"Nak, tadi ada yang datang. Pak RT. Katanya ada program beasiswa untuk anak-anak berprestasi. Khusus buat yang pengen daftar polisi atau TNI."
Mendengar perkataan ibu semangatku yang hilang kemarin kini kembali mucul.
"Tapi syaratnya banyak, Nak," lanjut Ibu. "Kamu harus rajin belajar. Harus kuat latihan fisik. Harus berani bersaing. Bisa?"
Aku mengangguk."Bisa, Bu. Aku akan coba. Aku nggak akan nyerah, walaupun jalan ini berat. Aku masih mau mimpi. Masih boleh, kan?"
Ibu mengelus pipiku. "Mimpi itu hak siapa saja, Nak. Dan kamu pantas untuk mengejarnya."
Hari-hari setelah kabar dari Ibu terasa berbeda. Aku mulai bangun lebih pagi, lari keliling kampung lima putaran setiap subuh. Nafasku sering tersengal, tapi aku terus paksa kakiku bergerak. Seringkali aku tak sendiri Bapak kadang ikut berjalan di belakangku, diam-diam mengawasi dari kejauhan.
Di sekolah, aku mulai lebih serius belajar. Aku ikuti bimbingan belajar gratis dari komunitas relawan, walau harus berjalan kaki sejauh dua kilometer dari rumah setiap sore. Di sela-sela waktu, aku bantu Ibu goreng tahu dan tempe, lalu menjajakan ke tetangga sambil membawa catatan hafalan di tangan.
Kadang aku lelah. Kadang aku ingin menyerah. Tapi setiap kali tubuhku hampir berhenti, aku selalu ingat  aku tidak ingin selamanya hidup begini.
Tahun itu, aku mendaftar seleksi Bintara Polwan lewat program beasiswa dari Polres setempat. Aku satu dari puluhan anak tak mampu yang diberi kesempatan ikut seleksi---dan satu-satunya dari kampungku.
Ujian pertama alhamdulillah aku lolos.
Ujian kedua adalah tes fisik. Kakiku hampir kram, tapi aku tidak berhenti. Aku lari seolah aku membawa semua harapan Ibu dan Bapak di punggungku. Dan alhamdulillah aku lolos lagi.