Sepatu hitam itu melangkah,
menyusuri jalanan Vatikan,
menjelajah lorong-lorong Roma,
mengelilingi medan berdebu penjuru dunia
Dari Ruang Air Mata dua belas tahun silam,
setelah seru sukacita berkumandang;
“Habemus Papam!”
sepatu tua melangkah lekat tak tergantikan,
berziarah bersama Sang Paus Pinggiran
Tak ada rumbai emas,
tak berselimut beludru,
tak jua bertali sutera,
hanya kulit usang, setia bertelut
di bawah singgasana Bunda Maria tak Bernoda
Di setiap tapaknya, tertulis cerita:
tentang damai yang dirajut di tanah perang,
tentang air mata yang diseka di kamp pengungsi,
tentang tangan yang diangkat di pelabuhan sunyi,
tentang luka nestapa yang dibasuh di balik jeruji
Empat ratus ribu kilometer lebih,
bukan sekadar angka di peta besar,
melainkan jejak harapan yang dibisikkan
di lorong-lorong hidup manusia lapar
Ia berjalan,
melewati batas, menyeberangi lautan,
menyatukan bahasa dalam sapaan,
membangun jembatan dari senyuman
Sepatu itu lelah, barangkali,
namun semangat di dalamnya tidak mati
Karena cinta yang memanggilnya pergi
lebih kuat dari segala sunyi
Sepatu Fransiskus,
bukan sekadar alas kaki
Ia adalah saksi,
atas perjalanan hati yang mencari;
bukan kemewahan,
tetapi senyum dan peluk kaum tersisih
Kini sepatu usang turut pergi…
diiringi derai air mata semilyar lebih pasang mata
Melekat dengan raga Fransiskus,
menyatu dalam ceruk,
antara Salus Populi Rumani dan Sforza
dalam keheningan Basilika Santa Maria Maggiore