Sebuah Refleksi Seorang Pustakawan Sekolah tentang Cinta, Buku, dan PengabdianÂ
"Perpustakaan bukan hanya ruang sunyi, tapi tempat ilmu dirawat dan karakter ditempa."
Di saat ruang kelas kembali ramai oleh langkah siswa dan derai tawa yang menandai dimulainya tahun ajaran baru, ada satu ruang yang justru paling sibuk sebelum hari pertama dimulai. Di sanalah saya berada sejak 2017, dalam kesunyian perpustakaan yang sesungguhnya tidak pernah benar-benar sepi.
Setiap awal tahun pelajaran, saya bukan hanya menyusun buku. Saya menyusun semangat, merawat sisa-sisa halaman yang robek, dan menyiapkan ribuan lembar untuk berpindah tangan kepada generasi berikutnya.
Ritus Tahunan yang Kerap Tak Terlihat
Bagi sebagian besar orang, mungkin buku hanya tinggal dibagikan. Tapi bagi pustakawan, buku adalah benda hidup yang harus diperlakukan dengan hati-hati dan prosedur.Â
Saat buku baru (paket) datang, prosesnya melalui proses panjang sebelum sampai di tangan siswa:
- Dicatat identitas dan jumlahnya
- Dicek kondisinya satu per satu
- Diberi kode klasifikasi
- Distempel di tiga titik: halaman depan, tengah, dan belakang
- Ditempel stiker klasifikasi
- Disampul plastik rapi
- Diinput ke data digital
- Lalu didistribusikan ke setiap kelas
Dan bila buku itu rusak di tengah jalan, saya menjahitnya atau merekatkannya kembali, memperbaikinya pelan-pelan. Konservasi buku adalah pekerjaan yang senyap. Tidak bisa dibagi. Harus sabar. Harus tulus. Harus percaya bahwa buku itu masih layak dipeluk oleh tangan-tangan baru.
Dana BOS dan Buku Teks Resmi: Antara Harapan dan Kenyataan
Perlu diketahui, bahwa pembelian buku teks pelajaran di sekolah, baik negeri maupun swasta yang menerima dana BOS, wajib mengikuti petunjuk teknis.
Buku yang dibeli diutamakan adalah buku teks pelajaran yang diterbitkan oleh Kemendikbud. Hal ini tentu menjamin kesesuaian kurikulum, tetapi kadang menghadirkan dilema di lapangan.
Setiap awal tahun pelajaran, bukan hanya ratusan, tetapi ribuan buku harus disiapkan. Buku baru datang, hasil distribusi dari program pemerintah. Seringkali saya mendapati bahwa buku-buku dari proyek pemerintah ini sering kali datang dalam kualitas fisik yang rapuh. Kertasnya tipis, jilidnya lemah. Buku yang baru diterima, belum sempat disentuh siswa pun, kadang sudah harus diperbaiki. Meski standar dan ekonomis, buku-buku itu tetap harus layak pakai.
Saya tetap mengerjakannya dan tetap merawatnya. Karena saya tahu, meskipun fisiknya sederhana, isinya tetap bernilai. Dan buku tetaplah jembatan bagi ilmu pengetahuan.
Sendiri dan Tak Selalu Terlihat
"Saya percaya, buku-buku yang dirawat dengan cinta akan menemukan pembaca yang menghargai."
Yang kerap tak terlihat adalah fakta bahwa jumlah pustakawan di sekolah sering kali minim. Banyak sebagian guru bahkan belum tahu bahwa buku yang mereka ambil di rak kelas telah melewati serangkaian proses administratif dan konservasi yang panjang.Â
Buku tidak tiba-tiba muncul begitu saja. Ia dibentuk, dirawat, dan disalurkan. Pustakawan menyulap ruang dan waktu agar semuanya selesai tepat sebelum bel pembukaan tahun ajaran berbunyi.
Dalam segala keterbatasan itu, saya tetap bekerja. Kadang melewati jam kerja. Kadang mengorbankan akhir pekan. Yang selalu ada adalah cinta pada literasi yang membuat saya tetap bertahan.
Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir lebih banyak saya mengerjakannya sendiri,kadang dibantu teman. Namun sejak saya sakit karena kecelakaan, semua berangsur lebih semarak. Beberapa siswa OSIS dan relawan membantu proses distribusi; membawa, menghitung, serta menyusun buku-buku yang akan dipergunakan.Â
Untuk perawatan dan konservasi buku, saya tetap mengerjakannya sendiri.
Saya percaya, buku yang diselamatkan hari ini bisa menjadi guru yang tanpa suara bagi anak-anak esok. Dan itu cukup menjadi alasan untuk terus melakukannya, meski lelah, meski tak selalu dipahami.
Menjadi Pustakawan di Era Digital: Belajar Tanpa Henti
Saya tahu, zaman bergerak cepat. Maka usaha untuk membekali diri sebagai pustakawan yang melek teknologi tak pernah saya lewatkan. Dari pendataan berbasis digital, pengelolaan katalog daring, hingga merancang konten literasi untuk media sosial sekolah, semua saya pelajari sedikit demi sedikit. Dunia berubah, dan perpustakaan harus ikut bergerak. Tujuannya satu: agar perpustakaan tetap relevan di mata generasi baru.
Di balik layar semua itu, saya tetap percaya pada nilai kehangatan antarmanusia. Di perpustakaan kecil ini, saya berusaha menjadi sahabat bagi siapa pun: siswa yang pendiam, guru yang rindu buku- buku lawas, atau anak yang hanya ingin duduk dan membaca. Tak semua yang datang ingin meminjam, beberapa hanya butuh tempat aman. Dan perpustakaan memberinya itu.
Peran pustakawan tidak boleh berhenti pada rak dan buku. Harus terus belajar agar menjadi pustakawan yang melek teknologi namun tetap mampu membuat perpustakaan hidup lebih dari sekadar sistem, tapi sentuhan manusia yang tak tertulis di halaman buku, tapi tertinggal di dalamnya.
Adab yang Terlupa: Membaca dengan Rasa Hormat dan Cinta
"Membaca dengan adab adalah cermin karakter pemustaka."
Banyak siswa, dan kadang guru, tak menyadari bahwa buku yang mereka terima telah melalui perjalanan panjang. Maka saya dengan berbagai cara mengingatkan kembali adab sederhana saat menggunakan buku, baik melalui poster maupun dengan memberikan sekat atau penanda halaman buku.
Adab ini bukan sekadar aturan. Ia adalah wujud penghormatan terhadap ilmu, pustakawan, dan pembaca lain yang akan datang kemudian.
Jejak yang Tak Terlihat, Tapi Tetap Bermakna
"Saya tak selalu berdiri di depan kelas, tapi saya ingin hadir dalam setiap proses belajar."
Ya benar, saya mungkin bukan guru yang berdiri di depan kelas. Tapi saya adalah bagian dari setiap proses belajar. Saya ada dalam stempel kecil di halaman depan buku. Dalam plastik yang membungkus jilidan yang hampir lepas. Dalam tulisan tangan di lembar data sirkulasi. Dalam laci katalog yang diam-diam mencatat siapa yang membaca apa.
Saya ada di balik jejak sentuhan yang tak tertulis di halaman buku.
Dan semoga, saat kita membuka buku koleksi perpustakaan, kita akan tahu:
Ada seseorang yang menjaganya. Dengan hati. Dengan sabar. Dengan cinta.Â
Salam Literasi dalam Cinta! (Yy)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI