Tak ada yang lebih mulia bagi Hartini selain menjadi ibu. Dan tak ada yang lebih menyiksa daripada dituduh lalai sebagai ibu---oleh orang-orang yang bahkan tak pernah benar-benar melihatnya begadang memeluk tiga anak laki-lakinya sambil menyesap bab demi bab disertasi.
Di balik toga S3 yang ia raih dari kampus ternama di Bandung, terdapat air mata yang dikeringkan di sudut musholla kecil rumahnya di Tasikmalaya. Antara tugas rumah tangga, kelas daring, perjalanan PP Bandung--Tasik, mengajar di Madrasah Aliyah, dan sesekali memandikan si bungsu yang baru disapih.
"Bu Hartini, Bismillah... Semangat ya..." kata dosennya suatu pagi.
Ia tersenyum. Tidak semua orang tahu, pagi itu Hartini baru saja bangun dari pingsan karena begadang. Anak-anaknya demam. Suaminya, Andri? Sudah dua minggu berjibaku di Jateng, katanya ada urusan dagang batik.
Semuanya berubah sejak Hartini menemukan laptop terbuka di kamar. Tak ada firasat apa-apa sebelumnya. Ibu-ibu pintar jarang punya waktu curiga---hingga akhirnya mereka disodori bukti telanjang.
Inbox Facebook itu...
Awalnya ia mengira akun "Doni" adalah laki-laki yang menjalin hubungan gelap dengan suaminya. Tapi perlahan-lahan, cara bicara akun itu... mulai terasa sangat familiar. Terlalu familiar.
"Mas, malam ini aku bawa lingeri merah ya... yang kamu bilang paling kamu suka."
Hartini menggigil. Menyimak narasi inbox yang sungguh menyesakan dada, ragam narasi adegan dewasa berkelindan di inbox tersebut.
Gaya bahasanya... tanda bacanya...
Ini bukan gaya laki-laki.