Namaku Aisyah. Umurku baru enam belas tahun, tapi aku sudah lama tahu apa yang ingin aku lakukan dalam hidup. Aku ingin jadi menjadi seorang polwan.
Sejak kecil, setiap kali melihat wanita berseragam di jalan berpenampilan gagah, tegas, tapi tetap anggun. Aku selalu menatap mereka dengan mata yang penuh kekaguman. Di dalam diriku, ada keinginan besar untuk suatu hari berdiri seperti mereka: melindungi, membantu, dan menjadi kebanggaan orang tuaku.
Tapi tak semua mimpi bisa berjalan dengan mulus. Bapakku hanya seorang buruh bangunan. Kerjanya tak menentu, tergantung proyek. Ibuku jualan gorengan di depan rumah, kadang dibantu aku sepulang sekolah. Kami tinggal di rumah petak sempit, berdinding triplek, dengan atap bocor kalau hujan deras turun.
Suatu malam, saat aku sedang membuka-buka brosur penerimaan anggota Polri yang aku ambil diam-diam dari sekolah, Bapak duduk di sampingku. Lalu ia bertanya kepadaku "Aisyah serius mau daftar polwan?" tanyanya lirih.
Aku mengangguk . "Serius, Pak. Aku udah cari tahu. Harus ikut tes ini itu, bayar ini itu. Tapi aku siap."
Bapak tak langsung jawab perkataanku.Selang beberapa menit lalu ia berkata "Maaf ya, Nak... Mungkin Bapak belum bisa bantu karena kamu tahu kan untuk makan saja kita sudah susah apalagi untuk biaya pendaftaran masuk kepolisian"
Setiap hari aku lihat sendiri bagaimana Bapak pulang dengan baju penuh keringat, membawa uang pas-pasan yang harus dibagi untuk makan, listrik, dan adikku yang masih kecil. Aku tahu Ibu juga menyisihkan uang dagangannya untuk sekadar belikan kami seragam layak pakai.
Tapi tetap saja, malam itu aku menangis. Bukan karena marah. Tapi karena aku takut nanti mimpiku akan terkubur begitu saja.
Di sekolah, aku jadi sering melamun. Ketika guru bicara soal masa depan, aku menatap papan tulis tapi pikiranku melayang entah ke mana. Teman-temanku mulai sibuk bicara soal kuliah, les tambahan, atau bimbel masuk akademi kepolisian.
Aku? Aku cuma bisa mencatat semua informasi di buku kecil, berharap suatu hari ada keajaiban.
Suatu sore, aku pulang dari sekolah dan mendapati Ibu duduk di depan rumah. Ia memanggilku dengan senyum lelah.
"Nak, tadi ada yang datang. Pak RT. Katanya ada program beasiswa untuk anak-anak berprestasi. Khusus buat yang pengen daftar polisi atau TNI."
Mendengar perkataan ibu semangatku yang hilang kemarin kini kembali mucul.
"Tapi syaratnya banyak, Nak," lanjut Ibu. "Kamu harus rajin belajar. Harus kuat latihan fisik. Harus berani bersaing. Bisa?"
Aku mengangguk."Bisa, Bu. Aku akan coba. Aku nggak akan nyerah, walaupun jalan ini berat. Aku masih mau mimpi. Masih boleh, kan?"
Ibu mengelus pipiku. "Mimpi itu hak siapa saja, Nak. Dan kamu pantas untuk mengejarnya."
Hari-hari setelah kabar dari Ibu terasa berbeda. Aku mulai bangun lebih pagi, lari keliling kampung lima putaran setiap subuh. Nafasku sering tersengal, tapi aku terus paksa kakiku bergerak. Seringkali aku tak sendiri Bapak kadang ikut berjalan di belakangku, diam-diam mengawasi dari kejauhan.
Di sekolah, aku mulai lebih serius belajar. Aku ikuti bimbingan belajar gratis dari komunitas relawan, walau harus berjalan kaki sejauh dua kilometer dari rumah setiap sore. Di sela-sela waktu, aku bantu Ibu goreng tahu dan tempe, lalu menjajakan ke tetangga sambil membawa catatan hafalan di tangan.
Kadang aku lelah. Kadang aku ingin menyerah. Tapi setiap kali tubuhku hampir berhenti, aku selalu ingat  aku tidak ingin selamanya hidup begini.
Tahun itu, aku mendaftar seleksi Bintara Polwan lewat program beasiswa dari Polres setempat. Aku satu dari puluhan anak tak mampu yang diberi kesempatan ikut seleksi---dan satu-satunya dari kampungku.
Ujian pertama alhamdulillah aku lolos.
Ujian kedua adalah tes fisik. Kakiku hampir kram, tapi aku tidak berhenti. Aku lari seolah aku membawa semua harapan Ibu dan Bapak di punggungku. Dan alhamdulillah aku lolos lagi.
Ujian selanjutnya adalah wawancara. Seorang perwira senior bertanya padaku, "Apa motivasimu jadi polwan?"
Aku menatapnya mantap. "Saya ingin membuktikan bahwa kemiskinan tidak seharusnya jadi batas mimpi seseorang. Saya ingin menjadi polwan bukan hanya untuk diri saya, tapi untuk anak-anak kecil yang merasa tidak mungkin seperti saya dulu."
Ia tersenyum. Dan aku tahu aku baru saja melewati satu tembok besar lagi.
Dua bulan kemudian, sebuah surat datang ke rumah. Kertas itu bergetar di tanganku. Bapak membukanya perlahan, lalu membaca pelan. Matanya berkaca-kaca.
"Aisyah... kamu diterima."
Aku terisak di pelukan Ibu. Tubuhku gemetar, tapi jiwaku melayang entah ke mana. Hari itu, aku menangis paling keras dalam hidupku bukan karena sakit, tapi karena mimpi yang selama ini aku dambakan akhirnya tercapai.
Delapan bulan pelatihan adalah fase tersulit dalam hidupku. Aku harus tinggal jauh dari rumah, bangun jam 4 pagi, latihan fisik keras, belajar disiplin, dan belajar bertahan. Tapi setiap kali aku ingin menyerah, aku selalu mengingat satu suara di kepalaku:
"Masih boleh aku bermimpi, kan?"
Dan aku menjawab sendiri "Bukan hanya boleh. Sekarang aku sedang hidup di dalamnya."
Hari pelantikan pun tiba.
Aku berdiri di barisan paling depan, dengan seragam polwan yang dulu hanya bisa aku gambar di buku catatan kecilku. Di antara para undangan, aku melihat Bapak dan Ibu duduk di kursi belakang. Bajunya sederhana, wajahnya lelah, tapi matanya penuh bangga.
Setelah upacara, aku berlari menghampiri mereka. Kupeluk Ibu erat-erat.
"Bu, Pak, Aisyah sekarang sudah jadi Polwan."
Ibu menangis. Bapak menepuk bahuku. "Kamu bukan hanya jadi polwan, Nak. Kamu jadi bukti bahwa mimpi bisa dimenangkan."
Dan hari itu, aku berdiri tegak. Bukan lagi sebagai anak dari keluarga miskin,tapi sebagai wanita yang tak pernah menyerah pada mimpinya. Aku, Aisyah seorang polwan dari kampung kecil yang pernah bertanya 'Masih boleh aku bermimpi, kan?'Dan menjawabnya sendiri dengan 'Ya. Aku bisa. Dan aku berhasil.'
Alur dari cerpen "Masih Boleh Aku Bermimpi, Kan?",adalah Alur Maju (Alur Progresif).
artinya cerita berjalan secara kronologis, dimulai dari masa Aisyah masih sekolah hingga akhirnya berhasil menjadi seorang Polwan.
 Peristiwa-peristiwa disusun secara berurutan  dimulai dari Aisyah mengenalkan dirinya dan cita-citanya menjadi Polwan. Ia menghadapi kendala ekonomi karena keluarganya miskin. Ia hampir menyerah, tapi semangatnya bangkit setelah ada informasi beasiswa. Aisyah mulai berjuang keras: belajar, latihan fisik, ikut seleksi. Ia lolos seleksi, mengikuti pelatihan, dan akhirnya resmi menjadi Polwan.
Ciri alur maju pada cerpen ini:
Alur maju pada cerpen ini ditandai dengan cerita yang disajikan secara runtut dan kronologis, dari awal hingga akhir, tanpa lompat waktu atau kilas balik.
Tahapan Alur Maju Ada 5
1.Orientasi
orientasi adalah bagian awal yang memperkenalkan tokoh utama, latar tempat dan waktu, serta gambaran awal konflik atau keadaan tokoh. Ini penting karena membantu pembaca memahami konteks cerita sebelum masuk ke bagian konflik dan klimaks.
Bagian Orientasi dalam Cerpen "Masih Boleh Aku Bermimpi, Kan?" Orientasi terdapat pada paragraf-paragraf awal.
Tokoh utama diperkenalkan: Aisyah, gadis 16 tahun, bercita-cita menjadi Polwan.
Latar sosial: Hidup dalam keluarga miskin (ayah buruh, ibu jualan gorengan).
Latar tempat: Rumah petak sempit, lingkungan kampung.
Latar waktu: Saat remaja, masa SMA.
Cita-cita dan konflik awal: Aisyah punya mimpi besar, tapi hidupnya penuh keterbatasan.
2.Komplikasi
Komplikasi adalah bagian cerita yang memuat awal munculnya masalah atau konflik yang dialami tokoh. Biasanya konflik ini membuat cerita jadi menarik karena menghadirkan pertentangan, kesulitan, atau masalah yang harus dihadapi tokoh.
Ciri-ciri komplikasi:
Menjadi pemicu utama jalannya cerita. Menimbulkan ketegangan/pertentangan. Membuat pembaca penasaran bagaimana akhir ceritanya.
Contoh komplikasi dlam cerpen "Masih Boleh Aku Bermimpi,Kan?":
Komplikasi terdapat pada bagian ketika Aisyah mulai menyadari hambatan nyata untuk meraih mimpinya, yaitu kemiskinan dan keterbatasan keluarga.
3.Klimaks
Klimaks adalah puncak konflik dalam cerita, yaitu saat masalah yang dihadapi tokoh mencapai titik paling menegangkan atau paling sulit. Pada bagian klimaks, emosi pembaca biasanya ikut terbawa karena tokoh berada pada situasi kritis yang menunggu penyelesaian.
Ciri-ciri klimaks:
Konflik sudah memuncak (hidup paling berat dirasakan tokoh). Ketegangan cerita berada di titik tertinggi.
Ini Jadi jembatan sebelum masuk ke resolusi (penyelesaian).
Contoh klimaks dalam cerpen"Masih Boleh Aku Bermimpi,Kan?":
Bagian klimaks dalam cerpen tersebut adalah saat Aisyah menerima surat kelulusan dan mengetahui bahwa ia diterima sebagai Bintara Polwan. Ini adalah puncak emosi dan ketegangan dari seluruh perjuangannya---setelah semua latihan, ujian, dan rintangan yang dihadapi.
4.Resolusi
Resolusi adalah bagian cerita yang berisi penyelesaian dari konflik atau masalah yang sebelumnya memuncak di klimaks. Pada tahap ini, masalah mulai menemukan jalan keluar, baik itu berakhir bahagia (happy ending) maupun sedih (sad ending).
Ciri-ciri resolusi:
Konflik mulai mereda. Tokoh menemukan solusi atau keputusan. Arah cerita mengarah pada akhir.
Contoh resolusi dalam cerpen "Masih Boleh Bermimpi,Kan?":
Bagian resolusi terdapat saat Aisyah menerima kabar kelulusan dan menjalani pelatihan sebagai Polwan, yang menandakan bahwa konflik utama sudah terselesaikan dengan baik.
5.Koda
Koda adalah bagian penutup cerita yang biasanya memuat pesan moral atau amanat dari kisah yang sudah dibaca. Kadang koda juga berupa simpulan akhir tentang nasib tokoh setelah konflik selesai.
Ciri-ciri koda:
Terletak di akhir cerita. Memberikan kesan mendalam bagi pembaca. Menyampaikan nilai kehidupan, pesan moral, atau hikmah.
Contoh koda pada cerpen"Masih Bisa Bermimpi,Kan?":
Koda dalam cerpen ini terdapat di bagian akhir, saat Aisyah resmi dilantik jadi Polwan, memeluk orang tuanya, dan menyampaikan bahwa ia telah berhasil menggapai mimpinya.
Jadi lengkap ya :
Orientasi : Aisyah, gadis 16 tahun dari keluarga miskin, bercita-cita menjadi Polwan. Ia kagum pada sosok wanita berseragam sejak kecil.
Komplikasi : Keinginannya terhambat karena keterbatasan ekonomi; ayahnya tidak mampu membiayai proses seleksi Polwan.
Klimaks : Aisyah mendapat info beasiswa untuk calon Polwan tak mampu. Ia berlatih fisik, belajar keras, dan mengikuti seleksi---hingga akhirnya diterima.
 Resolusi : Aisyah menjalani pelatihan berat selama 8 bulan. Ia bertahan dan akhirnya dilantik sebagai Polwan.
Koda : Aisyah bangga bisa membuktikan bahwa kemiskinan bukan penghalang mimpi. Ia kini menjadi Polwan dan kebanggaan keluarganya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI