Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Percakapan di Simpang Tugu

18 Oktober 2020   14:50 Diperbarui: 18 Oktober 2020   19:46 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi gambar persimpangan jalan (sumber gambar : pixabay.com)

"Jadi, masih perlukah politikus?"

Perbincangan itu menjadi sunyi. Hanya dengan satu pertanyaan! Perlahan namun pasti, membunuh kehangatan yang sejak tadi betah menemani. Mungkin juga, kembali bersembunyi dalam gelas-gelas berkopi.

Gelas-gelas berkopi itu terpaksa menjadi saksi. Ketika beragam kisah demonstrasi yang disaksikan di layar televisi, kembali diulas ulang dalam berbagai versi. Sambil menunggu penumpang yang sepi.

Kau harus tahu. Jika Anton bersuara dengan nada begitu, aku lebih memilih menunggu. Bagiku, pertemanan lebih penting dari sekadar memenangkan perdebatan.

"Sesungguhnya, mereka tak punya kerja. Dan butuh perkerjaan! Namun enggan disebut pekerja!"

***

Begitulah. Baru tiga bulan aku mengenal Anton, sejak terdaftar sebagai anggota di Pangkalan Ojek Simpang Tugu. Anton salah satu pendiri sekaligus anggota senior pangkalan.

Akupun diberitahu, Anton memiliki ijazah sarjana, dan aktivis kampus semasa awal reformasi. Pernah bekerja di perusahaan sebagai pegawai kontrak, membuat serta terlibat dalam beberapa LSM. Akhirnya memilih berhenti dan mendirikan pangkalan.

Tak perlu kau tanyakan idealisme Anton. Nyaris setengah anggota pangkalan dikeluarkan, karena memilih menjadi anggota aplikasi ojek online. Bagi Anton, pangkalan harus terbebas dari kekuasaan dan penguasa. Apalagi bersedia diatur-atur oleh benda semacam ponsel.

"Kebebasan itu mahal! Aku lebih memilih membentur tembok, daripada tunduk dan mengaku kalah pada kekuasaan juga kebutuhan. Memalukan!"

Jadi, tak usah heran jika kau mendengarkan pertanyaan tadi, kan? Jika Anton mempertanyakan tentang keberadaan politikus, aku malah membayangkan, apa yang akan terjadi andai tak lagi ada politikus?

***

"Kau, kau dan kau. Lebih terhormat dari mereka yang mengaku sebagai wakil rakyat!"

Jari telunjuk Anton bergantian diarahkan pada Romi, Nasir juga aku. Gelas-gelas berkopi itu selalu menjadi saksi ritual pagi, ketika penumpang sepi.

"Di Televisi, mereka berkoar mengatasnamakan rakyat. Mengaku berjuang dan...."

Semua anggota sudah hapal, kebiasaan itu. Apalagi jika pagi hari rabu. Namun ada yang tak biasa. Pagi itu, ledakan-ledakan Anton begitu dahsyat.

"Apa susahnya hadir dan menjelaskan kepada rakyat? Agar tak ada api dalam sekam. Apakah harus menunggu jatuh korban, barulah buru-buru serta sibuk memberikan penjelasan?"

Aih, aku jadi tahu pemicu ledakan Anton. Malam rabu lalu, acara favoritnya itu batal tayang.

Kau mungkin tak tahu. Secara diam-diam, sejak resmi menjadi anggota pangkalan, aku berusaha mengikuti acara diskusi di televisi itu. Alasanku persis sama dengan anggota yang lain. Agar bisa mengerti pembicaraan mantan aktivis itu.

"Wakil rakyat itu, harus benar-benar mewakili! Tahu dan mengerti yang dirasakan oleh rakyat. Menjaga amanah! Mereka dipilih bukan dilotre! Pernah dengar lagu itu, kan?"

Kuakui. Letusan-letusan Anton itu, adalah pembuktian jika dirinya bekas anggota parlemen jalanan, juga sebagai orator ulung saat reformasi. Tapi, itu dulu.

Kini, Anton memutuskan kembali ke jalanan. Bukan sebagai anggota parlemen, tapi pendiri dan pemimpin di pangkalan.

***

Kau tahu yang aku pikirkan jika ada wakil rakyat, adalah benar-benar mewakili rakyat?

Aku jadi khawatir membayangkan, tapi berusaha mengerti. Saat ada wakil rakyat yang terhormat, ketahuan oleh wartawan menonton film esek-esek, padahal lagi mengikuti sidang. Maka kuanggap orang itu mewakili rakyat yang suka film begituan.

Ketika hadir berita salah satu wakil rakyat berselingkuh, bahkan dibuktikan dengan rekaman video yang tergolong asusila. Kukira, mewakili rakyat yang ketahuan sering berselingkuh.

Mataku pernah melihat di televisi, ada wakil rakyat yang berusia muda, berkomentar pedas bahkan melampaui batasan adab saat bersikap serta berbicara pada orang tua. Kejadian itu pun viral. Kuduga, anak muda itu mewakili rakyat yang tanpa etika.

Jika ada anggota yang terbukti korupsi, melakukan penipuan atau lebih mementingkan diri serta anggota keluarga dekat. Bisa jadi, sesungguhnya mereka sedang menjalani fungsi sebagai perwakilan, kan?

Akupun meyakini. Ribuan orang yang pernah menjadi wakil rakyat. Pasti ada yang mewakili orang-orang baik. Tak mungkin dan sangat mustahil dari ratusan juta warga negara, tak mempunyai wakil rakyat sebagai orang baik, kan?

Kau bersedia yakin sepertiku?

***

"Abang pintar, juga mantan aktivis. Tak berminat terjun ke politik?"

Satu pertanyaan yang kunilai bodoh, diajukan Romi. Menurutku, sosok Anton tak akan pernah mau terlibat politik praktis. Jika pun berminat, kubayangkan Anton sebagai wakilku. Hanya sesekali datang ke kantor, tapi dengan seragam resmi pangkalan.

Akupun tersenyum, membayangkan Anton mengubah kantornya di jalanan. Setiap hari berkeliling ke semua pangkalan yang ada. Berdiskusi tentang situasi juga kondisi yang dialami pemilihnya. Serta bersungguh hati, berjuang untuk kesejahteraan anggota pangkalan. Keren!

"Menjadi wakil rakyat itu berat! Harus sadar diri. Namanya wakil itu, orang kedua, bukan yang utama!"

Sejak tadi, hanya ada satu penumpang dan itu giliran Nasir. Di Pangkalan Simpang Tugu, tinggal aku, Romi dan Anton. Serta gelas-gelas berkopi sudah tandas.

"Dulu pernah. Tapi gagal! Tak cukup alasan pintar atau aktivis. Namun juga butuh modal besar!"

Kau terkejut dengan jawaban itu? Aku berusaha melihat gelas-gelas berkopi yang tandas dan berampas. Kurasakan kembali tetesan terakhir di dalamnya. Pahit.

Curup, 18.10.2020

Zaldychan

[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun