malam]

Wajah seorang anak muda tertunduk di ruang tamu. Membeku merengkuh masa lalu.

"Ajari aku bertani, Yah!"

Seorang lelaki tua duduk terdiam memangku tangan. Membisu merangkum masa depan.

"Saat ini, Kita hanya buruh tani, Nak!"

Dua ekor cicak berkejaran di dekat lampu. Hap! Seekor nyamuk berlalu.

[Tanpa menulis Fragmen, kututup buku. Tak perlu]

Curup, 24.09.2021
Zaldy Chan
Hari Tani Nasional

Photo by Pat Whelen from Pexels

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun