Menyusuri lorong dengan hamparan bedak-bedak pedagang Pasar Besar Malang bukan sekadar rutinitas belanja atau nostalgia visual.Â
Setiap sudut pasar ini seperti menyimpan gema masa lalu, dari aroma jamu gendong yang menguar, tumpukan sandal jepit yang dijajakan pedagang kaki lima, hingga suara tawar-menawar yang bersahut-sahutan bagai lagu rakyat yang tak pernah lekang ditelan waktu.
Di pasar utama di kota Malang ini degup kehidupan kota berdetak yang menyimpan sejarah, merekam jejak budaya, dan menghidupkan kenangan. Pasar Besar Malang adalah salah satu ruang yang menyatukan ketiganya. Bagi banyak orang, pasar ini bukan sekadar bangunan atau tempat transaksi, melainkan bagian dari hidup yang tak tergantikan.
Pasar Besar Malang lebih dari sebuah ruang transaksi ekonomi. Ia adalah jantung kota, nafas kehidupan rakyat, dan penanda waktu yang terus berjalan.
Warisan Sejarah yang Terpatri Sejak 1914
Pasar Besar Malang berdiri megah sejak tahun 1914. Sebagai pasar utama yang berada di tengah kota, bangunannya mengalami berbagai renovasi dan pembenahan, namun tak kehilangan ruh lamanya.Â
Sejak masa Hindia Belanda hingga pasca-kemerdekaan, Pasar Besar menjadi pusat perputaran ekonomi rakyat, tempat bertemunya petani, pedagang, tukang, ibu rumah tangga, hingga pelajar yang sekadar mencari jajanan murah meriah.
Menelusuri lorong-lorong Pasar Besar serasa menembus pusaran waktu. Di setiap sudut, kita bisa menjumpai kisah masa lalu yang masih terasa dalam percakapan para pedagang tua, aroma rempah di toko jamu, hingga tampilan etalase kaca usang yang tetap dipertahankan.
Salah satu penanda sejarah yang masih bertahan adalah Warung Lama H. Ridwan, rumah makan legendaris yang menempati area Pasar Besar sejak pertama kali dibuka. Bahkan sebelum Pasar Besar berdiri, H. Ridwan telah menjajakan rawon dan sate komoh dengan cara memikul dagangannya. Warung ini adalah warisan kuliner khas Jawa Timuran yang telah bertahan lintas zaman.
Aneka menu Jawa Timuran seperti rawon, gule daging, krengsengan, bali daging, hingga ayam lodho resep almarhum penulis dan pakar kuliner Indonesia, Bondan Winarno dan menjadi magnet kuliner tersendiri.
Harga yang ditawarkan masih bersahabat, berkisar Rp20.000 hingga Rp25.000 per porsi, dengan rasa yang tetap konsisten. Warung ini tidak hanya menjual makanan, tapi juga pengalaman rasa, sejarah, dan kehangatan khas Malang tempo dulu.
Titik Temu Kenangan Keluarga
Bagi saya pribadi, Pasar Besar Malang adalah album kenangan yang hidup. Bersama Bapak, saya kerap mengunjungi lantai dua bagian belakang pasar.Â
Di sana, ada langganan tukang servis jam milik Bapak, seorang bapak tua yang sabar dan telaten memperbaiki mesin waktu kecil yang selalu melekat di pergelangan tangan manusia. Kini tempat itu sudah diisi orang berbeda, mungkin anaknya atau siapa, namun kenangan itu tetap abadi sepanjang hidup.
Saat itu, sambil menunggu jam diperbaiki, Bapak selalu mengajak saya duduk di warung kopi sebelah toko aksesoris bunga. Di sana kami menikmati gorengan yang beraneka rupa: pisang goreng, limpang-limpung, ote-ote, tempe menjes, tahu berontak, dan jemblem. Semua rasa itu melebur menjadi kenangan masa kecil yang hangat dan sulit tergantikan.
Bapak juga selalu membeli koran dan buku TTS bergambar nona-nona cantik serta tak lupa membelikan saya majalah atau komik agar tidak bosan.
Pasar Besar menjadi tempat belajar diam-diam tentang hidup: tawar-menawar yang jujur, keramahan para pedagang, hingga nilai kesederhanaan dalam menikmati makanan rumahan. Di sela hiruk pikuk kota yang berubah cepat, pasar ini tetap menjadi tempat di mana waktu melambat dan memberi ruang untuk mengenang.
Ikon Kota yang Terluka dan Bangkit
Pasar Besar pernah mengalami masa duka saat beberapa kali mengalami bencana kebakaran. Dilansir dari Wikipedia tercatat:
- 1984: Kebakaran pertama yang tercatat dalam sejarah PBM.
- 1990: Kebakaran kedua yang melanda pasar.
- 2003: Kebakaran ini menghanguskan lantai dua dan tiga yang ditempati Matahari Department Store, namun tidak terlalu berdampak pada lantai bawah pasar tradisional
- 2014: Kebakaran kecil yang hanya melanda dua kios.
- 26 Mei 2016: Kebakaran besar yang melanda sebagian besar bagian tengah pasar.
Kebakaran hebat di tahun 2016 membuat suasana mencekam. Asap hitam, suara sirine, dan kepanikan pun viral dan menjadi berita utama. Namun, dari puing-puing itu, pasar ini kembali dibangun. Para pedagang perlahan kembali, bangunan direnovasi, dan semangat hidup yang sempat pudar dinyalakan lagi.
Hingga kini para pedagang tetap bertahan di tempat yang telah menjadi bagian hidup mereka selama puluhan tahun. Pasar tetap menjadi ruang sosial yang tak hanya sebagai tempat transaksi, melainkan tempat bersilaturahmi, berbagi kabar, dan menciptakan rasa aman di tengah kota yang terus bergerak.
Pasar Besar Malang tetap berdiri dengan menyimpan sisa-sisa masa lalu yang tidak terhapus. Revitalisasi menjadi pasar modern berpadu dengan nuansa klasik masih menjadi pembicaraan yang akan digodog dan dalam waktu cepat atau lambat akan dilaksanakan.
Warisan Budaya dan Identitas Kota
Pasar Besar adalah cerminan keberagaman. Di sana, kita bisa menemukan berbagai unsur budaya Jawa, Tionghoa, Madura, hingga Arab yang berpadu dalam interaksi sehari-hari. Di sekitar pasar juga berdiri tempat ibadah lintas agama yang menegaskan toleransi masyarakat Kota Malang sejak dahulu.
Dalam gambar peta lama era kolonial, kita bisa melihat struktur pasar yang terorganisir, berbentuk blok-blok besar dengan deretan toko yang membentuk jaringan komersial aktif. Pasar ini tidak hanya dihuni pedagang lokal, tetapi juga pedagang keturunan Tionghoa dan Arab yang memperkaya keberagaman jenis dagangan dan budaya pasar.
Nama-nama toko legendaris masih bertahan, meski tak seramai dulu. Beberapa toko alat-alat rumah tangga, toko aksesoris dan parfum, aksesoris pengantin, toko kelontong, penjual baju, sepatu, tas, dan pakaian seragam sekolah, hingga toko mainan tradisional tetap menjadi tujuan pelanggan setia.Â
Sementara di bagian luar pasar, tumpah ruah pedagang kaki lima menghidupkan suasana jalanan. Ada yang menjual bunga, buah potong, sayur mayur, jam tangan, alat tulis, aksesori murah meriah, dan masih banyak lagi.
Pasar ini juga menyimpan simbol identitas warga Malang: semangat berjuang dan merawat yang lama. Dalam era di mana pusat perbelanjaan modern menjamur dan aplikasi belanja online mendominasi, masih ada orang-orang yang lebih memilih jalan setapak ke pasar demi merasakan sentuhan manusiawi dalam berbelanja.
Menghidupkan Kenangan Lewat Aroma dan Suara
Pasar bukan hanya tentang barang. Ia hidup dari aroma dan suara. Aroma kemenyan dari penjual dupa, bau kopi bubuk yang baru digiling, wangi segar dari potongan bunga melati, dan aroma khas daging yang dimasak di dapur Warung Lama.
Harum aroma kopi diseduh, denting suara gelas es jeruk yang diaduk, hingga kepulan asap sate komoh dan kuah tahu campur berbaur di lapak-lapak kuliner yang berjajar di dalamnya menambah suasana khas yang lekat dalam ingatan.
Suara-suara khas pasar juga tak tergantikan: teriakan pedagang menawarkan dagangan, suara kerincing uang logam, percakapan hangat dalam bahasa Malangan yang kental, dan derap kaki serta tubuh yang berhimpitan menyusuri lorong-lorong sempit.
Tak jarang, di antara lorong tersebut, kita akan bertemu dengan lansia yang tetap setia berdagang. Dengan tangan keriput dan wajah sabar, mereka adalah penjaga ingatan kota. Melihat mereka adalah seperti membuka halaman buku sejarah yang terus ditulis ulang setiap hari.
Menjaga agar Bertahan sebagai Ikon Kota
Modernisasi kadang meminggirkan yang tradisional. Namun pasar seperti Pasar Besar Malang tak boleh sekadar menjadi halaman nostalgia. Ia harus dirawat dan terus dihidupkan.
Pemerintah kota perlu terus memberi dukungan infrastruktur yang manusiawi, memperhatikan kebersihan, aksesibilitas, dan kenyamanan. Di sisi lain, masyarakat juga perlu kembali memaknai pasar sebagai ruang sosial dan kebudayaan, bukan hanya tempat beli kebutuhan murah.
Mungkin tak semua orang punya kenangan di Pasar Besar. Tapi bagi banyak warga Malang, pasar ini seperti album masa kecil yang tersimpan rapi di hati, tentang Bapak yang mereparasi jam di toko langganan, tentang gorengan dan kopi hitam, tentang keramahan pedagang dan nilai hidup sederhana.
Dan selama kenangan itu masih hidup, Pasar Besar Malang akan tetap bertahan sebagai ikon kota, ruang budaya, dan rumah kenangan yang tak tergantikan. Salam Lestari! (Yy)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI