I/.
"Kau melihat senja?"
Aku tak lagi peduli pertanyaan itu. Keberadaan senja, seperti kedatangan cinta yang menjadi candu, atau butiran kasih sayang yang hadirkan rindu.
Biarlah kusaksikan pergerakan alam tanpa pendulum, seumpama makan dan minum. Penuh cita rasa. Bukan luka!
II/.
"Kau menikmati senja?"
Saat seperti itu adalah titik jeda. Usai penjelajahan mimpi yang bermula sejak pagi. Hingga mencari bekal penggalian lekuk hati saat mentari sembunyi.
Seperti ribuan hikayat pertempuran, menghentikan peperangan di awal senja. Orang-orang bergerak mencari teman, bercerita keindahan mahakarya Pencipta.
Biarkan, kusaksikan sepotong cahaya jingga di ujung senja. Sebagai tanda, kau masih ada.
III/.
"Kau tak ingin ditemani?"
Tak perlu bertanya jika sekedar angan. Ribuan pertanyaan hanya menyusutkan asa, menodai rasa, dan perlahan melenyapkan cinta.
Di antara liku-liku cerita yang tak usai. Di antara lekuk-lekuk kisah yang tak pernah selesai. Biarkan senja menemani pagi yang terbengkalai.
IV/.
"Maafkan aku!"
Belantara mana yang harus kujelajahi, agar kata maafmu tak lagi kutemui.
Bukanlah sebuah pengkhianatan, jika kesendirian memaku batas diri. Pun bukanlah suatu kesalahan, yang layak dijadikan alasan melarikan diri.
Sendiri memang tak pernah memenangkan pertempuran. Namun aku tak pernah takluk oleh kesendirian.
Kau tahu?