Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Papa Meninggal (Lanjutan)

9 Februari 2018   01:26 Diperbarui: 9 Februari 2018   01:47 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak lama kemudian, Mama dan Cindy pun pulang. Seperti saya, beliau juga tidak menangis. Saya selalu mengagumi Mama yang senantiasa tegar menghadapi peristiwa apapun. Mama duduk di bangku yang terletak di samping ranjang. Dia meraih tangan suaminya lalu diusap-usapkan ke pipinya. Tidak ada air mata di sana. Kadang air mata memang tidak cukup untuk mewakili sebuah kesedihan yang melampaui batas.

Tanpa mempedulikan apapun, Cindy mendekat ke arah mainan puzzlenya yang masih berserakan di lantai. Dan kali ini dia bersikap normal dan langsung asyik menyusun kepingan puzzle sesuai dengan petunjuk yang terdapat di tutup kotaknya.

Dalam tradisi Budhis, memperabukan jenazah memang merupakan prioritas tertinggi. Dalam Kitab Suci Tipitaka juga disebutkan bahwa Budha dan murid-murid utamanya memilih perabuan. Akan tetapi hal itu bukanlah peraturan yang wajib. Semua berpulang pada yang bersangkutan atau pihak keluarga apakah hendak dimakamkan atau diperabukan.

Setiap mahluk ingin mempunyai cara matinya sendiri-sendiri. Papa pernah berkata pada Mama bahwa kalau dia mati nanti, dia ingin mati sendirian di suatu tempat tersembunyi. Beliau beralasan, dengan cara itu, anggota keluarga tidak perlu repot-repot mencarikan tanah untuk makamnya. Di samping itu, keluarga juga tidak punya kewajiban untuk pergi berziarah. Menurut Papa, kalau memang ingin mendoakan seseorang, kita bisa melakukannya dari rumah.

Saya pernah membaca bahwa memang ada orang-orang tertentu yang ingin mati tanpa disaksikan oleh orang lain. Dan Papa adalah salah satu di antaranya. Berbulan-bulan Papa mengalami koma. Seluruh keluarga besar menunggui dengan harapan ketika Papa menghembuskan napas terakhir, kita semua berada di dekatnya. Tapi Papa terus bertahan. Begitu lamanya Papa dalam kondisi koma sehingga satu persatu seluruh famili kembali ke tempatnya masing-masing. Bahkan A Koh pun pamit untuk pergi. Kemudian Mama pergi ke Vihara. Di saat yang sama, saya pergi membeli darah ke PMI. Dan akhirnya tak seorang pun dari keluarga yang menjaga Papa.

Dan Papa rupanya benar-benar memanfaatkan waktu tersebut. Dia meninggal dunia di saat tidak ada seorang pun anggota keluarga di kamarnya. Sempat terbersit di kepala saya, kalau Papa masih kuat badannya, pasti dia akan menghilang dan memilih sebuah tempat tersembunyi untuk mati sendirian.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun