Misi yang dibawa adalah mengembangkan dan melestarikan kesenian dalang dan karawitan melalui pendidikan, pelatihan, dan pertunjukan dengan memanfaatkan teknologi digital dalam upaya memperkenalkan, meningkatkan kesadaran dan apresiasi dari masyarakat. Mengembangankan kreaativitas dan inovasi melalui kolaborasi dengan seniman dan praktisi lainnya serta membangun komunitas yang inklusif yang mendukung, bagi seniman dan pecinta kesenian tradisional.
Sanggar yang berlokasi di tengah pemukiman padat kota Malang ini tetap hidup berkat semangat kolektif para pengurus, pelatih, dan warga sekitar. Filosofi mereka sederhana: budaya harus hidup dalam keseharian, bukan sekedar dilestarikan dalam seremoni. Oleh karena itu, kegiatan sanggar ini tidak hanya menyasar kalangan seniman, tetapi juga membaur dengan masyarakat umum.
Program dan Aktivitas Seni Budaya
Salah satu program unggulan sanggar ini adalah sekolah dalang cilik di mana anak-anak usia dini dilatih menjadi dalang.
Mereka belajar teknik sabetan (gerakan wayang), suluk (nyanyian dalang), serta memahami cerita-cerita pewayangan. Pelatihan ini juga mengasah kepercayaan diri dan kemampuan bercerita anak-anak. Mendalang bukan hanya tentang sabetan, suluk, dan berpakaian adat Jawa saja, tetapi juga tentang belajar bahasa Jawa.
Salah seorang murid bernama Haidar (7 tahun) sudah mampu tampil sebagai dalang pada usia 5 tahun dalam pagelaran wayang kulit. Ia mampu menghafalkan cakepan dan naskah yang diberikan guru-gurunya di sanggar meskipun belum pandai membaca.
Selain sekolah dalang, sanggar ini juga mengajarkan karawitan Jawa Timur yang dikenal enerjik dan harmonis. Para peserta didik juga dilatih untuk tampil dalam berbagai event lokal.
Sekolah dalang diadakan dua kali dalam seminggu, Rabu malam untuk kelas pedalangan tingkat lanjut atau dewasa dan Sabtu untuk tingkat pemula dan lanjutan. Sedangkan sekolah karawitan diadakan di hari Sabtu untuk kelas pemula dan tingkat lanjut.
Ciri khas wayang kulit Malangan yang diajarkan di sanggar ini antara lain adalah:
- Gaya visual yang ekspresif, warna yang mencolok, serta iringan gamelan yang rancak dan dinamis.
- Teknik sabetan (gerakan wayang) khas yang disebut “kupu tarung” atau meniru gerakan wayang perang.
- Penggunaan bahasa Jawa Timuran khas Malang dalam dialog
- Visual wayangnya lebih kecil daripada wayang kulit Solo, Jawa Tengah
- Cerita bersumber dari kisah pewayangan Mahabharata dan Ramayana seperti pada umumnya, namun khusus untuk daerah Malang selalu diselipkan bumbu kearifan lokal (local wisdom)
Tantangan di Tengah Era Digitalisasi
Tidak dapat dipungkiri bahwa sanggar seni dalang dan karawitan di era digital mengalami beberapa tantangan, namun tak menutup kemungkinan juga terdapat peluang. Tantangan yang mereka alami, antara lain adalah:
- Generasi muda lebih tertarik pada budaya populer dan teknologi difital, sehingga minat pada seni tradisional seperti dalang dan karawitan menurun.
- Pertunjukan seni tradisional harus bersaing dengan media digital yang lebih modern dan menarik, seperti film, video, dan permainan online.
- Masyarakat modern seringkali kurang memahami nilai-nilai budaya yang terkandung dalam seni tradisional, sehingga apresiasi terhadap seni dalang dan karawitan menurun.
- Seni tradisional seperti dalang dan karawitan menghadapi tantangan dalam pelestarian, karena kurangnya dokumentasi dan pewarisan pengetahuan kepada generasi muda. Salah satunya adalah wawasan tentang pewayangan sudah tidak ada lagi dalam pelajaran Bahasa Jawa di sekolah.
Inovasi dan Adaptasi di Era Digital
Sadar akan tantangan zaman ini, sanggar seni “Gumelaring Sasangka Aji” tidak menutup diri dari perkembangan teknologi. Berbagai peluang dapat dimanfaatkan untuk menghadapi tantangan.