Kukira, banyak anak bangsa yang merupakan pemikir hebat. Namun, apa jadinya jika tak pernah atau tak mampu menulis? Akhirnya, tak banyak yang tahu seberapa hebat pemikirannya. Iya, kan?
Namun, aku juga mengenal banyak sosok yang mengaku orang biasa. Ternyata telah menghasilkan banyak tulisan. Bahkan memiliki puluhan judul buku yang telah diterbitkan. Entah itu buku sendiri atau buku bersama. Luar biasa!
Lupakan dulu urusan kualitas dan kuantitas! Saat orang hebat pemikirannya dan mati tanpa pernah menulis. Maka kehebatannya ikut mati. Berbeda dengan yang mengaku orang biasa, yang banyak menulis. Ketika mati, tulisannya tak ikutan terkubur, tah?
Gawatnya, masih saja ada yang betah pada pengakuan "tak bisa menulis". Bukannya belajar, malah memilih jalan pintas dengan meminta orang untuk menulis. Tapi, namanya tercetak tebal pada sampul buku atau beragam jurnal serta penelitian. Hiks...
Apatah salah? Entahlah! Kukira itu pilihan, kan?
Hal ini kualami saat bergabung di Kompasiana. Pada bulan-bulan pertama, aku memulai dengan menulis di kanal fiksi. Berupa cerita pendek dan puisi. Nekat adalah kata sakti, dengan jargon "pokoke nulis!"
Memasuki tahun kedua, aku memberanikan diri "menyeberang" ke kanal berbeda. Dan, artikel di Kompasiana adalah bahan ajar gratis bagiku. Namun, tak mampu melenyapkan kata nekat sebagai mantra yang ampuh menurutku.
Ketika bergabung dalam WA Grup Kompasianers, aku malah mendapatkan guru gratis! Dukungan serta bimbingan dari para senior di dalam grup, membuatku betah dan bertahan untuk menulis.
Pelan dan perlahan, aku mendapatkan rumus-rumus rahasia tentang menulis. Ternyata tak cukup sekadar pokoke nulis! Alasannya?
Pertama. Menulis seharusnya melalui proses berpikir. Tapi, berpikir belum tentu akan menulis. Jadi, mesti menyigi dulu apa yang akan ditulis. Dipikirkan lagi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Tak hanya hasil tulisan, namun bagaimana dampaknya?