Hartini dikorbankan dalam narasi keluarga---sebagai ibu gagal, demi menutupi pengkhianatan anak lelaki kebanggaan mereka.
Pagi itu biasa saja. Tapi saat Hartini pulang dari kampus, rumah terasa sepi. Terlalu sepi.
"Mak, anak-anak mana?"
"Tadi dibawa Andri. Katanya mau main ke rumah Mbah-nya."
"Tapi... kenapa semua bajunya dibawa?"
Si bungsu baru dua tahun empat bulan. Baru disapih.
Tanpa kabar, tanpa peringatan---anak-anak Hartini lenyap. Dibawa tanpa jejak.
Bertahun-tahun kemudian, anak sulung---yang akhirnya kembali---meninggalkan secarik catatan:
"Aa kasihan adik-adik. Gak ada yang ngurus."
Bukan Hartini yang meninggalkan anak-anak. Tapi mereka dibawa pergi secara diam-diam---dengan narasi palsu bahwa ibunya terlalu sibuk untuk mencintai.
Beberapa tahun kemudian, Hartini mendengar Andri menikah lagi. Bukan dengan Kia, melainkan seorang janda tiga anak bernama Nia.
Alasan Nia menikah? "Kasihan."
Katanya, ia tersentuh oleh anak bungsu Hartini yang sering main sendiri di teras rumah orangtua Andri.
"Saya gak tahan lihat anak kecil itu... seperti kehilangan ibu," ucap Nia.