Mohon tunggu...
Zainul Muttaqin
Zainul Muttaqin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penimbun buku, penikmat sastra, tidak terlalu sering menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Demokrasi, Pasca-Demokrasi, dan Kesadaran Rakyat

28 Juli 2022   02:31 Diperbarui: 28 Juli 2022   04:00 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Proses kejatuhan rezim otoriter mengundang keriuhan besar. Demokrasi muncul bak oase di tengah gurun pasir. Agenda transisi ke demokrasi bergulir terus dan menemukan akarnya. Pasca 1998, terjadi pergantian kekuasaan, hak hak sipil politik dijamin oleh negara, dan lima tahun kemudian pemilu dilangsungkan. Namun rentetan peristiwa itu tentu bukan tanpa hambatan. 

Ketidakadilan muncul kembali; kebijakan publik tidak memihak rakyat, pendidikan dikomersialisasi, angka kemiskinan naik, penggusuran dimana-mana, harga-harga naik, BBM perlahan melonjak dan atas nama stabilitas rakyat dibungkam.

Huntington, ilmuwan politik Amerika, sampai pada mengartikulasikan demokrasi hanya berdasar pemilu dan partisipasi masyarakat yang tentu saja dikhianati setiap lima tahun sekali. Huntington tidak main-main, sekarang kita terjebak dalam "demokrasi" yang palsu ini (Pontoh: 2005: v). 

Apa sebab dari fenomena demokrasi yang justru membawa ketidakadilan ini? Demokrasi sebetulnya tidak muncul sendirian, ia ditemani Kapitalisme yang sudah jadi sahabat karib dari dekade ke dekade. Kedua menara besar yang menopang negara-negara dunia ini kadung berdiri, sedang wacana revolusi terkubur dalam sejarah. Masyarakat terbentuk dengan diktat-diktat ekonomi liberal, bercampur dengan politik dan melahirkan oligarki.

Geoff Mulgan menyebut tiga hal pokok dalam kritiknya terhadap demokrasi liberal atau paradoks demokrasi ini (Pontoh: 2005: vi). Pertama, demokrasi cenderung melahirkan oligarkhi dan teknokrasi.

Rakyat mempercayakan kepentingannya kepada segelintir orang yang menganggap politik sebagai karir dan memperoleh keuntungan di dalamnya. 

Kedua, prinsip-prinsip demokrasi berupa kebebasan, keterbukaan dan kompetisi dibajak hanya menopang kepentingan modal kapital. Sehingga keterbukaan mengakomodir pemilik modal, kebebasan hanya kamuflase untuk kepentingan investasi perusahaan multi nasional dan kompetisi dimaknai sebagai persaingan pasar bebas yang penuh tipudaya. 

Ketiga, kuasa media yang merusak opini publik dan mengubah moralitas politik menjadi abu-abu. Dalam kuasa media itu akhirnya partisipasi publik direduksi secara parsial atau terpecah-pecah.

Munculnya Pascademokrasi

Yang disebut Mulgan sebagai paradoks demokrasi itu kemudian dijelaskan oleh Mouffe bahwa terjadi ketidaksinkronan antara liberalisme dan demokrasi. 

Liberalisme menekankan kepada kebebasan individu dan hubungannya dengan semangat kapitalisme. Sedang demokrasi sangat mengedepankan kepentingan umum yang berdasar pada kesetaraan dan kedaulatan rakyat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun