Mohon tunggu...
Yurista Fatinah
Yurista Fatinah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Yurista Fatinah

Merawat Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gelut Rasa (Yurista Fatinah)

20 April 2021   11:58 Diperbarui: 20 April 2021   12:25 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Memandang jarum jam yang berdetak dengan cepat dipagi hari. "pertama masuk perkuliahan secara daring membuatku sedikit lebih lega dari pada masuk secara langsung, sama seperti masa orientasi perkuliahan." Gumamku dalam hati yang lebih lega. Pertama masuk perkuliahan aku berfikir akan tidak enak sama seperti duduk dibangku SMA kelas 12 dulu. Ya mungkin karena orangnya kurang enak atau nanti mereka terlalu dewasa untuk berteman dengan ku. waktu malam Minggu satu hari sebelum masuk kuliah aku tergabung di group kelas M2 PBSI.  "Aku terkejut dengan No. absen aku di kelas itu dengan nomor 1 hehehe.... biasanya dari SD sampai SMA selalu paling akhir karena huruf depan nama panjang ku Y" dalam pikiran ku sedikit membengongkan.

Bunyi handphone notifikasi yang ribut dari sore hari, dari group whatsapp kelas M2 PBSI.  ditambah lagi malam Minggu aku pun tidak bisa berkenalan dengan yang lain, seperti nama dan tukaran nama instagram atau saling save nomor di whatsapp melalui group kelas. Dimana aku dipanggil untuk nampil baca puisi di RRI Batam dengan tema corona-corona gitu, sedikit bingung sebenarnya dengan tema yang diberikan karena malam minggu, biasanya kalau malam minggu pasti tentang percintaan atau anak band yang mengisi acara di RRI. Ditambah lagi tiba-tiba handphone bermasalah tidak bisa disentuh, padahal kalo bisa biar bisa kasih link ke group kelas kuliah biar mereka lihat gitu, walaupun sedikit tidak percaya diri takut dibilang sok-sokan kali sih. Aku pun cuman kasih tau ke teman yang sedikit hobi yang sama di puisi tapi dia lebih ke cipta puisi sedangkan aku di baca puisinya walaupun masih harus banyak belajar dari para sastrawan khususnya di Kepulauan Riau, Anzila namanya teman yang dari masuk SMA sampai kami dinyatakan libur corona yang masih kontak-kontakan di whatsapp dan selalu nyambung kalau sedikit berbicara tentang puisi, tidak seperti yang lainnya. Sebenarnya gak tau tiba-tiba bisa suka puisi, karena dari kelas satu SMA sama Anzila kami berdua selalu berfikir. "yok kita keluar, yok Fatin bosan aku disekolah." kata yang selalu anzila lontarkan kepada ku dan ditambah lagi dia selalu bilang "biar dapat uang tambahan gitu hehehe" Kata yang membuat ku untuk selalu mengikuti kegiatan berbau sastra ya khususnya di baca puisi. Inilah alasan sedikit aku kenapa ambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Maritim Raja Ali Haji. Walaupun sebenarnya tidak mau ambil jurusan ini. "yaaa sudahlah ikut aja arahan orang tua, karena doa restu orang tua biasanya lebih cepat terkabulkan" dalam pikiran ku yang selalu tertanam.

Ini merupakan salah satu puisi yang aku suka kali kalau disuruh baca waktu SMA dulu:

GUGUR

WS Rendra

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya

Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belum lagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
" Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang."
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa

Orang tua itu kembali berkata :
"Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!"
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun