Untuk perawatan dan konservasi buku, saya tetap mengerjakannya sendiri.
Saya percaya, buku yang diselamatkan hari ini bisa menjadi guru yang tanpa suara bagi anak-anak esok. Dan itu cukup menjadi alasan untuk terus melakukannya, meski lelah, meski tak selalu dipahami.
Menjadi Pustakawan di Era Digital: Belajar Tanpa Henti
Saya tahu, zaman bergerak cepat. Maka usaha untuk membekali diri sebagai pustakawan yang melek teknologi tak pernah saya lewatkan. Dari pendataan berbasis digital, pengelolaan katalog daring, hingga merancang konten literasi untuk media sosial sekolah, semua saya pelajari sedikit demi sedikit. Dunia berubah, dan perpustakaan harus ikut bergerak. Tujuannya satu: agar perpustakaan tetap relevan di mata generasi baru.
Di balik layar semua itu, saya tetap percaya pada nilai kehangatan antarmanusia. Di perpustakaan kecil ini, saya berusaha menjadi sahabat bagi siapa pun: siswa yang pendiam, guru yang rindu buku- buku lawas, atau anak yang hanya ingin duduk dan membaca. Tak semua yang datang ingin meminjam, beberapa hanya butuh tempat aman. Dan perpustakaan memberinya itu.
Peran pustakawan tidak boleh berhenti pada rak dan buku. Harus terus belajar agar menjadi pustakawan yang melek teknologi namun tetap mampu membuat perpustakaan hidup lebih dari sekadar sistem, tapi sentuhan manusia yang tak tertulis di halaman buku, tapi tertinggal di dalamnya.
Adab yang Terlupa: Membaca dengan Rasa Hormat dan Cinta
"Membaca dengan adab adalah cermin karakter pemustaka."
Banyak siswa, dan kadang guru, tak menyadari bahwa buku yang mereka terima telah melalui perjalanan panjang. Maka saya dengan berbagai cara mengingatkan kembali adab sederhana saat menggunakan buku, baik melalui poster maupun dengan memberikan sekat atau penanda halaman buku.