Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

NIK | "Those Three Words" [9]

29 Agustus 2019   08:15 Diperbarui: 29 Agustus 2019   08:18 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrated by pixabay.com

Kulempar pandang ke depan rumah. Bersisa gerimis. Terlihat dari bias cahaya lampu angkot. Di jalan yang mulai sepi. Aku beralih menatapmu. Kau melirik jam di pergelangan tanganmu. Menatapku sambil tersenyum. Gelengkan kepala. Aku tertawa.

"Mas Belum mau pulang!"

"Masih empat puluh menit lagi"

Aku berusaha memahami alur pikirmu. Setahun terakhir, kau seperti berhitung. Tentang waktu pertemuan. Walau acapkali. Bertemu dihiasi tangismu. Ada atau tanpa sebab yang mampu kumengerti.


"Mas..."

"Hah?"

"Tak apa, kalau Nik ikut ke kampung?"

"Kan sudah pernah?"

"Tapi besok..."

"Karena ada Amak?"

Kutatap wajahmu. Kau anggukkan kepala. Menunggu. Aku tersenyum. Nikmati asap rokok. Kuhempas perlahan.

"Nik takut?"

"Gak!"

"Jadi?"

"Gak tahu!"

Aku menatapmu. Kau tertunduk. Dua kali, malam itu. Jawabmu seperti itu. Aku jadi mengerti. Ada yang ingin kau sampaikan. Tapi belum mampu kau ucapkan.

"Gak ikut. Juga gak apa-apa!"

"Mas..."

"Biar Mas yang bilang ke Amak. Tapi usai acara wisuda, ya?"

"Nunik..."

"Kalau ragu, sebaiknya gak usah!"

"Nik ikut, Mas!"

"Malam ini, pikirkan dulu. Besok pagi bilang! Mau?"


Kuanggukkan kepala. Kau sebaliknya. Gelengkan kepala. Tak sempat kucegah. Bulir beningmu kembali hadir. Tak lagi kau tahan tangismu. Aku terdiam. Biarkan kau hempaskan sesakmu. Jemarimu, mencengkram erat lenganku.


Hujan sudah benar-benar berhenti. Tak lagi bersisa gerimis. Hanya gemericik genangan air, sesekali terdengar. Saat dilindas kendaraan di sisi jalan. Tapi tangismu, belum usai. Kali kedua. Malam itu.


"Jangan paksa diri! Lain kali juga bisa, kan?"

"Nik ikut, Mas!"

"Kenapa tanya lagi?"

Kembali diam. Kau usap sudut matamu. Berusaha tata hatimu. Matamu hujam manik mataku. Kau butuh kekuatan. Agar mampu ujarkan yang ada di pikiranmu. Aku tersenyum.

"Sebenarnya. Nik mau ngomong apa?"

"Mau minta Maaf!"

"Hah?"

"Nik merasa bersalah!"

"Sama siapa?"

"Mamas!"

"Eh?"

Aku perbaiki posisi duduk, menghadapmu. Mataku lurus menatapmu. Tak kau hindar. Sorot mataku.

"Tentang?"

"Sejak awal. Mas bisa bebas kenalkan Nunik ke Keluarga Mas!"

"Iya! Kan, Mas gak mau sembunyi!"

"Tapi Nunik belum..."

Kuayunkan telunjuk di hadapmu. Agar kau hentikan kalimatmu. Kau diam. Mengerti isyaratku. Kuraih dan genggam jemarimu.

"Jawab Mas! Itu sebab ada tangisan malam ini?"

"Iya!"

"Kenapa?"

"Mas tadi bilang harus..."

"Ada restu Ayah dan Mamak?"

"Iya. Tapi Nik.."

"Nunik percaya Mas?"

Aku tahu. Kau tak akan bersuara. Tatap matamu menjawab tanyaku. Kuusap lagi kepalamu.


"Kita akan dapatkan restu itu!"

 

zaldychan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun