Baru saja kemarin ku tulis puisi rindu,
betapa ingin aku bertemu
pada sosok wanita lugu
yang menjajakan lauk.
Baru saja kemarin aku bertanya,
bagaimana keadaannya
tanpa kutahu pada siapa.
Hari ini dia datang,
melihatnya hatiku riang
kupeluk dan berikan ciuman
dipipinya yang keringatan.
Iapun merasakan kerinduan,
melihatku ia ulurkan tangan
tampaknya ingin berlama-lama berpelukan.
Tapi ia punya pekerjaan,
seperti biasa ia gelar dagangan
diatas lantai ia merasa nyaman
sambil bercerita
tentang sakit dibadannya
juga diperut dan lutut kakinya
hingga ia kesulitan berjalan.
Satu persatu ia keluarkan makanan dari buntalan,
ia lanjutkam ceritanya
katanya ia tidak bisa berobat,
anak dan mantunya tak perduli padanya,
hingga ia hanya bisa istirahat,
di rumah tanpa apa-apa.
Ia tata ayam, mie, sayur dan osengan,
dan banyak lagi ditebarkan,
masih dengan bercerita,
sambil menahan airmata,
betapa pedih diusia tua,
badan renta tapi harus bekerja.
Kudengarkan semua ceritanya tanpa sela,
kubiarkan ia menguras kesedihannya,
agar nanti pulang hatinya lega,
sebab sudah dituangkan semua.
Ia tawarkan ayam masakannya,
seplastik 60 ribu harganya,
nasi bungkus masih beberapa,
kuambil lima lima,
kutanya berapa harga semua
ia  menatapku tersenyum jenaka.
Bayar secukupnya katanya,
akupun renyah tertawa
kuulurkan limapuluh ribuan.