Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Papa Meninggal (Lanjutan)

9 Februari 2018   01:26 Diperbarui: 9 Februari 2018   01:47 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tapi penampilannya tentu saja tidak sama dengan yang kamu lihat di televisi."

"Sorry, Yo. It's not a good joke. I am so stupid."

Melihat dia salah tingkah seperti itu, saya jadi kasihan padanya. Dan entah karena apa, saya merangkul leher Fuad dan mencium pipinya, "It's okay. Saya nggak marah kok."

Perjalanan yang sangat dekat itu kami tempuh dalam waktu satu setengah jam. Untungnya Suster Aida telah menelpon PMI terlebih dulu sehingga kami tidak perlu menunggu lama. Pegawai PMI telah menunggu dengan 6 kantong darah untuk diserahkan pada saya.

Setelah menyelesaikan pembayaran, kami pun kembali menerjang kemacetan Jakarta untuk kembali ke rumah sakit.

Sesampainya di kamar, Suster Aida dan beberapa orang  suster lain tampak sedang merubung di sekeliling ranjang Papa. Selang infus telah dicabut. Ventilator juga sudah dicopot. Salah seorang suster masih memegang nadi dan yang lainnya memeriksa dada Papa dengan steteskopnya.

Hati saya tercekat dan langsung memahami bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi.  

Melihat kedatangan kami, semua suster yang berjumlah 6 orang itu menoleh. Suster Aida melangkahkan kakinya  menghampiri kami. Dengan gerakan perlahan dia memeluk saya sambil berkata dengan suara lembut tapi tegas, "Maaf, Yo. Papa kamu sudah pergi."

Bulu kuduk saya merinding karena teringat omongan Cindy sebelum berangkat ke vihara tadi. Saya terdiam dengan tangan masih memegang 6 kantong darah yang seharusnya untuk ditransfusikan ke tubuh Papa. Keheningan mendominasi dalam kamar itu. Tak ada suara apapun kecuali yang bersumber dari luar kamar.

Entah karena memang sudah mempersiapkan diri, saya sama sekali tidak menangis. Dengan langkah perlahan, saya berjalan ke arah ranjang. Semua suster seperti dikomando menyingkir untuk memberi jalan. Dengan lembut saya memeluk Papa, meletakkan kepala di dadanya lalu berucap dengan suara lirih, "Selamat jalan, Papa. Semoga Papa bisa  berbahagia di sana bersama Tuhan."

Fuad juga berdiri di sisi ranjang seberang. Mulutnya berkomat-kamit entah berdoa atau sedang mengucapkan apa. Saya tidak tau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun