Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Fiksi Ramadan | Sarung dan Daster

14 Mei 2020   04:33 Diperbarui: 14 Mei 2020   04:48 1594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Sarung dan Daster (sumber gambar : https://travel.kompas.com)

"Coba bayangkan! Aku pakai sarung. Kamu pakai daster. Dan kita serumah."

Aku menatap wajahmu yang segera tertunduk. Jemari tangan kananmu yang memegang sendok kecil jus pokat kesukaanmu, tak lagi berputar melingkari bibir gelas yang tersisa setengah. Sepakat diam tak bergerak, sepertimu.

'Lah? Kenapa diam?"

Perlahan, kau angakat wajahmu, bening manic matamu menatapku. Pun, perlahan kurasakan perih di lengan kiriku. Duet jarimu menciptakan perih.

"Amiiin..."

***


Letusan kembang api tahun baru, menjadi penanda pergantian waktu. meninggalkan semua yang telah dilakukan menjadi kenangan dan masa lalu. Juga sebagai tanda bersiap menginjak pengalaman dan harapan baru.

"Selamat tahun baru, Mas! Semoga selalu sehat."

Kubaca pesanmu persis pada angka 24,01. Tiga tahun bersamamu, aku mengerti. Kau berusaha selalu menjadi yang pertama untukku.

"Kenapa gak ada kata rindu?"

"Mas masih butuh kata itu?"

Aih, kau perempuanku. Pemilik benteng pertahanan dan persembunyian rasa yang kukuh. Nyaris putus asa aku mencari cara, untuk memastikan perasaanmu yang sesungguhnya untukku. Walau aku tahu, pasti menemui kegagalan.

"Iya. Gak usah aja!"

"Mas, masih di tempat kerja?"

"Iya. Masih lembur."

"Bukannya besok libur?"

Aku banyak belajar tanda-tanda darimu. Juga mengenal caramu, jika ingin bertemu. Kata "libur" salah satu kata kunci, sebagai permintaan agar aku datang ke rumahmu. Namun, beban kerja saat ini masih menumpuk. Beberapa dokumen mesti kurapikan, agar tak disembur atasan.

"Kalau gak bisa datang, jangan dipaksa. Yang penting Mas jaga kesehatan!"

Kembali kubaca pesanmu. Juga tanda offline di sudut kiri atas ponselku. Dan akupun terbiasa dengan itu. Bukan protes atam rajukan. Tapi, keputusan untuk bertemu atau tidak, ada di tanganku. Bagimu, lelaki adalah pemberi keputusan.

***

"Mas..."

Kalimatmu menguap di udara. Tanganmu masih memegang gagang pintu. Akupun masih berdiri di depan pintu menunggu.

"Kenapa tak..."

"Gak diajak masuk?"

Senyummu hadir bak tugu ucapan selamat datang. Senyuman yang membuatku, gagal bertahan untuk tak menemuimu. Terburu, kau membuka lebar pintu, sambil anggukkan kepala. Tanda mengajakku masuk dan duduk di kursi tamu.

Kau segera masuk, sedikit lama aku ditemani bisu. Hingga kau hadir dengan segelas kopi, yang disajikan ke hadapku. Kau duduk di sampingku. Kunikmati wajahmu yang menyimpan banyak pertanyaan. Kukira, enam minggu adalah rekor waktu terlama, tak pernah bertemu denganmu.

"Merayakan valentine day juga?"

"Hah?"

"Itu, tutup gelasnya berwarna merah jambu?"

"Mamaas..."

Suaramu berganti tawa. Rona wajahmu berubah cerah, juga hadirkan satu hadiah berupa cubitan ringan di lenganku. Aku jadi tahu. Tak hanya lenganku, jemari tanganmu pun menyimpan rindu cubitan untukku.

"Maafkanlah. Kerjaan Mas di..."

"Iya. Aku mengerti..."

"Harus sabar, kan? Biar segera bisa beli sarung dan daster!"

Plak! Plak! Plak!

**

"Maaf lahir batin, Mas! Besok puasa, kan?"

Aku terbiasa dengan pesan-pesanmu. Seakan kau sebagai alarm yang selalu mengingatkan, tak ada satupun momen yang terlewatkan.

"Iya, cantik! Mas juga minta maaf. Gara-gara corona, jadi tertunda beli sarung dan daster!"

***

Tiga hari kau tertidur. Terbaring dalam lelap yang damai di dalam ruang yang terkunci dengan aroma khas dan serba putih.

Kaca bening yang menghalangi mataku memandang mesin berwarna abu-abu di sebelah ranjang tempat tidurmu. Mengamati tiga garis yang bergerak lamban.

"Dokter!"

Teriakanku tertahan, melihat pergerakan di mesin berwarna abu-abu itu. Tanganku tak beraturan mengetuk kaca bening. Segerombolan dokter dan perawat bergegas melewati pintu menemuimu. Kusaksikan kesibukan yang menghalangiku menatapmu. Aku tahu, bukan wabah corona yang membuatmu koma.

***

"Mas?"

Wajahmu kembali bercahaya. Tak lagi ada selang infus juga mesin di sebelah ranjangmu. Matamu sesaat menatapku, kemudian beralih menatap ayah dan ibumu. Ada senyum di bibirmu. Magrib itu setelah berbuka, hari kedua usai kau terjaga dari koma.

"Hari ini, Mas bawa sarung dan daster!"

"Hah?"

"Hari ini juga kita nikah! Ayah dan ibumu sudah setuju. Biar nanti dokter jadi saksi!'

"Mas..."

"Cepatlah sembuh! Biar kita serumah!"

***

Kini. Aku tak lagi perlu menunggu pesanmu. Karena aku tak akan melupakan hari itu. Hari terakhir kulihat senyummu. Juga airmatamu.

Curup, 14.05.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun