Buku yang dibeli diutamakan adalah buku teks pelajaran yang diterbitkan oleh Kemendikbud. Hal ini tentu menjamin kesesuaian kurikulum, tetapi kadang menghadirkan dilema di lapangan.
Setiap awal tahun pelajaran, bukan hanya ratusan, tetapi ribuan buku harus disiapkan. Buku baru datang, hasil distribusi dari program pemerintah. Seringkali saya mendapati bahwa buku-buku dari proyek pemerintah ini sering kali datang dalam kualitas fisik yang rapuh. Kertasnya tipis, jilidnya lemah. Buku yang baru diterima, belum sempat disentuh siswa pun, kadang sudah harus diperbaiki. Meski standar dan ekonomis, buku-buku itu tetap harus layak pakai.
Saya tetap mengerjakannya dan tetap merawatnya. Karena saya tahu, meskipun fisiknya sederhana, isinya tetap bernilai. Dan buku tetaplah jembatan bagi ilmu pengetahuan.
Sendiri dan Tak Selalu Terlihat
"Saya percaya, buku-buku yang dirawat dengan cinta akan menemukan pembaca yang menghargai."
Yang kerap tak terlihat adalah fakta bahwa jumlah pustakawan di sekolah sering kali minim. Banyak sebagian guru bahkan belum tahu bahwa buku yang mereka ambil di rak kelas telah melewati serangkaian proses administratif dan konservasi yang panjang.Â
Buku tidak tiba-tiba muncul begitu saja. Ia dibentuk, dirawat, dan disalurkan. Pustakawan menyulap ruang dan waktu agar semuanya selesai tepat sebelum bel pembukaan tahun ajaran berbunyi.
Dalam segala keterbatasan itu, saya tetap bekerja. Kadang melewati jam kerja. Kadang mengorbankan akhir pekan. Yang selalu ada adalah cinta pada literasi yang membuat saya tetap bertahan.
Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir lebih banyak saya mengerjakannya sendiri,kadang dibantu teman. Namun sejak saya sakit karena kecelakaan, semua berangsur lebih semarak. Beberapa siswa OSIS dan relawan membantu proses distribusi; membawa, menghitung, serta menyusun buku-buku yang akan dipergunakan.Â